[JAWAPOS – Mahasiswa] Dominasi Sistem Matrilineal

Dominasi Sistem Matrilineal
Oleh
Btari Indra S.
Mahasiswi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang

BERBICARA tentang perempuan pasti tidak akan ada habisnya. Perempuan pasti terlibat dalam berbagai bidang aspek. Salah satunya dalam bidang budaya. Dalam sejarah perkembangan Indonesia, posisi perempuan selalu termaginalkan. Hak-haknya selalu berada dalam second class di bawah kaum laki-laki dan hal ini seolah-olah telah menjadi budaya.

Padahal, semua manusia di muka bumi adalah sama, baik secara hukum maupun agama, khususnya dalam agama Islam. Sikap yang ambivalen terhadap kekerasan yang diterima perempuan, disadari atau tidak, didukung oleh perempuan.

Kekerasan hanya akan lahir, kemudian berlangsung dalam suatu struktur sosial yang kondusif untuk mendukung terjadinya kekerasan dan hanya dapat dipahami melalui konteks sosial dan anasisis gender.

Sejauh ini kekerasan terhadap perempuan belum banyak yang terungkap meski hal itu merupakan kenyataan hidup yang tidak dapat dipungkiri. Banyak kelompok di sekitar kita yang memandang kekerasan terhadap wanita secara legal-material cenderung menekankan pada hukum formal sehingga hanya menangkap gombong kekerasan terhadap perempuan.

Fenomena yang terjadi beberapa wilayah Indonesia menunjukkan bahwa secara adat pihak perempuan mempunyai berbagai hak khusus dalam keluarga yang didominasi sistem matrilineal. Contoh di Provinsi Sumatra Barat, pemikiran kaum lelaki dipengaruhi nilai-nilai lama yang berdampak pada hubungan laki-laki dan perempuan.

Ada juga yang berbentuk stigma-stigma yang mengandung unsur stereotip gender, seperti pameo dalam masyarakat “tempat perempuan adalah dapur, sumur, dan kasur”, “suami adalah imam bagi istri”, dan lebih parahnya lagi tidak ada kontrol serta akses bagi perempuan.

Lebih jauh lagi dalam menyikapi hal-hal tersebut, perempuan cenderung bersikap pasif karena harus tunduk dan patuh terhadap adat istiadat dan agama. Namun, secara umum masyarakat menyadari bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam berbagai presepsi, meskipun sulit dihilangkan karena terbentur dengan adat istiadat dan agama, serta ketidaktahuan bagaimana cara mengatasinya.

Contoh lain di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Di sana masyarakat hidup dalam ideologi patriaki yang kental. Budaya patriaki menganggap bahwa posisi laki-laki lebih tua daripada perempuan. Bisa dikatakan bila perempuan Jawa dinikahi laki-laki Sunda, berarti sama saja dinikahi oleh adiknya.

Kekerasan terhadap perempuan banyak dikaitkan dengan permasalahan mas kawin. Masalah ini telah menempatkan perempuan dalam hal yang berbeda karena perempuan telah dibeli sehingga sang suami berhak memperlakukan perempuan sesuai dengan hatinya. Padahal, mas kawin merupakan penghargaan laki-laki terhadap pihak perempuan.  Dalam keadaan seperti itu, perempuan terperangkap dalam stigma stereotip peran dan kedudukan yang diperoleh dari proses sosialisasi dan pemahaman agama sejak kecil.

Mereka menjadi rentan terhadap tindak kekerasan karena telah menjadi korban kebiasaan sejak kecil. Temuan dan semua upaya untuk menanggulangi kekerasan terhadap perempuan baru berada pada ujung yang paling awal dalam suatu perjalanan.

Di sinilah keseriusan menanggulangi kekerasan terhadap perempuan. Target penyadaran harus pada jantung persoalan, yakni seperangkat nilai. (*)

[HER VIEW] Jumat, 28 Januari 2011 halaman 27

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.