Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Punaji Setyosari

pengukuhan-prof-dr-h-punajiProses pendidikan cenderung semakin mengabaikan unsur “mendidik”, demikian dikatakan Prof. Dr. H. Punadji Setyosari, M.Pd, M.Ed saat menyampaikan Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam bidang Ilmu Teknologi Pembelajaran FIP UM, Kamis (14/5/09) di Aula Utama kampus UM.

(Malang, Warta Online) Perkenankanlah pada kesempatan ini, saya menyampaikan pidato pengukuhan dalam suasana sedikit agak galau yang berkenaan dengan kondisi pendidikan kita dewasa ini. Kegalauan ini terkait dengan situasi dan kondisi, sebagaimana kita saksikan dan cermati di lapanganselama ini, berkenaan dengan pelaksanaan proses pendidikan yang berlangsung terutama di sekolah-sekolah. Proses pendidikan cenderung semakin mengabaikan unsur “mendidik” dan pendidikan seolah digantikannya dengan aktivitas yang lebih menekankan pada aspek-aspek yang bersifat “latihan mengasah otak”. Demikian dikatakan Prof. Dr. H. Punadji Setyosari, M.Pd, M.Ed saat menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Teknologi Pembelajaran pada Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Malang (UM) dalam judul pidatonya “Pembelajaran Kolaborasi: Landasan untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial, Rasa Saling Menghargai dan Tangggung Jawab,” pada tanggal 14 Mei 2009 bertempat di Aula Utama kampus UM.

Aktivitas pendidikan, lanjutnya “Seharusnya mengintegrasikan dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik telah diabaikan begitu saja dan ternyata sebagian praktek-praktek pendidikan kita disekolah-sekolah lebih menekankan pada aspek latihan kognitif belaka. Kondisi ini sangat memprihatinkan kita, para pendidik, orang tua dan bahkan masyarakat sendiri, karena kegiatan yang seharusnya menyatukan olah pikir yang merupakan dimensi kognitif, olah rasa merupakan dimensi afektif, dan olah raga adalah dimensi psikomotorik, tidak berjalan secara proporsional dan seimbang.”

Dengan dalih waktu yang sangat tersedia sangat sedikit, jika dibandingkan dengan saratnya materi kurikulum sehingga waktu dan energi guru dihabiskan untuk mencurahkan isi materi yang bersifat kognitif saja. Ditambah lagi, cara-cara guru membelajarkan pebelajar hanya mentransfer pengetahuan begitu saja tanpa memberikan kesempatan secara luas bagi pebelajar untu “mencerna” pengalaman belajarnya. Sangat disayangkan, bahwa dalam proses pendidikan tidak menempatkan pebelajar sebagai fokus utama, tetapi praktek pembelajaran di sekolah-sekolah masih lebih banyak menempatkan guru (pembelajar) sebagai satu-satunya sumber utama belajar. Proses pendidikan semacam ini berarti mengabaikan potensi pebelajar sebagai subjek belajar, yang sesungguhnya hakekat belajar itu tidak lain adalah belajarnya subjek didik (pebelajar), sehingga ia tidak berkembang diri secara optimal.

Lebih parah lagi, para pebelajar yang duduk di kelas-kelas tinggi sebut saja kelas enam (untuk jenjang SD/MI), kelas sembilan (untuk jenjang SMA/MA/SMK) telah “dipaksakan” mengasah otaknya untuk menghadapi ujian akhir. Pada semester akhir biasanya sebagian besar energi, tenaga dan waktu para pebelajara dan guru lebih banyak digunakan atau dicurahkan hanya untuk latihan mengerjakan soal-soal ujian dengan maksud agar mereka (para pebelajar) di kelas akhir dapat lulus ujian. Juga, tidak jarang orang tua harus mengeluarkan kebutuhan ekstra dengan cara “mengirim” putra-putrinya ke tempat-tempat bimbingan belajar demi mengejar kelulusan. Berkaitan dengan tipe aktivitas semacam ini, berarti kita telah menempatkan sekolah hanya pada harapan prestasi akademik tinggi dan penuh suasana kompetisi.

Hal itu baik, dalam konteks apabila sekolah diharapkan memacu prestasi belajar tinggi bagi peserta didiknya secara keseluruhan. Artinya, para pebelajar tumbuh dan berkembang secara wajar dengan prestasi akademik yang baik pula. Sebaliknya, dalam konteks yang lain sebagaimana dikemukakan di depan, kita telah mengabaikan hakekat pendidikan yang sesungguhnya sebagaimana dikemukakan oleh Davies.

Menyinggung tentang seharusnya yang harus dilakukan, Prof. Punadji yang lahir di Malang pada tahun 1959 ini, menjelaskan, “Pembelajaran seharusnya mengintegrasikan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pembelajaran hendaknya memfokuskan pada proses mendidik dan tidk sekedar mentransfer pengetahuan begitu saja. Proses pembelajaran perlu memperhatikan penanaman aspek-aspek soft skills, yang antara lain kerja sama, rasa saling menghargai pendapat, rasa saling memiliki (sense of belonging), rasa tanggungjawab, kejujuran dan rela berkorban dan seterusnya yang saat ini terasa diabaikan dan masih belum memperoleh perhatian besar dalam dunia pendidikan kita.

Kita sebagai anggota suatu masyarakat tergantung kepada orang lain untuk mencapai tujuan hidup bersama, dan tanpa bantuan orang lain kita tidak mampu menunaikan tugas hidup ini dengan baik. Dengan demikian, kita perlu secara bersama-sama, kolaborasi, yang menuntut rasa saling menghargai dan mau berkorban untuk tujuan bersama sekaligus mengembang tanggungjawab secara bersama-sama pula, ujar Prof. Punadji Setyosari.

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.