Bayangan Hitam

Bayangan Hitam

Cerpen Karkono Supadi Putra

Aku pandangi buku pemberian Haris.
Setiap kali melihat buku ini, hatiku selalu bergetar, teringat kejadian dua tahun silam yang tidak pernah aku lupakan dalam hidupku. Entah, sampai kapan aku sanggup untuk memendam semua rahasia itu. Rahasia yang hanya aku dan Allah saja yang tahu.

Malam itu Haris membangunkanku.
Namun, seperti malam-malam yang telah berlalu, aku selalu mengabaikan ajakannya untuk sholat malam. Entah, bukan aku malas, tetapi setiap kali Haris yang membangunkan, justru selalu kebencian yang menggelegak di hatiku. Tiba-tiba aku merasa Haris adalah sosok angkuh yang ingin menunjukkan kepadaku bahwa dia adalah sosok yang tekun, sholih, dan rajin beribadah.
Dan, kejadian itu selalu saja berulang.
Setiap kali aku melihat dia menangis tersedu di atas sajadah, aku selalu menganggapnya tak lebih dari kesombongan belaka. Badannya yang selalu berguncang karena tangis pada waktu itu aku anggap sebagai akting yang memuakkanku. Hal itu pada akhirnya membuatku tidak simpati kepadanya. Segala tindakannya, meskipun sebenarnya baik di mata orang lain, selalu saja membuatku muak.
Aku masih begitu ingat saat suatu siang dia menasihatiku. Waktu itu aku benar-benar tidak bisa menahan emosiku. Kalau tidak ada Mas Burhan, mungkin sudah aku pukul kepalanya. Saat itu dia begitu sibuk dengan persiapan aksi peduli Palestina di Bundaran Tugu.
“Lukman, apa kamu tidak bisa meninggalkan pekerjaanmu itu untuk ikut aksi ini? Apakah penderitaan saudara-saudara kita itu tidak sedikit pun menyentuh hatimu?”
Mendengar penuturan Haris itu mendadak darahku berdesir. Bagiku, apa yang dikatakan Haris itu bukan sebuah ajakan yang bisa aku terima baik-baik, tapi sebuah penghakiman yang begitu melecehkanku.
“O, jadi kamu pikir hanya kamu saja yang punya kepedulian dengan Palestina? Iya?” jawabku dengan suara lantang. Seisi kos mungkin terkejut dengan nada suaraku.
“Maaf, jika kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu! Aku bermaksud baik. Aku…”
“Sudah, kalau kamu mau ikut aksi, segera ikut sana, jangan banyak omong!”
“Lukman, apakah kamu tidak bisa bicara dengan nada yang lirih?” suara Mas Burhan sedikit mengagetkanku. Aku diam, lalu kembali menekuri layar monitor, tidak merespon apa yang disampaikan Mas Burhan. Dalam hati kecil, aku tidak mau dalam posisi itu sebenarnya. Aku merasa, aku adalah orang yang angkuh. Namun, apa yang aku lakukan itu seperti aku sengaja, karena hatiku selalu meradang manakala Haris ada di dekatku.

Begitulah, meskipun aku dan Haris teman satu jurusan, satu organisasi, bahkan satu kamar, tetapi aku merasa ada dinding kokoh yang membentengi kami. Seolah Haris adalah rivalku dalam segala hal. Terlebih, salah satu hal yang paling membuatku semakin tidak menyukainya adalah saat dia dekat dengan Zahra, sosok mahasiswi anggun yang sangat aku idamkan. Entah, meskipun aku sadar bahwa antara Haris dan Zahra tidak mungkin ada hubungan apa-apa, tetapi setiap kali Haris berkomunikasi dengan Zahra, hatiku senantiasa membara.
Aku tahu, orang seperti Haris dan Zahra tidak mengenal kata pacaran. Akulah yang sebenarnya berpenyakit. Aku yang sudah menahbiskan diri sebagai seorang aktivis Rohis, tetapi belum bisa membersihkan hati untuk tidak memikirkan sosok perempuan. Namun, sepertinya Zahra dan Haris selalu saja mempunyai kesempatan untuk sering berkomunikasi. Misalnya dalam sebuah kegiatan, keduanya sering berada dalam satu bidang. Meskipun aku tahu, itu bukan sesuatu yang mereka sengaja. Hal itu sunggu membuatku cemburu.

