Merevolusi Kawan

Beberapa hari yang lalu, saat berdiskusi dengan seorang aktivis pergerakan mahasiswa di sebuah kampus terkemuka di kota Malang, muncul pertanyaan tentang program “revolusi kampus” yang digembar-gemborkan oleh dia seorang aktivis dan kelompoknya sewaktu pemilihan Presiden Mahasiswa tahun lalu. Jawaban aktivis pergerakan tersebut cukup mengejutkan, “Revolusi tidak jadi dilaksanakan, sungkan pada pemberi beasiswa.”

Apakah sudah sedemikian parah budaya korupsi, hingga aktivis pergerakan yang selama ini dinilai “suci” oleh masyarakat berpikir sedemikian pragmatisnya. Pola pikir aktivis itu mengherankan. Rasa sungkan akibat dapat beasiswa dijadikan pembenar batalnya “revolusi kampus”. Pantas saja, ada yang menilai, pergerakan mahasiswa di kampus itu sudah tidak lebih dari demonstran bayaran.

Kalau kondisinya seperti ini, tidak heran jika di tingkat pusat, ada beberapa oknum aktivis yang dulunya kritis terhadap pemerintah setelah merasakan empuknya kursi kekuasaan jadi terlena. Tidak heran bila Soe Hok Gie memberi cermin dan peralatan make-up pada teman-teman sesama aktivis yang lupa daratan setelah masuk ke istana kekuasaan.

Tentu wajar jika ada harapan agar para aktivis yang terlena akan enaknya jadi penguasa tetap melanjutkan revolusinya. Revolusi yang mereka lakukan bukanlah revolusi yang besar dan megah, melainkan revolusi diri sendiri. Dengan revolusi diri diharapkan mereka sadar, bahwa rakyat berharap banyak pada mereka.

Tentu saja tidak semua aktivis seperti itu. Aktivis yang tulus berjuang demi rakyat masih jauh lebih banyak. Mereka berjuang di jalur-jalur tidak populer seperti membuka rumah singgah bagi anak jalanan, memberikan pelatihan keterampilan hidup bagi masyarakat marginal, menjadi sukarelawan ketika bencana alam datang dan berbagai aktivitas yang jauh dari gemerlapnya pemberitaan. Merekalah yang berhasil merevolusi diri sendiri.

Sumber: http://www.surya.co.id/2010/09/27/merevolusi-kawan.html

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.