POST POWER SYNDROME

POST POWER SYNDROME

Oleh: Djoko Rahardjo*

Salah satu “gangguan” kejiwaan yang mungkin akan dirasakan oleh para pejabat yang telah pensiun adalah hadirnya Post Power Syndrome. Gangguan kejiwaan ini memang tidak begitu kelihatan kehadirannya tetapi dapat dirasakan di dalam jiwa. Setiap orang yang terjangkit gangguan kejiwaan ini dapat berbeda kwalitas maupun kwantitasnya. Tergantung pada tinggi dan rendahnya jabatan yang pernah dipegangnya. Menurut pendapat penulis, hanya ada satu penawar Post Power Syndrome, yaitu menerima jabatannya sebagai suatu amanah. Bila suatu jabatan diterima sebagai suatu amanah maka ketika amanah itu “diambil” ikhlaslah sudah. Kata “ikhlas” berasal  dari akar kata bahasa Arab “kholisoh” yang berarti “selesai”.
Pada kesempatan ini, penulis tidak akan membahas masalah Post Power Syndrome tetapi akan menceritakan “obrolan” beberapa PNS UM Kantor Pusat yang sedang istirahat siang di warung nasi, di sebelah barat Kantor Bea Cukai Kota Malang. Saat itu, warung  nasi tersebut dipenuhi oleh PNS UM Kantor Pusat dan 1 (satu) orang Pensiunan PNS UM yang bernama Bapak Suyoto. Beliau terakhir berdinas di Kantor UPPL UM.
“Sopoae sing dilantik dadi kasubag nok UM? (Siapa saja yang dilantik menjadi kasubag di UM?)” Tanya Pak Suyoto kepada kami.
Akeh Pak! (Banyak Pak!). Onok Pak iki, Onok Bu iku (Ada Pak ini. Ada Bu itu.)”. Jawab salah satu teman kami,
“Lho? Wong iku iso dadi kasubag? (Lho? Orang itu bisa jadi kasubag?)”. Begitu komentar Bapak Suyoto, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, pertanda keheranan.
Penulis tidak akan mengulas komentar “para komentator” yang hadir di warung itu. Sebab…, bila komentar-komentar tersebut ditulis akan “tak eloklah”. Kita semua faham dengan kebiasaan ngrumpi para lelaki di warung kopi atau di warung nasi atau pun kebiasaan para wanita yang sedang ngrumpi di pasar dan di tempat arisan. Pasti heboh! Betul, kan?
Sebagai seorang kakek yang akan memasuki masa pensiun (MPP) pada bulan Maret 2013 nanti, penulis mencoba menimbang suatu persoalan—yang  sedang dibicarakan oleh teman-teman secara hati-hati. Imam Al-Ghozali, seorang Ulama Agama Islam yang terkenal dengan kearifannya menyatakan bahwa dalam menimbang suatu perkara harus adil. Beliau menggunakan tiga neraca yaitu neraca kecil, sedang dan yang besar/berat. Dalam menimbang suatu perkara harus menggunakan neraca yang sesuai dengan peruntukannya, misalnya dalam menimbang 1 (satu) gram emas “janganlah” menggunakan neraca/timbangan yang biasa dipakai oleh pedagang di pasar untuk menimbang beras, gula pasir dan sebagainya. Apa yang akan terjadi bila hal tersebut dilakukan? Adilkah?
Seorang hakim yang akan memutuskan suatu perkara pastilah akan mempertimbangkan argumentasi dari terdakwa, penasihat hukum dan penuntut umum. Di samping fakta hukum yang ada, seorang hakim akan menggunakan logika berfikir yang benar berdasar pasal-pasal yang terkait dengan perkara yang sedang disidangkan. Nah…, pada obrolan di warung nasi  waktu itu, siapa yang menjadi “terdakwa”? Nampaknya…, yang hadir di warung itu, semuanya menjadi “hakim”. Kita sudah mengenal akrab dengan istilah dihakimi massa. Terkait dengan masalah ini teman-teman kami cendurung menghakimi bukan mengadili.
Kembali pada acara obrolan di warung nasi…, penulis mencoba menghibur beberapa teman yang sedang kecewa atau galau. Sebab…, ada satu teman yang sudah menduduki pangkat  Penata Tingkat I, Golongan III/d, selama bertahun-tahun tetapi belum memperoleh jabatan. Di samping itu…, ada juga beberapa teman yang sudah menduduki pangkat Penata, Golongan III/c beberapa tahun tetapi belum memperoleh jabatan. Penulis mencoba menghibur mereka seperti berikut ini.
Penulis mempunyai pengalaman ketika sedang mengantri untuk “periksa darah rutin” di Laboratoriun Sentral RSSA Malang beberapa tahun yang lalu. Ketika itu, ruang layanan di lab tersebut masih dicampur antara pasien dari beberapa poliklinik, antara layanan Askes dan umum, antara pengambilan sampel dan pengambilan hasil uji lab. Dapat dibayangkan, betapa penuh sesak antrian pasien. Ada cerita yang cukup menegangkan, yang terjadi beberapa tahun yang lalu.
“Saya tadi sudah antri di poli dalam tetapi disuruh ke lab sini! Dari lab sini disuruh ke Kantor  Layanan Askes! Dari Kantor Layanan Askes disuruh lagi ke sini! Sekarang saya sudah di sini, disuruh kembali besok! Saya seperti dipingpong! Layanan macam apa ini?” Merah padam wajah lelaki tegap paruh baya itu, ketika sedang memarahi petugas lab.
“Orang tersebut kok bisa marah sedahsyat itu. Masalahnya apa?” Tanya seorang teman.
“Begini…, menurut pengalaman saya (penulis) bahwa pasien diabetes yang akan periksa di Poli Endokrin harus periksa darah dulu di lab. Setelah mengambil hasilnya dari lab maka pasien tersebut dapat diperiksa di Poli Endokrin”.
“Dia itu siapa? Kok marahnya seperti itu”.
“Mau tahu?”
“Ya!”
“Dia adalah seorang Purnawirawan TNI dengan pangkat kolonel”.
“Wuaaah!”
“Nah…,oleh sebab itu…,teman-teman harus bersyukur bahwa Anda  saat ini tidak memiliki jabatan sehingga kelak bila sudah pensiun, tidak akan terjangkit Post Power Syndrome, hehehe…”.

 

Malang,  17 Januari 2013

*) Staf Subbag Sarana Akademik BAKPIK UM

Post Author: humas admin

Comments are closed.