Mahabarata, Perempuan, Surga dan Perang…

Bila kita ikuti perkembangan sinetron/film yang ditayangkan oleh ANTV akhir-akhir ini, film-film Bollywood mulai mendominasi. Salah satu sinetron/film yang mengalami pemutaran ulang adalah serial Mahabarata bahkan ada versi lain yang akan ditayangkan. Agar ada keseimbangan dalam mengapresiasi kisah Mahabharata versi India ini maka perlu di antara para penggemar yang ada di Universitas Negeri Malang (UM) memberikan sumbangan berupa tulisan. Tulisan berikut ini adalah

MAHABARATA, PEREMPUAN, SURGA, DAN PERANG BADR

 

Oleh

Moh. Ainin[1]

 

Film cerita tentang Mahabarata yang ditayangkan di salah satu TV swasta merupakan suatu program yang paling banyak digemari oleh masyarakat. Tidak hanya orang-orang kelompok usia dewasa dan manula saja yang gandrung menonton tayangan Mahabarata, tetapi anak-anak juga ikut menikmati acara tersebut. Bahkan kaum perempuan yang pada umumnya kurang begitu intens terhadap tontotonan wayang (kulit atau wayang orang), apalagi yang usia ABG juga kesensem terhadap tayangan lakon Mahabarata ini.

Banyak faktor yang menyebabkan mereka intens menonton acara ini. Sebagaian ada yang bermotifasikan menyerap pendidikan nilai, sebagaian ada yang bermotifasikan kecantikan atau ketampanan para pemain utamanya, terutama yang berperan sebagai Arjuna dan Drupadi, dan sebagaian ada yang bermotifasikan kelihaian acting para pemainnya dan keindahan setting yang dibangun dalam cerita itu. Sebagaian lagi ada yang bermotifkan kesemuanya.

Terlepas dari motivasi yang mendasari mereka dalam menonton tayangan Mahabarata, ada sesuatu yang menggelitik saya untuk menelaah cerita Mahabarata ini. Dalam prespektif saya, cerita mahabarata ini memilki keterkaitan dengan dunia lain, misalnya dunia perempuan, surga, dan perang Badr.

 

Mahabarata dan Perempuan

Secara historis-psikologis, cerita mahabarata yang intinya perang baratayuda antara Kurawa dan Pendawa ini tidak terlepas dari peran seorang perempuan. Peran perempuan ini dapat dilihat pada era kepemimpinan Prabu Sentanu Murti sebagai ratu Hastinapura dan era kepemipinan Abiyasa. Al-kisah, Prabu Sentanu pada saat itu ditinggal isterinya meninggal dunia, sebagai seorang ratu yang berstatus duda dengan satu anak bernama Dewabrata (Bisma) inging mengakhiri masa lajangnya dengan melamar seorang perempuan bernama Durgandhini (Setiyawati). Durgandhini adalah anak Ratu Wirata bernama Durgabahu. Sebenarnya, Durgandhini ini mempunyai suami bernama Palasara dan dikaruniai seorang anak lelaki bernama Wiyasa atau Krisna Dwipoyono atau lazim dikenal dengan Abiyasa. Akan tetapi, perkawinan mereka tidak direstui oleh ayahnya (Prabu Durgabahu) dan akhirnya perkawinannya tidak berlangsung lama. Palasara akhirnya kembali ke pertapaan Sapta Arga.

Lamaran Prabu Sentanu diterima oleh Durgandhini dengan satu syarat, yakni apabila Prabu Sentanu lengser keperabon, maka pewaris kerajaan Hastinapura diberikan kepada putra Durgandhini. Perlu diketahui, bahwa pada saat lamaran itu, Sentanu mempunyai anak bernama Dewabrata dan Durgandhini mempunyai anak bernama Abiyasa. Demi cintanya Prabu Sentanu kepada Durgandhini, syarat yang diajukan tersebut disetujui. Dalam perjalanan hidupnya, perkawinan Prabu Sentanu dan Durgandhini membuahkan seorang anak lelaki bernama R. Citranggada atau R. Hastabrata.

