Misteri KUNTILARIA

Jembatan “SUMEH”

(misteri KUNTILARIA)

            Sorak gembira mingiringi keceriaanku setelah tiba di desa “Ngadirejo”. Desa dimana kami akan melakukan beberapa sesi pemotretan bersama Eko, Nuri dan Galih. Di desa ini kami menginap di rumah pak Kamto, beliau adalah tukang kebun di rumah Galih. Setelah beberapa lama kami diajak pak Kamto untuk berkeliling melihat tempat-tempat yang akan kami gunakan untuk pemotretan. Dug dug dug bunyi bedug masjid yang menandakan waktu sholat maghrib tiba. “Anak-anak sudah maghrib tuh, ayo kita balik kerumah”, kata pak Kamto dengan raut wajah cemas. “tunggu pak!”, teriak Galih, kalu jalan itu ke arah mana ya pak?”, Tanya Galih. Dengan sedikit gemetar Pak Kamto bilang kalau jalan itu menuju ke jembatan gantung yang menghubungkan desa Ngadirejo dengan kota. “kenapa kita tidak kesana pak?”, Tanya Eko karena penasaran, dengan nada keras pak Kamto melarang kami pergi kejembatan itu setelah maghrib tetapi pak Kamto tidak mau memberikan alas an mengapa kita tidak boleh pergi kejembatan itu. Kita pun kembali kerumah pak Kamto.

Karena rasa penasaran yang menggebu dalam diri si Eko, sesampai dirumah diapun bertanya lagi kepada pak Kamto mengenai jembatan yang dibicarakan sore tadi.

“Sebenarnya kalian datang ke desa ini pada waktu yang tidak tepat”, Ujar pak Kamto.

“Tetapi maaf anak-anak, saya tidak bisa menceritakan hal ini dimalam hari kata orang-orang disini pamali”, Tambah pak Kamto.

Setelah selesai sholat Maghrib, terus menurus kami membicarakan jembatan itu dan rasa penasaran kami pun tak terbendung lagi.

“Ya sudah sekarang kita pergi saja kejembatan itu”, ujar Eko dengan semangat,

“ayo berangkat sajalah”, susul Galih.

Karena penasaran juga akhirnya aku pun juga memutuskan untuk ikut mereka. Tanpa diketahui pak Kamto diam-diam kami pergi ke jembatan itu. Perjalanan kami pun sudah semakin dekat dengan jembatan itu, Tetapi cuaca terlihat kurang mendukung ingin kami menuju ke jembatan itu. Karena rasa penasaran yang menggebu-gebu kami pun melanjutkan perjalanan menuju jembatan itu, walau saat itu sedikit gerimis.

Suasana saat itu langsung berubah sunyi senyap, seakan-akan disekitar jembatan itu tak berpenghuni. Semangat kami dari rumah Pak Kamto pun sirna begitu saja. Kami pun berjalan pelan seolah enggan memasuki wilayah jembatan itu. Angin malam berhembus menyebarkan rasa dingin yang sangat menyengat. Di sana-sini terdengar tetes- tetes air hujan dari daun pepohonan di sepanjang jalan menuju jembatan. Sementara di balik gelapnya malam, samar terdengar suara burung-burung malam mengalunkan nada sendu yang mampu mendirikan bulu roma yang mendengarnya.

Ngik ngik ngik “suara palang nama jembatan tertiup angin, menambah rasa takut kami.

Saking takutnya si Nuri yang merupakan satu-satunya gadis yang ikut dengan ku memegang tangan ku dengan eratnya.

”Hooooe ayo kemari”, teriak galih mengajak kami untuk melewati jembatan itu.

Kami pun menghampiri Galih tetapi ada sesuatu yang aneh terjadi dengannya, tatapannya tertuju pada satu arah dan terlihat plinplan.

”Lih ada apa?”, tanyaku sambil menggoyangkan bahunya.

”eenggak gak gak apa-apa kok”, jawab Galih dengan terbata-bata.

Malam semakin larut dan nyanyian burung malam terdengar makin memilukan, menambah seramnya suasana malam itu. Samar-samar tedengar seperti tangisan wanita yang kesakitan diikuti dengan aroma yang begitu wangi dari bawah jembatan “SUMEH” ini. Rasa takut beserta penasaran dari mana bau itu berasal. Eko langsung memeriksa apa yang ada dibawah jembatan dengan mengintip melalui sela-sela papan jembatan, karena sudah larut malam ditambah cahaya rembulan yang tak mampu menembus tebalanya awan hitam yang menyelimuti langit desa ngadirejo Eko pun tak bisa melihat apa pun yang ada di bawah jembatan itu.

