BERTAMU DI ALAM GAIB

BERTAMU DI ALAM GAIB

(Bagian Ke-1)

Oleh: Djoko Rahardjo*

Siang itu, Sabtu tanggal 10 November 2012, pukul 14.00 wib. air hujan yang tumpah ruah di Kota Malang bagaikan gelombang lautan yang naik ke daratan. Hujan yang lebat membasahi Kota Malang selama lebih kurang hampir satu jam. Air lumpur beserta material yang lain menggenangi jalan di depan rumahku. Suasana di sekitar rumahku terasa sepi. Seperti di tengah-tengah kuburan desa yang dipenuhi oleh pepohonan.
Menjelang petang hari,  sayup-sayup kudengar adzan Maghrib dari mushola yang agak jauh di selatan rumahku. Siapa yang adzan ini? Biasanya yang adzan bukan orang ini. Seperti ada suasana yang lain, yang menyelinap di dalam hatiku. Tidak biasanya bulu kudukku berdiri. Bau wangi bunga pohon kopi menyergap hidungku. Seakan-akan mengarahkanku  untuk datang ke tanah kosong,  yang ditumbuhi rumput ilalang dan pohon singkong, yang berada di selatan rumahku.
Memang…, semenjak aku pindah rumah empat tahun yang lalu, belum pernah bertemu lagi dengan pemilik tanah itu. Kulangkahkan kakiku ke arah tanah kosong itu, sambil melirik ke rumah di depannya. Siapakah mereka itu? Di dalam kegelapan malam…,  kulihat dua bayangan manusia yang sedang duduk di teras rumah.
“Pak Djoko mencari siapa?” Salah satu dari dua orang itu bertanya kepadaku.
“Saya tidak mencari siapa-siapa!” Begitu jawabku.
Hatiku terasa berdebar-debar ketika menjawab pertanyaan itu. Kulihat pohon singkong di depanku, daunnya berubah seperti jari-jari tangan manusia, yang hendak mencabik-cabik tubuhku. Dengan gerak refleks, kubalikkan badanku, dan berjalan cepat menuju ke arah rumahku. Sesampainya di rumah:
“Ibu sudah Sholat Maghrib?”
“Sudah Pak!” Jawaban singkat dari Istriku.
Sambil menatap isteriku yang sedang melepas mukena, kulangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk berwudhu . Detak jantungku masih terasa  berdegup kencang. Seperti suara bedug yang ditabuh bertalu-talu.
Setelah Sholat Maghrib kutunaikan, dalam keheningan…, kubaca ta’awudz:
Audzubillahi minas syaiton nir rojim!” (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan dan jin yang terkutuk).
Sejenak kutenangkan batinku. Kupasrahkan  hidup dan matiku hanya kepada Allah Robbul Izati. Tuhan pencipta alam semesta.
“Pak…! Kita jadi berangkat jam berapa?” Tanya Isteriku.
“Jam tujuh! Setelah kita melaksanakan Sholat Isya!” Jawabku.
Empat puluh lima menit kemudian, berkumandanglah adzan Isya. Setelah Sholat Isya kami tunaikan maka berangkatlah kami ke Kota Malang.
Tidak biasanya perasaanku diteror oleh kebimbangan yang berkepanjangan. Ada rasa takut jatuh dari sepeda motor. Malam semakin gelap. Jalan semakin senyap. Kulalui sederatan rumah yang tak perpenghuni. Berada dimanakah kami ini?
“Bu…, sekarang jam berapa?”
“Jam setengah  delapan!” Jawab Isteriku.
Dari kejauhan…, terlihat sekelompok orang memakai baju hitam yang menembus kegelapan malam. Laju sepeda motorku tiba-tiba bergerak lamban. Seolah-olah dipandu untuk mengiktuti gerak dan langkah mereka.
Dengan kekuatan batinku, kujalankan sepeda motorku untuk mendahului barisan mereka. Pedal gas sepeda motorku seakan-akan tak mampu bergerak sehingga selalu sejajar dengan barisan itu.
“Haaah…! Di tepi kuburan? Siapakah mereka?” Begitu  suara batinku.
Kuberanikan diriku untuk melirik mereka:
“Tidak mungkin…! Ini jelas tidak mungkin…!” Batinku berontak.
Setahu saya mahasiswa yang tergabung dalam organisasi HMI tidak mungkin mengadakan ritual Agama Islam di tepi kuburan. Apalagi sambil mengadakan tahlil, istighosah, yasinan dan ritual lainnya yang sangat bertentangan dengan keyakinan mereka. Tetapi kali ini…, sepertinya mereka berjalan sambil berorasi:
“Saudara-saudara…! Di sini telah berbaring jasad para pahlawan kemerdekaan…! Mereka rela gugur demi kemerdekaan Bangsa Indonesia. Malam hari ini…, kita semua memperingati Hari Pahlawan tanggal 10 November 2012!”
Kupaksakan sepeda motorku untuk menyalip mereka menuju kearah timur:
“Haaah…! Apa ini? Batu-batu nisan berserakan! Mengapa di sini banyak lubang galian?”
Tekadku sudah bulat. Kupacu sepeda motorku! Tepat di depan persimpangan, kubelokkan kendaraanku kearah kanan.  Tidak lama kemudian, sampailah di tempat yang kutuju.
Di sana…, di suatu tempat…, entah di mana…? Berdirilah gapura yang besar nan indah. Di mulut gerbang tertata rapi jalan kembar, yang dipisahkan oleh taman yang indah bagaikan di taman surga. Beraneka pohon hias dan bunga warna-warni yang menghiasi taman. Amboi…, sungguh indah taman ini…. Pantulan cahaya lampu hias yang menimpa dekorasi taman menambah syahdunya  suasana malam itu.
Kuparkir sepeda motorku di tempat yang telah disediakan. Kunaiki tangga yang berjenjang sambil menggandeng tangan Isteriku. Tibalah kami berdua di  gedung yang besar dan indah. Di depan pintu gerbang sisi kanan…, bertenggerlah kereta Jerman dari jenis mobil Jeep dengan merk Marcedes. Mobil Jeep Mercedes berwarna silver itu ditempeli bunga melati sebagai tanda bahwa kereta itu diperuntukkan bagi sang pengantin.
Sesampainya di meja  tempat mengisi buku tamu…, hatiku berdesir! Kutatap wajah-wajah ayu, yang memakai kebaya gemerlapan. Siapakah mereka ini…? Manusiakah…? Jangan-jangan mereka ini…? Ah…!

Kutuliskan namaku di dalam buku tamu itu: Djoko Rahardjo, Subbag Sardik UM. Sesaat kemudian…, kuambil amplop berisi uang Rp 100.000,00 dari saku bajuku, lalu kumasukkan ke dalam kotak yang telah disediakan. Wajah-wajah penerima tamu itu…, baik laki-laki maupun perempuan, tak satu pun yang kukenal. Mereka memandangiku dengan pandangan penuh curiga. Mata mereka melotot seakan-akan hendak meloncat keluar. Hiiiii……

BERSAMBUNG…

Malang, 10 November 2012

*) Djoko Rahardjo, Staf Subbag Sarana Akademik  BAKPIK  UM

 

Post Author: humas admin

Comments are closed.