Pada usia perkawinan yang ke 20 tahun (dwi dasawarsa), Prabu Sentanu merencanakan lengser keperabon dan menyerahkan kekuasaannya kepada Hastabrata, karena Dewabrata melakukan wadad dan tidak berkeinginan menjadi ratu. Keputusan Prabu Sentanu ini tidak disetujui oleh Durgandhini, karena perjanjian semula kekuasaan harus diserahkan ke anak Durgandhini. Di sini terjadi kesalapahaman dari Prabu Sentanu. Dalam persepsi Sentanu, tahta kerajaan yang diminta oleh Durgnadini itu diberikan kepada putra hasil perkawinan Sentanu dan Durgandhini, yakni Hastabrata, tetapi yang diinginkan oleh Durgandhini saat lamaran itu adalah putra Durgandhini hasil perkawinan dengan Resi Palasara, yakni Abiyasa.

Prabu Sentanu sangat terkejut dan mengalami dilema. Dilema antara regulasi dan cinta. Secara regulatif pewaris tahta kerajaan Hastinapura adalah Hastabrata karena dia anak kandung Prabu Sentanu, sementara itu, Abiyasa merupakan anak tiri. Akan tetapi, apabila Prabu Sentanu menolak permintaan istrinya, dia melanggar janjinya sebagai wujud kecintaannya terhdap seorang perempuan bernama Durgandhini. Akhirnya, Prabu Sentanu memutuskan bahwa kedua anak lelaki itu diadu berperang dengan syarat tanpa menggunakan senjata tajam. Siapa yang memenangkan peperangan, maka dialah yang menjadi ratu Hastinapura. Dalam peperangan itu, Hastabrata melanggar perjanjian, dia menggunakan panah yang diarahkan ke Abiyasa, Abiyasapun membalasnya. Akhirnya, Hastabrata terbunuh. Prabu Sentanu marah besar terhadap Abiyasa, tetapi kemarahan itu dilerai oleh Dewabrata. Pada akhir masa jabatannya, Prabu Sentanu mengtakan kepada istrinya, bahwa anak cucunya nanti akan selalu saling bermusuhan satu sama lain, karena perebutan kekuasaan Kerajaan Hastinapura. Kerajaan Hastinapura akhirnya di bawah kepemimpinan Abiyasa.

Abiyasa sebagai Ratu Hastinapura dikarunai tiga orang anak dari ibu yang berbeda. Yaitu Destarata dari seorang Ibu bernama Dewi Ambika, Pandu dari seorang ibu bernama Ambalika, sedangkan putra yang ketiga bernama Widura yang konon dari seorang ibu yang profesinya sebagai pembantu istana.

Dalam usianya yang sudah lanjut, Abiyasa berencana lengser keperabon. Sebenarnya pewaris tahta kerajaan adalah putranya yang pertama, yaitu Destarata, akan tetapi karena dia buta, maka kerajaan diwariskan ke putra keduanya bernama Pandu Dewanata. Mengingat Pandu belum beristri, maka dia diminta ayahnya untuk “mboyong” calon istri. Akhirnya Pandu mendapatkan tiga orang perempuan, yaitu Kunti talibrata, Madrim, dan Gendari (saudara tua Sengkuni). Oleh Abiyasa, Pandu diminta memilih salah satu atau salah dua dari perempuan yang telah diboyong ke Hastinapura. Akan tetapi, Pandu mempersilahkan saudara tertuanya (Destarata) untuk memilihnya lebih dahulu. Pertama kali yang dipilih Destarata adalah Kunti, akan tetapi Destarata tidak berkenan karena menurut dia, Kunti hanya bisa melahirkan tiga orang anak, selanjutnya memilih Madrim, Destarata juga tidak berkenan, karena Madrim akan melahirkan hanya dua orang anak. Pilihan ketiga diberikan kepada Gendari, Destarata akhirnya menetapkan Gendari sebagai istrinya karena Gendari akan melahirkan 100 anak.

