KHUTBAH JUMAT: PUASA DAN IDEOLOGI

Pertama, Senin lalu, pengelola program Critical Language Scholarship (CLS)< FS UM,  menyampaikan bahwa 6 di antara 27 mahasiswa Amerika yang belajar bahasa dan budaya Indonesia ikut berpuasa tanpa henti. Padahal, mereka tidak beragama Islam. Untuk menjawab rasa penasarannya, seorang tutor bertanya kepada salah seorang di antara meraka “Mengapa dan untuk apa Anda berpuasa?”. Dia menjawab, “pain myself ‘menyakiti diriku sendiri’”.
Berbeda dengan kita yang sejak kecil diajari bahwa puasa itu untuk mejalankan perintah Allah, untuk menjadi insan yang bertakwa, peserta CLS tersebut menjawab secara lugas bahwa tujuan puasanya adalah untuk menyakiti diri atau menyiksa diri. Mungkin kita akan berkomentar bahwa puasa seperti itu tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Akan tetapi, jika kita mencoba memahami sudut pandang atau paradigma yang dia gunakan, dia telah mencoba  melakukan upaya untuk berempati kepada orang-orang yang tersakiti dan tersiksa karena kemelaratan, karena ketidakmampuan.
Berdasarkan kisah pertama tersebut, kita dapat mengambil pelajaran bahwa alasan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan dilandasi oleh paradigma atas perbuatan yang akan dia lakukan. Paradigma bisa mengarahkan kekuatan untuk melakukan tindakan: seberat, sesulit, sesakit apa pun tindakan itu. Paradigma bisa mengarahkan niat dalam melakukan tindakan: bisa niat benar, bisa niat salah; bisa niat mulia, bisa niat hina; bisa niat terpuji, bisa niat tercela.
Kedua, pada tahun 1970 saat saya kelas 3 SD, menjelang sore hari usai mengandangkan sapi yang saya gembala sejak pagi, saya ditanya oleh bibi saya yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indoensia kurang lebih
 “Nak, kamu masih puasa?”
“Masih, Bu Lik,” jawab saya.
“Lho, bibirmu koq basah?” selidik berikutnya
“Habis wudlu di pancuran terus salat di batu sungai,” jawab saya.
“Allah selalu siaga, tidak pernah tidur lho, Nak,” nasihatnya.
Saat itu, saya bisa menipu Bu Lik saya. Saat itu, saya bisa membuat alibi di hadapan Bulik saya. Akan tetapi, yang sebenarnya, saat itu bahkan sampai dengan sekarang ini, sudah 44 tahun lamanya, saya tidak pernah bisa menipu diri saya sendiri: bahwa ketika berwudlu di pancuran itu, saya telah minum beberapa teguk karena haus yang luar biasa, karena berjam-jam di tengah sawah saat terik matahari menyengat. Mungkin juga di antara hadirin ada yang memiliki kisah sejenis.
Berdasarkan kisah masa kecil tersebut, kita bisa menarik pelajaran bahwa kebenaran formal dan material tidak selamanya sejajar dengan kebenaran moral-substansial. Kebenaran formal-material dapat ditutupi, dapat direkayasa, bisa diatur. Kebenaran moral-substansial tidak pernah dapat kita tutupi, tidak pernah dapat kita rekayasa, tidak pernah dapat kita atur. Kita tidak pernah mampu menipu diri kita sendiri. Kita yang melakukan, kitalah yang mengetahui dan mengawasi. Juga, tentu saja, Allah mengetahui dan mengawasi kita.
Ketidaksejajaran kebenaran formal-material dengan kebenaran moral-substansial ini akan menjadi-jadi jika dilandasi oleh kepentingan dan kekuasaan.
  • Dalam konteks kisah asmara, kita mengenal julukan kepada lelaki (sebagai penguasa) oleh perempuan (yang dikuasai) dengan sebutan “serigala berbulu domba” karena Setelah kaudapatkan semua dariku, dengan begitu mudahnya aku kaucampakkan. Kaututupi sifatmu dengan warna madu. Rupanya engkau serigala yang berbulu domba. Tertawa engkau puas tertawa, dan bangga setelah kau lakukan. Tetapi ada yang kaulupakan, Hukuman dan keadilan Tuhan. Tiada dosa bebas tanpa balasan
  • Di Korea Selatan dan di Jepang, yang nota bene ada negara yang mayoritasnya non muslim, tetapi begitu kuat kontrol moralnya, seorang pejabat yang menjadi tersangka korupsi, misalnya, dengan cepat menyatakan mengundurkan diri, bahkan ada yang bunuh diri. Tidak jarang terjadi, bukan dia yang korupsi, tetapi kerabatnya atau anak buahnya yang korupsi, sang pejabat mengundurkan diri, walaupun bukti formal dan material belum dibuktikan di pengabilan. Coba bandingkan di negara kita: ada yang sesumbar gantung di tugu yang tinggi, ada yang sesumbar potong telinga, bahkan ada yang tidak risih promosi kenaikan jabatannya.
