Lebih Baik Hujan Batu di Kota Orang dari pada Hujan Emas di Kota Sendiri

Para pembaca mungkin akan mengomentari judul tulisan ini terasa aneh dan bahkan dianggap ngawur. Sabar dulu. Memang peribahasa kita sudah lebih dulu memperkenalkan “Lebih baik hujan batu di negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang”. Bagi kita yang penting adalah isi bukan judul. Tetapi adakah hubungan antara judul dengan isi? Tentu ada.

Pembaca yang budiman mungkin pernah mendengar atau membaca tentang Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Terpencil (SM-3T). Dalam hal ini Universitas Negeri Malang (UM) ditugasi oleh Ditjen Dikti Kemendiknas untuk mempersiapkan mereka melalui seleksi dan dilajutkan dengan pelaksanaan prakondisi (pelatihan). Kegiatan seperti ini juga dilaksananakan oleh beberapa universitas eks IKIP.

Setelah selesai mengikuti prakondisi di Belanegara Rindam V Brawijaya Malang, 446 orang peserta SM-3T UM diberangkatkan ke Kabupaten Manggarai dan Manggai Timur yang dibagi dalam 7 kelompok penerbangan (kloter). Dimulai dengan kloter ke-1, 2 dan 3 yang diberangkatkan pada hari Senin, 11 Desember 2011 pukul 02.00 wib. Penulis mendampingi Peserta SM-3T Kloter ke-3.

Pesawat terbang yang ditumpangi tiga kloter ini transit di Bandara Ngurah Rai, Denpasar Bali. Kloter 1 dan 2 langsung menuju Bandara Labuhan Bajo, Manggarai Barat NTT. Sedangkan kloter ke-3 menginap di Hotel Goodway di Nusadua Bali karena keterbatasan armada penerbangan ke Bandara Labuhan Bajo NTT.

Memang tertundanya perjalanan itu kadang membuat hati gundah tetapi kali ini tidak demikian. Lho mengapa? Nah…, kali ini tertundanya perjalanan membawa berkah seperti sebuah judul film “Sengsara Membawa Nikmat” yang dibintangi oleh Desy Ratnasari. Begini ceritanya, para peserta SM-3T kloter ke-3 sebagian besar berasal dari Kabupaten Manggarai NTT tersebut, belum pernah menginap di hotel mewah berbintang empat dengan tarif per-kamar Rp700.000,00.

Ketika makan malam tiba, semua peserta menikmati makan dengan lahabnya. Makan malam di tepian kolam renang yang indah dan romantik ditemani oleh para pelayan hotel yang cantik bagaikan bidadari yang sedang turun mandi. Menu makanan yang disajikan antara lain Ayam Teriyaki, Udang Windu Goreng Tepung, Salat Buah, Sup dan lain-lain. Hem… sungguh nikmat. Penulis, berjalan di tengah ruang makan yang temaram, bertanya pada beberapa peserta: “Bagaimana masakannya?” Jawabnya: “Enak sekali”. Sekilas, saya lihat di atas piringnya: nasi yang menggunung, paha ayam yang terlentang, dan udang yang melengkung bagaikan atlit loncat indah yang sedang bersalto di udara dan terjun di atas air.

Pukul 03.30 wita mereka terbangun dari tidurnya yang lelap. Satu persatu berkumpul di ruang resepsionis hotel untuk diberangkatkan ke Bandara Ngurah Rai. Bus milik Merpati Air membawa 17 orang beserta koper dan barang bawaan. Penumpang yang lainnya diangkut dengan 4 mobil Toyota Inova. Bus dan 2 mobil Toyota Inova sudah berangkat lebih dahulu. Tinggal 2 mobil yang belum berangkat karena menunggu 6 orang peserta beserta 3 orang panitia yang belum bangun dari tidurnya. “Celaka! Kalau begini bisa ditinggal pesawat!”, kata ketua pendamping. Petugas hotel tidak bisa menghungi lewat telepon ruang hotel. Apa boleh buat petugas hotel lansung bergerak cepat sambil membawa kunci duplikat–tanpa basa-basi– pintu langsung dibuka. “Bangun-bangun, sebagian besar rombongan sudah di bandara”, Teriak petugas hotel.

Ternyata di Bandara Ngurah Rai rombongan kami mendapat ganti pesawat terbang yang lebih baik dari sebelumnya. Kebiasaan penulis ketika naik pesawat terbang apabila tidak mendapat kursi yang dekat dengan jendela adalah naik paling akhir. Mengapa? Biasanya tempat duduk paling depan untuk penumpang VIP ada yang kosong. Ternyata betul. Atas seizin pramugari dapat duduk di kursi Nomor 1A. Lumayan… sepanjang bandara Ngurah Rai sampai Bandara Labuhan Bajo, penulis dapat melihat keindahan pulau-pulau yang ada di NTB dan NTT. Penulis bersyukur, “hanya satu pulau saja” di Indonesia yang belum penulis lihat dari angkasa yaitu “Pulau Irian” atau Papua. Semoga di lain waktu dapat melihatnya.

Dari angkasa…, Pulau Komodo dan pulau yang lainnya sudah kelihatan, pertanda tidak lama lagi pesawat akan mendarat di Bandara Labuhan Bajo. Ketika kaki-kaki yang mulai gontai menginjak landasan, ada dua orang gadis yang kelihatan sangat berduka. Penulis bertanya: “Mengapa Anda berdua kelihatan sangat bersedih”? Jawabnya di luar dugaan: “Walau kami berdua lahir dan dibesarkan di Manggarai tetapi kami sangat berat untuk meninggalkan Kota Malang. Kami kuliah 4 tahun di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Kanjuruhan Malang. Tolong sampaikan salam kami kepada para Dosen Sastra Indonesia UM yang telah mengajar kami di Belanegara Rindam V Brawijaya Malang”.

Lebih lanjut mereka mengatakan walaupun tempat tugas mengajarnya di daerah Manggarai, tempat papa dan mama mereka berdua berada. Tetapi hatinya tertambat di Kota Malang. Sambil berkaca-kaca, matanya kelihatan sayu. Penulis menjabat tangan mereka berdua: “Selamat jalan Dik Yoan dan Dik Atik, tunggu satu tahun lagi kami akan menjemput Anda berdua untuk mengikuti Program Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Malang”.

Malang, 16 Desember 2011
Djoko Rahardjo, Staf Subag Sardik BAAKPSI UM

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.