Gendari tersinggung dan marah kepada Pandu, karena cintanya diremehkan dan dilecehkan. Bayangan Gendari sebelumnya dia akan dijadikan Pandu sebagai isterinya dan dijadikan sebagai prameswari di kerajaan hastinapura, tetapi ternyata dia diberikan kepada Destarata yang buta. Secara reflektif, Gendari melontarkan sumpah srapa, bahwa anak-anak Destarata dan Pandu akan saling membunuh dan menumpahkan darah.

Dari prespektif historis-psikologis tersebut, dapat diambil suatu pemikiran, bahwa stimulus utama perang baratayudha dalam kisah Mahabarata (peperangan antara Kurawa dan Pendawa) adalah perempuan yang berbalut cinta. Stimulus pertama adalah Durgandhini yang telah menerima cinta Sentanu dengan jaminan pewarisan kerajaan kepada Abiyasa yang dapat disebut dengan cinta bersyarat. Stimuls kedua adalah Gendari atas kekecewaaannya karena keinginan untuk dinikai Pandu terpaksa dialihkan ke Destarata. Inilah yang disebut dengan cinta terabaikan. Posisi perempuan sebagai stimulus dalam konteks ini tidak dapat dimaknai secara negatif. Tidaklah dapat dipersalahkan, apabila Durgandhini meminta Sentanu untuk mewariskan kerajaannya kepada Abiyasa, mengingat kondisi psikologis Durgandhini pada saat itu labil. Kelabilannya disebabkan oleh perpisahan dengan suami yang dicintai bernama Resi Palasara. Di sisi lain, dia sangat merasa iba terhadap nasib dan masa depan si jabang bayi bernama Abiyasa yang kedua orang tuanya dipisahkan oleh keadaan. Amatlah wajar apabila Durgandhini berobsesi agar kelak putra kesayangannya menjadi orang yang sukses dalam kehidupannya.

Hal yang sama juga terjadi pada Gendari. Siapapun sebagai seorang perempuan akan marah, kecewa, dan dendam manakala harkat, martabatnya diremehkan, dan cintanya diabaikan. Harapan besar untuk dinikahi pemuda calon ratu Hastinapura yang bernama Pandu Dewanata musnah. Bahkan dia “dipaksa” untuk dinikahi oleh pemuda (Destarata) yang tidak dicintai sebelumnya, apalagi pemuda tersebut buta. Kisah Mahabarata yang berakar dari kisah cinta ini mengingatkan saya akan pernyataan seorang Novelis perempuan bernama Afifah Afra. Dia menyatakan bahwa jika ada sesuatu yang membinasakan dan sekaligus menghidupkan dia adalah CINTA.

 

Mahabarata dan Surga

Perang Mahabarata tidak dapat dilepaskan dari sifat keserakahan, kedengkian, kebencian, ketidakadilan, dan keangkaramurkaan kurawa. Sifat-sifat negatif ini muncul sebagai kesalahan dan kekurang pedulian seorang ibu terhadap pendidikan anak. Anak-anak kurawa dalam kehidupan kesehariannya lebih dekat dengan Sengkuni daripada dengan ibunya sendiri. Sengkunilah yang membentuk watak dan karakter putra-putra Kurawa. Sementara itu, ibunya kurang begitu dekat dengan putra-putranya sendiri.

Dalam teori pendidikan, ibulah yang menjadi guru pertama dan utama dari seorang anak. Oleh karena itu, tepatlah Rasulullah bersabda, bahwa surga itu di bawa telapak kaki ibu (al-jannatu tahta aqdamu al-ummahat). Di dalam ayunan, kasih sayang, naungan, dan doa seorang ibu yang solehalah seorang anak akan mendapatkan surga, baik surga dunia maupun surga akhirat. Kunti talibrata sebagai seorang Ibu pendawa menunjukkan sifat yang demikian itu. Kunti amat dekat dan selalu mengajarkan nilai-nilai kebaikan, kemulyaan, bahkan mengajarkan putra-putranya hidup yang sufistik. Melalui sentuhan kasih sayang, keteladanan, dan doa Ibulah anak-anak akan mendapatkan surga kehidupan.

