Apa itu ”Otonomi” Perguruan Tinggi?

Apa itu ”Otonomi” Perguruan Tinggi?

DSCF0071 Oleh: Zulkarnain Nasution

Perubahan status perguruan tinggi menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP) tinggal menunggu waktu saja. Artinya pelan-pelan, tapi pasti semua perguruan tinggi di Indonesia akan berstatus BHP. Pasalnya, seiring dengan perubahan statusnya, perguruan tinggi negeri  mendapatkan otonomi penuh.

Kata ”otonomi” merupakan salah satu kata bertuah yang selalu saja diucapkan oleh siapa saja, mulai dari mahasiswa, pendidik, pejabat, dan bahkan masyarakat awam mulai dari skala nasional, regional, maupun lokal. Seolah-olah bahkan sudah menjadi semacam mantra. Dalam hampir setiap diskusi, sambutan, pidato, pengarahan, bila tidak menyebut otonomi, berarti sudah ketinggalan zaman atau kurang afdal. Namun, apa sesungguhnya arti otonomi, cukup banyak yang menggunakan kata tersebut, tetapi belum memahami secara benar dan mendalam makna tentang “otonomi”.  Apalagi untuk memahami tentang otonomi perguruan tinggi atau otonomi kampus yang sekarang tengah berbenah menjadi PT BHP (Perguruan Tinggi Badan Hukum Pendidikan), sivitas akademika saja masih kontradiksi apalagi masyarakat? Kondisi ini mengharuskan upaya peningkatan sosialisasi pada publik tentang konsep dan implementasi guna menyongsong BHP.

Bahkan ada yang dengan enteng menyebutkan otonomi sebagai ”otomoney”. Pemahaman yang terasa sangat dangkal dan menggampangkan. Termasuk juga yang menyangkut pengertian otonomi perguruan tinggi atau otonomi kampus. Beberapa waktu yang lalu sekelompok aktivis melakukan demonstrasi, menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak otonomi perguruan tinggi dan menolak kenaikan SPP. Dalam pikiran para demonstran tersebut, otonomi diartikan sebagai lepas tangannya pemerintah dalam pembiayaan pendidikan, yang berakibat naiknya SPP. Karena itu, kedua-duanya (otonomi dan kenaikan SPP) ditolak mentah-mentah. Untuk meluruskan pemahaman yang menceng itulah diperlukan klarifikasi tentang makna dan hakikat otonomi pendidikan tinggi, terutama sekali berkaitan dengan rencana akan disahkannya Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan.

Untuk menimbang dan menyikapi secara positif, ada baiknya kita simak bahwa upaya pendidikan disebut efisien jika hasil yang dicapainya maksimal, dengan biaya yang wajar. Dalam pandangan konvensional dikatakan bahwa semakin rendah biaya yang diperlukan dan semakin maksimal hasil yang dicapai, berarti semakin tinggi efisiensi. Sebaliknya, semakin besar biaya dan semakin minimal hasil yang dicapai, maka semakin tidak efisien dan terjadi pemborosan dalam pendidikan. Sedangkan kualitas pendidikan mengacu pada kualitas proses dan kualitas produk. Suatu pendidikan disebut bermutu dari segi proses (yang juga dipengaruhi kualitas masukannya) jika proses belajar-mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami proses pembelajaran yang bermakna, ditunjang oleh sumber daya (manusia, dana, sarana, dan prasarana) yang memadai. Pranata inilah secara signifikan akan diterapkan oleh pemerintah dengan menggulirkan otonomi pendidikan melalui UU BHP ke depan.

Pengembangan pendidikan dan pengajaran di perguruan tinggi berpedoman pada ”Tri Dharma Perguruan Tinggi”, yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat. Untuk itu perguruan tinggi perlu mengembangkan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi ilmu pengetahuan (UU No.2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Proses menuju otonomi perguruan tinggi antara lain berkaitan dengan pengembangan budaya profesionalisme dengan ciri-ciri memilki keahlian (expertise), tanggung jawab (responsibility), dan kesejawatan (corporateness). Budaya profesionalisme ini akan mempunyai dampak pada keluaran (output) perguruan tinggi, yaitu menghasilkan sarjana-sarjana profesional dan diharapkan dapat menjadi agen perubahan masyarakat dan mampu menjadi modernising force dalam kehidupan masyarakat secara luas (Afia, 2003).

