Pilih Bakal Calon Rektor yang Tepat, Jangan Golput

Masa jabatan pimpinan (UM1) periode 2006 – 2010 sudah hampir berakhir, pemilihan rektor dilaksanakan pada tanggal 14 April 2010 untuk masa jabatan periode 2010-2014.  Mari kita  berikan dukungan untuk ikut menetukan masa depan Universitas Negeri Malang dengan memilih salah satu dari daftar 6 orang kandidat calon rektor ada.

Bakal Calon Rektor

Kepemimpinan yang Diperebutkan.

Setiap orang adalah pemimpin dan kelak akan dimintai pertanggunganjawab atas apa-apa yang telah dipimpinnya, sebagaimana hadis dari Ibnu Umar, ”Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (HR Muslim)

Kepemimpinan adalah merupakan amanah yang besar, sehingga dengan demikian orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul beban tanggungjawab yang harus ditunaikan sebagaimana mestinya.  Kewajiban seorang pemimpin untuk memperhatikan hak orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanah tersebut.  Dengan demikian tugas menjadi seorang pemimpin itu berat, sehingga sepantasnyalah yang mengembannya juga adalah orang yang memang cakap dibidangnya.

Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda: ”Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?’ Beliau menjawab: ‘Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat”.” (HR. Bukhari no. 59)

Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah dan berbagai kesenangan dunia lainnya.

Jika menjadi seorang pemimpin yang tidak sadar bahwa ia tengah memikul beban sebuah amanah, akan memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, kebanggaan, serta kemegahan.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwa­yatkan dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu: “Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR. Bukhari no. 7148)

Meminta Jabatan.

Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radliallahu ‘anhu berkata: “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka salah seorang dari keduanya berkata: “Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah”. Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)

Dalam riwayat yang lain, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abdurrahman bin Samurah :”Bila engkau diberikan dengan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Dan tidak mungkin jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap. (Syarah Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari, 13/133, Nailul Authar, 8/294)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apapun. Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta jabatan tersebut dalam rangka wara’ dan kehati-hatiannya dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarah Riyadlus Shalihih, 2/470)

Jabatan adalah amanah.

Mengejar sebuah jabatan mungkin adalah sesuatu yang manusiawi yang dianggap sebagai salah satu usaha seseorang dalam mengejar sebuah cita-cita. Tentu saja ini baru bisa dinilai sebagai suatu yang wajar jika dinyatakan bahwa jabatan adalah merupakan suatu amanah yang harus dipegang dan dijalankan tidak untuk kepentingan pribadi.  Dengan  memandang jabatan adalah suatu amanah, maka akan mengerti pula bahwa meminta-minta atau mengemis jabatan apalagi dengan menghalalkan segala cara, adalah suatu hal yang tidak patut.

Seseorang yang memandang jabatan sebagai suatu amanah semestinya tidak akan bersikap berlebihan dalam mengejar suatu jabatan.  Dia akan bersikap tahu diri dengan menilai kemampuan dirinya apakah cukup layak atau tidak untuk memegang jabatan tersebut. Dengan demikian ia tidak akan terlalu ambil pusing apakah dirinya akan terpilih atau tidak dalam memegang suatu jabatan. Di sisi lain jika dia sudah berada dalam posisi memegang jabatan dan kemudian tidak terpilih lagi untuk memegang jabatan yang sama, dia pun tidak akan mengalami frustrasi yang berlebihan.

Kalau melihat ”setiap orang adalah pemimpin dan kelak akan dimintai pertanggunganjawab atas apa-apa yang telah dipimpinnya”, maka dengan memegang jabatan ini pertanggungan­jawabnya akan menjadi lebih banyak.  Antara lain bertanggungjawab atas

1)  Dirinya sendiri.  Memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (S.58:18) dan untuk apa usia ini dipergunakan.

2)  Keluarga.  Sebagai pemimpin keluarga, mengasihi dan memimpin keluarganya mengantarkan pada suasana sakinah, memotivasi anak-anak untuk meneladani dan berbakti kepada kedua orangtua (Q.S. At Tahrim:6).

3)  Jabatan. Dalam bekerja, seorang pemimpin akan senantiasa berpikir bagaimana orang-orang yang dipimpinnya sejahtera dan merekapun akan berpikir bagaimana bisa memberikan layanan terbaik melalui pekerjaannya

Dengan mengingat ini, tentunya pemimpin akan berusaha untuk tidak membuat suatu keputusan atau kegiatan yang nantinya bisa menjauhkan diri dari nilai ibadah. Misal menentukan / membuat jadwal rapat atau jadwal kuliah sementara ditengah-tengah kegiatan itu adalah jam saat waktu sholat, tentunya ini menjadi tidak bernilai ibadah.  Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan ”hanya Engkaulah yang Kami sembah[2], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan[3]” sementara ketika dipanggil Alloh untuk menghadap kita tidak menghiraukan? padahal kalau yang memanggil Rektor pastilah akan berusaha untuk segera hadir.

[2] Na’budu diambil dari kata ‘ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.

[3] Nasta’iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti’aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.

Ingat, tanggal 14 April 2010 untuk berpartisipasi memilih salah satu dari enam bakal calon rektor, ingak…..ingak.

== Dikutip dari berbagai sumber ===

Post Author: humas admin

Comments are closed.