Kondisi yang berbeda dialami oleh kurawa. Mereka kurang memperoleh sentuhan kasih sayang, keteladanan, dan pendidikan ibunya yang bernama Gendari. Mereka dibentuk oleh lingkungan yang penuh dengan contoh dan model kehidupan yang diliputi perilaku angkara murka. Sengkuni sang paman Duryudhana yang mewarnai karakater Kurawa. Kelicikan, keserakahan, ketidakadilan, kekejian dan kemungkaran (al-fakhsya’ wal munkar) telah menjadi bagian hidup keseharian kurawa. Ibunya yang bernama Gendari tidak berdaya untuk membentuk karakter putra-putranya.

Kisah Mahabarata ini mengisyaratkan pentingnya kesalehan seorang perempuan (ibu). Surga-neraka bagi seorang anak tidak dapat dilepaskan dari kesalehan seorang ibu. Oleh karena itu, tepat yang disabdakan oleh Rasulullah bahwa dunia ini bagaikan perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah perempuan yang salehah. Perempuan itu tiang Negara, apabila dia baik (salehah), maka akan baik pula negera itu, sebaliknya apabila dia berperilaku dan berperangai jelek, maka rusak pula Negara itu. Kesalehan dalam kisah Mahabarata telah diperankan oleh seorang Ibu yang bernama Kunti talibrata. Kesalehan perempuan ini berimbas pada kesalehan putra-putra Pandu Dewanata yang disebut pendawa.

 

Mahabarata dan Perang Badr

Barangkali pembaca akan terkejut dan bertanya-tanya apa hubungannya antara perang baratayudha dalam kisah Mahabarata yang fiktif dengan perang Badr antara umat Islam dengan kaum kafir quraisy yang realistis. Secara historis-relegius jelas tidak ada hubungannya. Kisah Mahabarata berbasis keagamaan Hindu, sedangkan Perang Badr berbasis keagamaan Islam yang settingnya juga berbeda dan saling berjauhan. Kemudian di manakah letak keterkaitan antara keduanya.

Keterkaitan antara kisah Mahabarata dan Perang Badr terletak pada universalitas nilai. Perang Badr merupakan salah satu peperangan yang tergolong paling dahsyat yang dilakukan oleh umat Islam dan dimenangkan oleh umat Islam. Sekembalinya dari perang badr, Rasulullah bersabda “raja’na minal jihadil asghar ila jihadil akbar” (kita kembali dari peperangan yang paling kecil menuju peeprangan yang paling besar). Para sahabat Rasulullah bertanya-tanya dan terheran-heran, karena perang badr yang begitu dahsyat oleh beliau dikatakan perang paling kecil. Mereka bertanya kepadanya, apa yang dimaksud dengan jihadul akbar ya rasul (apa itu perang yang paling besar wahai Rasul?). Beliau menjawab, jihadun nafsi (memerangi hawa nafsu). Sabda ini menunjukkan bahwa memerangi hawa nafsu lebih dahsyat daripada perang badr. Nafsu menurut Sigmund Freud (ahli psikoanalisa) dimaknai sebagai energi psikis yang dinamis dalam perkembangan peradaban manusia.

Manusia oleh Tuhan dianugerahi tiga tingkatan nafsu, yaitu nafsu ammarah (nafsu amarah), nafsu lawamah, dan nafsu muthmainnah. Nafsu ammarah identik dengan nafsu kebinatangan. Apabila manusia dalam hidupnya lebih mengedepankan nafsu amarahnya, maka perilaku kehidupannya tidak jauh berbeda dengan perilaku binatang. Keserakahan, ketidakadilan, kebencian, kesombongan, kecongkakan, kekejian (fakhsya’), kelicikan, dan ketidakmanusiawian akan menghiasi kehidupannya sehari-hari. Posisi orang seperti ini menurut Alquran lebih hina daripada binatang (ula’ika kal an’am bal hum ahollu). Manusia yang berhawa nafsu amarah ini dalam kisah Mahabarata diperankan oleh Sengkuni dan Kurawa.

