NUKILAN SURGA

Di penghujung Surat Al-Baqarah ayat 185 yang mengakhiri penjelasan tentang puasa dinyatakan “…  Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
As-shiyam (puasa) Ramadlan merupakan salah satu bentuk bersyukur. Dalam konteks umat Islam yang hidup di Malang Raya, khususnya, dan di Indonesia pada umumnya, bentuk syukur itu dapat kita hayati, setidaknya, dari tiga kekhasan berikut.
Pertama, kita dikaruniai oleh Allah untuk dapat berjumpa lagi dengan Ramadlan. Do’a yang kita mintakan kepada Allah “… waballighna ramadlana”  ‘dan jumpakanlah kami dengan Ramadlan’ telah dikabulkan oleh Allah. Mari kita lihat di sekeliling kita: Ramadalan tahun lalu, sebagian dari kita masih ditunggui ayah-ibu kandung dan atau ayah-ibu mertua, suami atau istri, atau sahabat akrab yang kita hormati—teman sekampung, teman sekantor. Akan tetapi, saat ini, salah seorang dari Beliau, sudah mengahadap-Nya, tidak bisa lagi berpuasa Ramadlan dengan kita, tidak bisa lagi minum “kolak” untuk ta’jil buka puasa bersama kita, tidak bisa lagi membangunkan “ayo tahajjud Pa/Ma/Nak”, atau tidak bisa lagi “membisikkan” kata … sahur … sahur … sahur ….
Kedua, kita dikarunia oleh Allah negeri “nukilan surga.” Sebagian besar gambaran fisik tentang surga ada di negeri kita “… yang mengalir di bawahnya sungai … tumbuhlah aneka tumbuhan dengan buah-buahan … ada taman dengan aneka bunga yang indah-indah.” Negara kita hanya mengenal dua musim, yakni musim kemarau dan musim hujan dengan suhu udara yang sedang-sedang: tidak terlalu ekstrim panasnya (bandingkan dengan di Makkah yang bisa mencapai 45 derjat Celcius) atau telalu dingin (bandingkan dengan Selandia Baru yang bisa mencapai minus derajat Celcius).
Ketiga, kita dikarunia masyarakat yang majemuk yang menghormati perbedaan. Dalam konteks penentuan awal Ramadlan kemarin, misalnya, sejak awal, dengan metode hisab, Muhammadiah sudah menetapkan bahwa Ramadlan jatuh pada Jumat, 20 Juli 2012. Dengan perhitungannya, pada tanggal 19 Juli 2012, hilal sudah wujud walaupun mungkin belum maujud, yakni belum dapat dilihat. Sementara itu, Nahdlatul Ulama melakukan rukyah bil fi’li  ‘melhat hilal secara langsung’ baru bisa menetapkan awal Ramadlan. Dalam sidang isbat Kementerian Agama tanggal 19 Juli 2012, Menteri Agama menetapkan 1 Ramadlan 1433 H jatuh pada hari Sabtu, 21 Juli 2012 karena hilal belum dapat dilihat di tempat ru’yat seluruh Indonesia pada tanggal 19 Juli 2012 . Oleh karena itu, bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari.
Dalam sidang isbat itu, Menteri agama memberi kesempatan kepada organisasi massa (ormas) Islam untuk menyampaikan pandangan. Sebagian besar ormas yang hadir mengikuti ketetapan Pemerintah. Dua ormas yang menetapkan 20 Juli 2012 sebagai awal Ramadlan dengan perhitungan dan alasan yang lain.
Yang patut kita syukuri, sebagian besar pemimpin ormas Islam menyampaikan pandangannya dengan menghormati pandangan yang lainnya, tidak ada pemaksaan. Demikian juga masyarakat muslim di Indonesia: yang mulai puasa tanggal 21 Juli 2012 menghormati yang mulai puasa 20 Juli 2012, demikian juga sebaliknya. Tentu saja harus konsisten atas pilihannya, tidak bisa misalnya, awal puasa ikut yang Sabtu, sedangkan saat mengakhir puasa ikut yang Jumat. Kalau ini yang dipilih, ada kemungkinan puasanya hanya 28 hari, andaikan permulaan puasa hari Jumat, ternyata bulan Ramadlan itu hanya 29 hari.
Secercah harapan muncul saat sidang isbat itu, yakni keinginan kuat agar awal Ramadlan dan awal Syawal bisa bersama-sama. Ada peserta yang mengusulkan perlunya kriteria yang sama penetuan awal bulan dengan menggabungkan hisab dan rukyat, yakni kriteria hisab imkan rukyah ‘berbasis hisab, tetapi yang mungkin dapat dirukyah’. Ada juga yang menyampaikan betapa tidak praktisnya penentuan awal Ramadlan dan awal Syawal di Indonesia, terutama untuk saudara-saudara kita yang di Indonesia Timur. Karena saat ketetapan sudah sekitar pukul 19.30 WIB, berarti di Indonesia Timur sudah pukul 21.30 WIT,  sudah sangat malam.
Dalam pikiran saya, tidak bisakah kita menetukan tanggal 1 bulan berikutnya dengan sangat akurat dengan menghitung dan “melihat” bulan pada siang hari tanggal 29-nya? Toh, dalam konsideran baik yang hisab maupun rukyah selalu menggunakan “usia” bulan hari itu. Tentu saja, dengan catatan ada kriteria yang sama tentang sudah terbit hilal atau belum terbitnya hilal. Kalau kriterianya belum sepakat, ya, memang tidak akan pernah bertemu.
Akan tetapi, apa pun pilihan para pemimpin ormas itu, yang paling kita syukuri adalah umatnya sangat menghormati pilihan masing-masing.
Selamat menjalan ibadah Ramadlan 1433 Hijriyah.
 
Malang, 23 Juli 2012
Dawud
FS UM

Post Author: humas admin