Saat pencalonan ketua BEM di kampus, aku dan Haris adalah dua orang yang berpotensi besar untuk menjadi kandidat mewakili organisasi kami.
“Salah satu di antara kalian harus bersedia mencalonkan diri untuk menjadi ketua BEM…” suara lembut Mas Burhan. Dalam hati kecil, akulah yang pantas menjadi kandidat ketua BEM, bukan Haris.
“Untuk memenangkan pemilihan ini nanti dan mngalahkan kandidat lain, suara kita harus satu. Jangan sampai ada perpecahan dalam peolehan suara. Kalian dengan kelebihan masing-masing memang sangat bepotensi untuk menjadi ketua BEM. Andai kalian adalah satu, maka itu luar biasa. Namun, karena kalian adalah dua potensi yang tidak bisa disatukan, saya berharap salah satu dari kalian harus mengikhlaskan untuk tidak menjadi kandidat…”
“Sebaiknya Lukman saja yang maju Mas, saya merasa tidak layak…” kata Haris pelan. Dalam hati aku tertawa. Ini hal yang bagus. Keikutsertaanku menjadi pengurus Rohis tentu akan membantuku untuk memperoleh suara terbanyak. Haris memang pendiam dan rendah hati. Sebenarnya, jika mau jujur, dia lebih mempunyai khans dibanding aku.
“Baik, nanti kita bahas lebih lanjut. Lukman, kamu bersiap-siap untuk maju dalam pemilihan ketua BEM tahun ini. Jika memang nanti seluruh pengurus sepakat menjagokanmu, berarti ya kamu yang maju.”
Dan, sesuatu yang kurang mengenakkanku pun terjadi. Sebagian pengurus Rohis banyak yang kurang sepakat jika aku yang maju. Entah apa alasannya. Banyak yang tetap menginginkan Haris untuk maju menjadi kandidat. Akhirnya, aku dan Haris maju sebagai kandidat ketua BEM. Dan yang lebih mengenaskan lagi, dukungan pengurus Rohis lebih cenderung ke Haris. Hingga, saat itu aku pun berulah. Aku merencanakan sesuatu untuk menjatuhkan Hais. Saat itu, logikaku seperti macet untuk berpikir. Aku memfitnah Zahra dan Haris. Akulah aktor antagonis yang sudah sempat mencemarkan nama baik keduanya. Aku mencuri foto Haris dari lemari di kamar kos, lalu foto itu aku selipkan di buku Zahra yang kebetulan aku pinjam. Aku pura-pura menitipkan buku itu pada Haris untuk dikembalikan ke Zahra. Dan, saat buku itu sampai ke tangan Zahra, dia sangat terkejut karena ada foto Haris di dalam buku itu. Semua sesuai dengan rencanaku. Aku ingin membuat Zahra berpikiran negatif pada Haris, bahwa ternyata Haris mempunyai niat yang tidak baik pada Zahra, sehingga Zahra menjadi tidak simpati lagi kepada Haris.
Perihal keberadaan foto Haris yang tersimpan di buku Zahra pun tercium ke seluruh aktivis Rohis. Keduanya sempat disidang. Aku memang benar-benar berotak kriminal. Aku berharap, teman-teman Rohis menjadi tidak simpati pada Haris dan berbondong-bondong mengalihkan dukungan padaku. Reaksi pun beragam, ada yang tetap tidak percaya bahwa itu tindakan Haris, tidak sedikit pula yang lantas bepikian negatif terhadap Haris.

Suatu malam, aku mendengar alunan merdu suara Haris mengaji. Mataku tertegun menatap Haris yang tak juga beranjak dari tempatnya. Sesekali ia tidak bisa menahan air matanya yang membasahi pipi, membuat suaranya parau dan justru menciptakan gundah di hatiku. Sebersit rasa bersalah muncul. Aku menepuk pundaknya lembut dan menasihatinya agar bersabar. Tidak aku sangka, tangis Haris tumpah. Dengan erat dia memelukku.
“Lukman, kamu adalah sahabat terbaik yang aku miliki. Di saat banyak orang yang tidak mempercayaiku lagi, kamu justru tetap menemaniku dan memberiku dorongan,” kata Haris di sela isak tangisnya.
“Haris, aku sangat percaya padamu, kamu tidak mungkin melakukan hal itu. Pasti ada orang yang buruk hatinya dan menaruh foto Zahra itu,” kataku sedikit canggung. Aku sungguh tidak nyaman mengatakan hal itu. JIka mengingat hal itu, sampai sekarang aku serasa tidak percaya kalau aku waktu itu bisa malakukannya.