Berkaitan dengan implementasi BHP, sebetulnya semenjak 15 tahun yang silam, persisnya pada bulan Oktober 1989, di Lima (ibu kota Peru) sudah didengungkan pentingnya Kebebasan Akademik dan Otonomi Perguruan Pendidikan Tinggi oleh rektor-rektor seluruh dunia. Mengacu pada Deklarasi Lima tentang “Academic Freedom and Autonomy of Higher Education“, dapat dikemukakan di sini beberapa butir prinsip dan substansi yang layak dicermati agar pemahaman kita semua menjadi lebih lengkap.

Pertama, otonomi perguruan tinggi mengandung pengertian bahwa lembaga perguruan tinggi harus memiliki independensi atau kebebasan dalam mengambil keputusan dan merumuskan kebijakan yang menyangkut pengelolaan administrasi, keuangan, pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, kerja sama dan aktivitas lain yang berkaitan, tanpa campur tangan (intervensi) pemerintah atau kekuatan lain.

Kedua, seluruh anggota masyarakat akademik memiliki hak untuk menjalankan tugasnya tanpa diskriminasi dan tanpa rasa takut akan adanya gangguan, larangan, atau represi dari mana pun.

Ketiga, para peneliti dari kalangan kampus memiliki hak untuk melakukan kegiatan penelitian tanpa kekangan atau campur tangan dari pihak lain, berdasarkan prinsip dan metode penelitian ilmiah yang universal. Mereka juga berhak untuk mengomunikasikan, menyebarluaskan atau mempublikasikan hasil-hasil temuannya tanpa adanya sensor dari pihak mana pun.

Keempat, semua lembaga pendidikan tinggi wajib berupaya memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, kultural, dan politik dari masyarakat serta mencegah penyalahgunaan ilmu dan teknologi yang menyalahi hak-hak tersebut.

Kelima, semua lembaga pendidikan tinggi harus aktif berperan serta dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsanya dan harus kritis terhadap kondisi aktual, seperti represi politik dan pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Keenam, semua lembaga pendidikan tinggi harus memperkokoh solidaritas dengan lembaga lain yang serupa dan dengan anggota masyarakat akademik secara individual bilamana mereka menghadapi bencana atau tuntutan dari pihak lain. Solidaritas tersebut bisa dalam wujud moral maupun material, yang mencakup juga para pengungsi serta penyediaan pendidikan dan lapangan pekerjaan bagi para korban.

Ketujuh, semua lembaga pendidikan tinggi harus berusaha mencegah ketergantungan ilmu dan teknologi serta mengupayakan kemitraan yang setara dengan seluruh komunitas akademik di dunia dalam pengembangan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Harus lebih digalakkan kerja sama akademik dalam skala internasional, melampaui batas-batas regional, politik, dan batas-batas penghambat lain.

Kedelapan, seluruh lembaga pendidikan tinggi harus menjamin partisipasi para mahasiswa dalam organisasi-organisasi mereka, baik secara individual maupun kolektif, untuk menyampaikan pendapat atau opininya dalam setiap masalah yang berkala nasional maupun internasional.

Kesembilan, otonomi perguruan tinggi harus dilaksanakan dengan cara-cara yang demokratis dalam wujud self-government, dengan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh komunitas akademik yang bersangkutan.

Menyimak butir-butir pemahaman tentang otonomi pendidikan tinggi yang multidimensi seperti tersebut di atas, mau tidak mau pikiran kita terpancang pada paradigma lama pendidikan di tanah air kita yang cenderung sentralistik (bahkan sepatu anak sekolah saja nyaris diseragamkan), deterministik (terlalu ditetapkan dari atas, kurang terjalin dialog), dan kurang berorientasi pada aktualisasi potensi maupun pemecahan masalah lokal. Dalam era reformasi ini, terutama untuk mendukung upaya menuju otonomi pendidikan tinggi, paradigma lama tersebut mesti segera diubah.