“Gluuuurrrr,” bunyi petir disertai kilat yang mampu menerangi sekitar jembatan ini.

“Gluuuuuuuuuuuuuuuurrrrr,” rasa takut dan heran kami bercampur jadi satu karena bayangan yang dihasilkan kilat ada lima, padahal yang ada di sini ada 4 orang yakni aku, Eko, Yuni dan Galih.

Akhirnya kami memutuskan untuk pulang kerumah pak Kamto, tetapi dari bawah jembatan terihat remang-remang sesosok wanita yang mengenakan baju putih melambaikan tangan ke arah kami.

”Mbak ngapain di bawah jembatan”? Bukannya takut si Galih malah melontarkan pertanyaan kepada si gadis.

Wanita itu hanya menunduk dan menangis seakan-akan minta tolong. Mendengar tangisan wanita itu tiba-tiba tubuh kami dan tulang rahang kami kaku sehingga tidak tidak bisa berbuat apa-apa, dalam hati kami hanya berdo’a meminta pertolongan tuhan agar kami bisa segera pergi dari jembatan ini.

Rasa takut belum hilang kami berempat melihat sesosok tubuh hitam, tampak berjalan tertatih-tatih .Ia mencoba menembus gelapnya malam. tangan kirinya tampak menjinjing sebuah bungkusan kecil, sedangkan tangan kanannya memegang sebuah senter kecil yang sudah redup.

Sosok tubuh hitam itu ternyata pak Kamto yang sedang mencari kami. Pak Kamto mendekati kami dan bertanya dengan nada marah,” Mengapa kalian tidak bisa diberitahu?”.

“Ma..ma..af pak”,ujarku dengan rasa takut.

Kita pun pulang bersama dengan pak Kamto, tetapi rasa takut setelah melihat  wanita itu belum hilang juga.

***

Paginya setelah sarapan, kami menceritakan semua apa yang kami lihat dibawah jembatan itu. Pak Kamto pun mencoba untuk menjelaskan, apa yang sebenarnya terjadi di jembatan “Sumeh”?

“Cerita ini berawal dari si Udin pemuda desa yang sangat tampan”, pak Kamto memulai ceritanya

“Lho kok Udin pak, apa hubungannya dengan gadis di bawah jembatan itu?”, Tanya Eko memutus cerita pak Kamto.

“Hustt makanya kalo ada orang cerita tu dengerin dulu! Lanjut Pak”, Tegurku

Pak Kamto pun menceritakan bahwa si udin ini merupak cowok idaman semua gadis yang ada di desa Ngadirejo, Namun si Udin ini tidak pernah suka dengan cewek melainkan cowok, alias “homo”. Setiap malam si Udin bekerja sebagai waria di perempatan jalan yang tidak jauh dari jembatan “Sumeh”. Pada suatu malam tempat ngetam si Udin ada razia yang dilakukan oleh pemerintah kota.

“Terus apa yang teradi pada Udin pak?”,Tanya Galih karena rasa peanasaran.

“ Sabar anak-anak!”, suruh pak Kamto.

Menurut cerita pak Kamto, ternyata Si udin merupakan satu-satunya waria yang paling apes pada saat penggrbekan tersebut. Karena paras yang begitu menggoda, aparat tidak menangkap Udin tetapi malah ingin memperkosa udin ramai-ramai. Saking takutnya Udin pun lari menuju ke jembata “Sumeh” dan memutuskan menjeburkan dirinya ke sungai untuk menyelamatkan diri, tanpa disadari oleh Udin ternyata pada saat itu adalah musim kemarau dan sungai dalam keadaan surut. Udin pun tewas seketika karena kepalanya membentur bebatuan sungai yang keras. Sungguh tragis memang kematian si Udin.

Warga desa Ngadirejo mempercayai bahwa, arwah Udin akan terus bergentayangan sebelum 40 hari kematiannya.

“Jadi sosok wanita itu Udin pak?”, Tanya galih.

“Benar sekali, orang desa sering menyebutnya KUNTILARIA “,jawab pak Kamto.

Setelah mendengar cerita pak Kamto, kami pun berjanji tidak akan pergi ke jembatan Sumeh pada malam hari.

 

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.