Mahasiswa dan Media Massa

Mahasiswa dan Media Massa
Karkono Supadi Putra
Dosen di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang
(Pernah dimuat di kolom Opini koran Surya)

 

Menulis itu mencerdaskan. Seseorang yang menulis, apa pun jenis tulisan itu, berarti dia sudah melakukan serangkaian kegiatan pembelajaran. Melakukan proses pembacaan untuk mendapat materi tulisan yang akan ditulis. Proses pembacaan itu bisa berarti membaca dalam arti sebenarnya, yaitu membaca buku-buku referensi, koran, majalah, atau data-data dari sumber lain. Bisa juga membaca fenomena di masayarakat. Realita di sekitar dapat menjadi inspirasi tulisan. Menulis adalah mengasah kecerdasan intelegensia sekaligus kepekaan.

Selain memberi efek mencerdaskan, menulis jadi sarana pelepasan emosi. Apa yang ada di benak, jika tidak dikeluarkan akan membuat penat. Mekanisme pengeluaran itu bisa dengan lisan atau tulisan. Rasanya sayang, kalau ide yang bertebaran di pikiran hanya dipendam, padahal jika ditulis dan dipublikasikan kepada khalayak akan memberi informasi dan inspirasi positif.

Pelepasan emosi dengan menulis tentu memberi manfaat ganda : kepada penulis sendiri dan pembaca. Agar ide-ide cemerlang seorang penulis bisa dinikmati kalangan luas, membutuhkan sarana memublikasikan tulisan itu. Salah satu yang efektif adalah media massa. Media massa, apapun jenisnya, senantiasa berinteraksi langsung dengan masyarakat. Beragam informasi dari masyarakat akan diinformasikan kembali kepada masyarakat yang lebih luas.

Sudah selayaknya keberadaan media massa tidak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat di era global sekarang ini. Informasi menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat di zaman penuh kompetisi dan sangat dinamis. Tidak saja berupa rekaman peristiwa yang hangat terjadi, media massa berisikan pengayaan pemikiran, sumbang pendapat, ajang mempromosikan usaha, dan tidak lupa juga berisi anekahiburan. Tulisan di media massa tidak hanya berasal dari redaksi pengasuh media, tapi bisa berasal dari kiriman pembacanya.

Salah satu bagian masyarakat yang potensial untuk produktif menghasilkan tulisan adalah pemuda, khususnya mahasiswa. Mahasiswa setiap harinya akrab dengan dunia ilmu pengetahuan. Mahasiswa senantiasa berkutat dengan proses pembelajaran : membaca dan menulis. Cukup beralasan, tingkat kecerdasan intelegensia dan kepekaan terhadap fenomena sosial budaya di sekeliling mahasiwa lebih tinggi jika dibandingkan masyarakat awam.

Gagasan hasil dari interaksi dengan dunia akademik yang intens sangat sayang bila tidak dibagi untuk kalangan luas. Sebagai bagian dari masyarakat, mahasiswa punya tingkat kepekaan lebih karena bekal ilmu yang didapat dari kampus sudah seharusnya diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Ilmu bukan lagi eklusivitas dalam kehidupan kampus. Sangat logis jika kecerdasan suatu bangsa tergantung dengan tingkat kecerdasan (baca pendidikan) dari warga negaranya.

Mahasiswa dan media massa adalah dua bagian yang saling membutuhkan. Mahasiswa perlu beragam informasi yang tersaji di media massa, butuh ruang bagi publikasi ide-ide yang dimilikinya, atau ruang untuk mengungkapkan reaksi terhadap informasi yang ada di media massa.

Sebaliknya, informasi yang disajikan media massa akan lebih kaya jika diramaikan oleh pemikiran-pemikian kaum intelektual calon pemimpin bangsa ini. Fakta sejarah menunjukkan, mahasiswa selalu tidak bisa dipisahkan terhadap setiap perubahan di dalam suatu bangsa, termasuk Indonesia. Dengan kekritisannya, mahasiswa siap bergerak jika melihat penindasan dan ketidakadilan. Mahasiswa termasuk agent of change. Kekritisan mahasiswa itu, salah satunya tertuang lewat tulisan di media massa.

Masalahnya, sekarang ini bisa dikatakan tidak cukup berimbang ruang yang diberikan media massa, khususnya media cetak, dengan kebutuhan para mahasiswa untuk mengekspresikan ide-idenya lewat tulisan. Bisa kita lihat, berapa banyak media massa yang lebih menitikberatkan pada faktor hiburan yang lebih banyak berisi berita para selebriti jika dibandingkan dengan jumlah media massa yang berisi informasi yang bersifat akademis.

Memang, tetap ada media massa yang cukup berimbang dalam menyuguhkan sajian informasi : tetap memberi ruang hiburan, tapi tetap memberi porsi sumbang pendapat dari pembacanya. Namun, sekali lagi dalam jumlah kuantitas bisa dikatakan masih kurang. Salah satu media massa yang memberi ruang bagi aspirasi para mahasiswa adalah Harian Surya dengan rubrik Warteg. Meski tidak mengkhususkan bagi mahasiswa tetapi  yang berpartisipasi aktif dalam rubrik ini didominasi para mahasiswa.

Banyak mahasiswa yang merasa kesulitan untuk menembus media massa. Wajar, media massa menyeleksi setiap naskah yang masuk, tidak asal memuat. Selalu gagal mengirim tulisan ke media, tidak sedikit para mahasiswa yang akhirnya putus asa dan mengikuti arus lain : menjauhkan diri dari aktivitas menulis. Mahasiswa memilih budaya lihat dan dengar daripada budaya baca tulis.

Ada dua hal yang menjadi perhatian. Pertama, sudahkah media massa memberi ruang bagi para mahasiswa untuk berinteraksi timbal balik. Cukup beralasan jika mahasiswa mendapat tempat di media massa. Kedua, bagi mahasiswa, agar lebih menyadari kedudukan sebagai kaum pemikir Jangan sampai gelar mahasiswa berhenti pada status. Mahasiswa dituntut proaktif dengan fenomena yang banyak terekam di media massa.

Tulisan mahasiswa yang berisi ide cemerlang sudah selayaknya menghiasi media massa. Jangan sampai, media massa banyak memberitakan tentang mahasiswa tetapi dalam wajah lain : mahasiswa pesta narkoba, mahasiswa tawuran, dan hal-hal negatif lain yang kontradiktif dengan predikat yang melekat pada diri mahasiswa.

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.