Menurut Budiarjo (2006) paradigma pendidikan yang lebih tepat adalah paradigma pembebasan dan pemberdayaan, yang juga mengandung semangat demok-ratisasi pendidikan, mengakui pluralisme, keberagaman, atau kemajemukan. Orientasi pendidikan tidak lagi terpaku pada aspek-aspek peningkatan pengetahuan yang serba formal, ideal, bahkan utopis, melainkan lebih ditekankan pada aspek yang berkaitan dengan pencarian alternatif pemecahan masalah aktual dilandasi kajian ilmiah yang diperkuat dengan landasan moral dan hati nurani.

Kita tidak hanya mendidik mahasiswa agar mereka menjadi lebih luas pengetahuannya, tetapi juga membiasakan agar mereka dapat melakukan tindakan nyata serta memiliki jiwa dan semangat pengabdian untuk melayani sesama insan, sebagai rahmatan lil alamin. Memang bukan tugas yang ringan. Karena itu, pemerintah (pusat maupun daerah) tidak boleh cuci tangan atau lepas tanggung jawab dalam dunia pendidikan.

Otonomi pendidikan tinggi tidak berarti bahwa perguruan tinggi negeri harus membiayai dirinya sendiri. Memang, para pengelola perguruan tinggi negeri harus mencari terobosan- terobosan baru untuk fund raising, seperti pembentukan yayasan sivitas akademika, merangkul dunia bisnis dan industri, menjalin kerja sama dengan departemen, lembaga atau institusi lain; dan menggairahkan kegiatan penelitian dengan dana dari pusat atau dari mancanegara, tetapi pemerintah tetap harus berkontribusi secara finansial.

Selain itu dibutuhkannya otonomi perguruan tinggi negeri, karena penyelenggaraan pendidikan yang sudah lama dibirokrasikan layaknya instansi pemerintah membuat mereka kehilangan daya saing. Demikian pula urusan anggaran akan mengikat aturan yang berlaku  di instansi pemerintah. Dari sini terlihat bahwa tujuan otonomi perguruan tinggi itu sama sekali bukan untuk komersialisasi pendidikan.

Karena itu, otonomi perguruan tinggi tidak sekedar dipahami dari kacamata ekonomis yang menjadikan orang tua mahasiswa, dalam relasinya dengan lembaga pendidikan, sekedar sebagai obyek penarikan dana, ,jika otonomi perguruan tinggi  dipahami secara sempit sekedar sebuah otonomi (=kesewenangan) hanya sekedar menarik dana dari masyarakat akan jadi bumerang bagi dunia pendidikan itu sendiri, akan tetapi otonomi harus melibatkan dimensi partisipatif (kesinambungan pendampingan orang tua), komunikatif (sistem kontrol dan propositif atas transparansi keuangan dan perencanaan, program format perguruan tinggi), dan konsiliatif (keterbukaan untuk menerima masukan dari masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang di tawarkan).

Perguruan tinggi yang memiliki otonomi, jika dipahami lewat kacamata seperti ini, akan menjadi pembaru dalam arti sebenarnya, dan menghilangkan tiga jenis penyakit pendidikan yang muncul dalam konteks pendidikan terpusat (sentralistik), kemandulan produksi (dalam arti menjadi mesin yang memproduksi kekosongan, menghasilkan pemahaman pengetahuan yang tidak mendalam, pemborosan otak anak didik), serta antidemokrasi (tidak adanya kesempatan menerima pendidikan yang sama, drop out karena miskin, dan konsep tentang anak didik yang abstrak dan jauh dari lingkungan).

Di satu sisi kita tetap bisa memahami keprihatinan dan kegelisahan para mahasiswa dan pihak lain terhadap rencana implementasi otonomi kampus. Namun, di sisi lain, pihak mahasiswa dan masyarakat  harus mampu menangkap pentingnya kebijakan tersebut ketika pengelola kampus dihadapkan pada upaya otonomi yang harus dilakukan di masa depan. Melalui otonomi pendidikan tinggi dan komitmen pemerintah mudah-mudahan  membawa perubahan  lebih baik bagi dunia pendidikan tinggi kita.

Penulis

Staf Pengajar Jurusan PLS  FIP dan Kepala Humas UM

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.