Oleh: Muhammad Iqbal Fakhrul Firdaus
adakah dikau,
tatkala mereka menelusup
benteng-benteng?
beruntai rambut merumbai
berpucat mata kelabu
diseranglah ia
dalam kantuknya
sedang daku menyelinap
menerawang kitab-kitab para alim
hikayat-hikayat para wazir
daku kemari melayari kapal ini
telah tersobek-sobek layarnya
oleh ombak mencekam
telah tercerabut dindingnya
oleh ombak menikam
tiada nahkoda,
tiada mualim turun ke situ
dalam pusaran angin
daku ke sini jua
menjulur jangkar dan temali
dari lubang meriam
dari celah kancing
terekat pada belah dadamu
aih, apa nan dikau bawa dari pelayaran?
tiada apapun, hanyalah badan seburuk ini?
atau, koyakan takdir,
serta titah-titah tanah tandus?
tiada usah kau tanyai
sebab daku mengabarkan nyata
tombak ini
—walau berselubung karat
masih dapat jua
menusuk dada semenjana
namun, zirah hak
—berlapis baju besi
tiada ‘kan remuk
walau dikoyak kilat-kilat pedangmu itu
pilu matamu,
itu yang aku takutkan!
saudara,
sungguh hak itu
tiada satu rupa dalam segala
tiada usah kau sebut itu
sebab, kasihmu itu
tiada satu rupa jua
sudah, senyaplah
Raja masih mencampuri
selir termuda
putra bungsunya beranjak
menuju perburuan kijang
bersama kuda-kuda
sebelum daku merangsek
melontar ketapelku ke gudang
bendahara telah menitah
oh kasih, masihkah dikau tunggu
badai itu reda?
daku ‘kan hibahi dikau
sebuah griya di pinggiran bandar
tempat daku menegak kopi
berdamping-sanding sang Raja
tiada hajatku ‘kan semuanya
sebab diri ini t’lah berdarah mulia
—dalam kapal ada bergulung wol
dan berhelai kain-kain kemerahan
telah daku kepung bandar ini
dengan meriam
dalam kasih tiada wujud
dikau menua sebab palagan
mungkin tiada lagi waktu
‘tuk sekadar bersiasat
Lumajang, 2018
Penyair puisi tersebut adalah mahasiswa S1 Psikologi angkatan 2017