Nafsu Lawwamah merupakan nafsu yang setingkat di atas nafsu ammarah. Manusia yang dalam hidupnya didominasi oleh Nafsu Lawwamah menunjukkan ada kebangkitan batin dalam dirinya. Mereka menyadari akan kesalahan dan dosa yang diperbuat, mereka menyadari akan pentingnya berbuat lebih baik lagi. Dalam diri nafsu Lawwamah terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang tidak dimiliki pada nafsu ammarah. Nafsu lawwamah merupakan nafsu transisi untuk menuju nafsu muthmainnah. Terkait dengan nafsu lawwamah ini, Allah berfirman dalam Surah Al-qiyamah ayat 2 ”wa laa uqsimu bin nafsil lawwamah” (Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri/lawwamah).

Nafsu yang paling tinggi derajatnya adalah Nafsu muthmainnah. Nafsu Muthmainnah berada pada tataran kematangan jiwa dan kematangan sepiritual. Nafsu Muthmainnah merupakan nafsu yang dicirikan oleh sikap ihlas, puas (radliyyah), dan diridlai oleh Allah (mardliyyah), istiqomah, tenang, sikap tawakkal, sikap kasih sayang, sikap toleransi, sikap tawadllu’, sikap peduli sosial dan penuh perhatian terhadap kaum lemah. Oleh Allah swt, manusia yang memiliki jiwa muthmainnah ini mendapat tiket untuk masuk surga-Nya dan hidup di surga bersama hamba-hamba Allah yang saleh. Tersebut dalam surah Al-Fajr, ayat 27 yang terjemahannya ”Wahai jiwa yang tenang (muthmainnah) Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya, Maka masukklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku”.

Dalam konteks kisah Mahabarata, Nafsu muthmainnah diperankan oleh pendawa. Para pendawa begitu sabar, ihlas, ”nerima” diperlakukan tidak adil oleh kurawa sejak masa kecil. Mereka dihianati, ditipu, disiksa, diracun, dibakar hidup-hidup oleh kurawa yang dimotori oleh Sengkuni (satria pelasajenar). Bahkan mereka diusir oleh Kurawa selama 14 tahun. Lebih dari itu, para kurawa secara kesat mata melakukan pelecehan seksual terhadap Drupadi. Sementara itu, posisi Bisma (pewaris utama Negara Hastinapura), guru Druna, dan Karna, termasuk Perdana Menteri Widura tidak dapat berbuat banyak. Konon mereka disumbat oleh sumpahnya yang egoistik.

Sisi lain keterkaitan nilai-nilai universal antara kisah Mahabarata dan Perang Badr adalah kedua-keduanya sama-sama memiliki visi yang sama, yakni memerangi kebatilan. Perang badr memerangi kekejaman, kemusyrikan, ketidakmanusiawian, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kesombongan, kecongkakan, dan keangkaramurkaan kaum kafir quraiys. Hal yang sama juga dapat dilihat pada kisah Mahabarata. Perang Baratayudha dalam kisah Mahabarata juga memerangi nafsu-nafsu ammarah, nafsu-nafsu kebinatangan, dan nafsu syaithaniyyah yang menguasai pribadi Kurawa.

Kesamaan lain antara keduanya adalah universalitas pergulatan batin dalam diri manusia. Artinya, dalam diri kita terdapat sifat-sifat kurawa yang ammarah dan sifat-sifat pendawa yang muthmainnah. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, dan setiap saat selalu terjadi peperangan antara kurawa dan pendawa dalam batin kita. Kedua sifat ini saling menguasai diri kita. Apabila diri kita dikuasai oleh sifat-sifat kurawa, maka sifat amarah yang akan mewarnai perjalanan kehidupan kita, sebaliknya, apabila diri kita dikuasai oleh sifat-sifat pendawa, maka sifat mutmainnahlah yang akan mewarnai perjalanan hidup kita. Untuk mengalahkan sifat-sifat kurawa yang berkecamuk dalam diri kita, diperlukan suatu jihad yang oleh Rasulullah—sesuai perang badr—disebut dengan jihadun nafsi.

 

 

[1] Prof. Dr. Moh. Ainin, M.Pd adalah dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.