Semenjak peristiwa menggemparkan itu. Aku melihat Haris lebih banyak menyendiri. Seusai kuliah, ia lebih memilih kembali ke kos dan bergulat dengan buku-buku tebal. Ia memang sangat suka membaca. Suatu siang, saat hanya aku dan dia saja yang ada di kos, terdengar suaa telepon di kos bordering. Aku serta merta mengangkat telepon itu. Mendadak hatiku berdesir; ternyata Zahra. Dia bemaksud menanyakan kondisi Haris. Lalu, aku pura-pura mengatakan kalau Haris sedang di belakang.
“Baiklah kalau begitu, sampaikan pada Haris agar bersabar. Saya yakin, itu hanya ulah orang yang tidak suka padanya, karena saya yakin, Haris tidak mungkin melakukannya.”
Mendengar perkataan Zahra lewat telepon, hatiku justru kian meletup. Sepertinya usahaku untuk menjatuhkan Haris tidak mampu mengubah pandangan Zahra terhadap Haris. Setiap kali Zahra menyebut nama Haris, seolah seluruh isi hatiku mendidih.

Hari pemilihan tiba.
Meskipun usahaku untuk memengaruhi Zahra dapat dikatakan tidak berhasil, tetapi paling tidak sudah dapat mengecoh dukungan terhadap Haris. Banyak yang akhirnya lebih memilih aku. Dan, setelah penghitungan suara dilakukan, ternyata akulah yang tepilih menjadi ketua BEM. Saat di kos, aku melihat muka Haris justru berbinar, sama sekali tidak mengekspresikan kekalahan.
“Barakallah ya, Lukman. Semoga kamu amanah. Sebagai rasa senangku, ini aku hadiahkan sebuah buku. Semoga bermanfaat,” kata Haris dengan wajah sumringah seraya memberikan buku cukup tebal kepadaku. Sungguh, dalam hati kacil aku teramat kagum dengan pribadinya.
“Kata Mas Burhan, besok kita diminta datang ke kampus pagi-pagi untuk membahas pembentukan pengurus BEM. Menurut beliau, dari Rohis yang akan diplot di BEM adalah aku dan Zahra.”
Lagi-lagi nama Zahra dan Haris terdengar. Emosiku kembali meluap. Jika Haris dan Zahra masuk dalam jajaran pengurus BEM, berarti mereka tetap akan memiliki peluang untuk terus bersama, dan itu berarti ancaman buruk bagiku. Sepertinya, petualanganku untuk menjatuhkan Haris belum benar-benar berakhir.

Kesesokan harinya, dengan sepeda motor mewah kebanggaanku, aku berangkat ke kampus dengan menyandang gelar baru: Ketua BEM. Haris sudah berangkat lebih dulu. Di sepanjang jalan aku tak lepas bersenandung, merayakan kemenanganku.
Mendadak, tepat di depan gerbang kampus, aku melihat kerumunan orang dengan wajah panik. Beberapa polisi terlihat sibuk mengatur lalu lintas. Segera kuhentikan motor dan menyeruak di balik kerumunan itu. Betapa kagetnya aku ketika aku melihat sepeda angin sudah ringsek di bawah sebuah truk. Sepeda Haris?? Entah mengapa tiba-tiba tubuhku bergetar hebat, apalagi saat kulihat tubuh Haris terkapa bersimbah darah.

Aku dan beberapa teman kos yang rata-rata juga anggota Rohis menunggu dengan cemas di luar ruang IRD. Cemas, gelisah, dan perasaan bersalah menghantuiku. Seandainya aku tidak emosi dan membutakan nurani, tentu aku tidak melakukan tindakan nekad itu: mencabut sekrup sepeda Haris.
Saat kami semua diam dalam ketengangan, seorang dokter memberitahukan bahwa kami bisa masuk untuk melihat Haris. Dengan langkah yang terasa berat, aku masuk. Dan, kembali aku melihat tubuh kurus Haris terkulai di atas ranjang, penuh dengan perban dan selang infus. Aku pandangi tubuh Haris. Ingin rasanya aku memeluknya erat dan meminta maaf atas segala salah.
Tiba-tiba, aku melihat nafas Haris tersengal. Dan aku tak bisa menahan tangis ketika kulihat tubuh itu mengembuskan nafas pelan. Tubuh kurus yang sering terguncang saat usai sholat malam dan sering menasihatiku agar bangun tengah malam itu menegang. Ada kesedihan menjalar dengan cepat di benakku. Aku tidak mau kehilangan sahabat terbaikku itu. Aku belum sempat meminta maaf atas semua salah kepadanya.
Nafas Haris kian pelan berhembus… dan akhirnya lenyap bersamaan dengan lafal ‘Allah’ dari bibirnya.
Tubuh itu pun tak bernyawa…
Dan, beragam bayangan hitam kesalahan yang telah aku perbuat kepadanya pun menari, beradu dengan segala kebaikannya yang tiada pernah lelah dia berikan untukku.

Dimuat di Malang Post, tetapi lupa edisi kapan… (hehe)

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.