  • Penggalan kisah Mahabharata berikut dapat kita jadikan pelajaran.
(1) Dalam penggalan Bale Sigala-gala, Maharaja Destrarata yang ambisius itu, melarang Duryudana untuk membunuh Pandawa dan Ibu Kunti dengan mengatakan “Bagaimana aku mempertanggung jawabkan di hadapan Pandu di alam sana nanti kalau engkau Duryudana membunuh wanita yang lemah dengan membakarnya melalui cara licik, yakni seolah-olah istana tempat tinggalnya itu terbakar.
(2) Basukarna yang pembela setia Duryudana masih tergerak hatinya untuk membocorkan rencana jahat Kurawa yang akan membakar Pandawa dan ibunya.
(3) Basukarna pun masih mengorbankan ajian kesaktian pemberian dewa Surya kepada Basudewa Kresna agar dia bisa terbunuh oleh Arjuna dalam perang Baratayudha yang sebelumnya telah memberi isyarat kepada Kunti, ibu yang membuangnya, dengan mengatakan “Ibu, aku tahu Duryudana di pihak yang salah. Ibu, aku tahu Kurawa akan kalah. Akan tetapi, hanya dengan membelanya, Ibu, aku bisa melunasi hutang budiku terhadapnya. Biarkanlah aku tetap berperang melawan Pandawa, Ibu. Andai Arjuna yang mati, putera Ibu tetap lima karena aku masih hidup. Andai aku yang mati, puteri ibu tetap lima.”
(4) Adapun Sakuni—di Jawa disebut Sengkuni—merupakan simbol paripurna manusia yang rakus, tamak, pengadu domba, dan culas. Di tangan Sakuni, kebenaran bisa diubah menjadi kesalahan, dan juga sebaliknya. Dicurhati untuk merahasiakan sesuatu malah dipublikasikan. Nasihat untuk seorang kawan direkayasa menjadi fitnahan dan ancaman pencemaran nama baik.
Manusia model Sakuni tersebut mirip dengan gambaran dalam ayat 7 Surat Al-Baqarah
خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةُُوَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمُُ
Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.
Ketiga, Rabu malam usai coblosan Pilpres kemarin, salah satu televisi mnyiarkan wawancara langsung dengan pimpinan tim sukses kedua calon presiden. Presenter perempuan menanyai salah satu tim sukses tentang hasil quick count bahwa jagonya kalah. Sang tim sukes menjawab, “Ini kan hasil dari lembaga ini dan disiarkan oleh tv Anda, yang seberanya tv Anda objektif tidak memihak. Tetapi, di tv satunya, jago saya kan yang menang.
Sang presenter menjawab “Lho kalau teve Abang kan sejak kemarin, sebelum coblosan pun sudah memenangkan jago Abang. Dari sini, saya bisa katakan, dulu berlaku adagium, jangan menasihati orang yang sedang jatuh cinta, percuma. Sekarang, adagium itu perlu ditambah, jangan menasihati tim sukses, percuma. Apa pun yang dilakukan rivalnya, pasti salah dan pasti jelek.”
Dari kisah ketiga ini, kita bisa menarik pelajaran bahwa buta hati, buta pikiran, berkaca mata kuda membutakan kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Jika paradigma ini diterapkan dalam kehidupan sosial, bisa terjadi eksklusivitas dan taklid berlebihan: sebaik-baik anggota kelompokmu adalah lebih buruk dibandingkan anggota kelompokku yang terburuk; seburuk-buruk anggota kelompokku, masih lebih baik daripada anggota kelompokmu, sekalipun itu yang terbaik.”
Jika adagium itu terjadi suatu komunitas secara massif, kita sudah dapat memprediksi apa yang akan terjadi sebagaimana hadits Nabi
Idza wujidal amru ilaa ghairi ahlihi, fantadzirissa’ah
Apabila suatu urusan diserahkan kepada pihak yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya.
Keempat, Selasa lalu, saya bertemu dengan seorang hafidz di UM ini dengan mengabarkan “Ustaddz sudah sehat? Kabarnya, pekan lalu Ustadz sakit.” Beliau menjawab “Alahamdulillah, sehat. Saya hanya menjalani jadwal yang telah Allah berikan, baik jadwal sakit maupun jadwal sehat.” Mari kita perhatikan firman Allah dalam Surat Al-Hadiid ayat 22–23 berikut.
مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {22
لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ ءَاتَاكُمْ وَاللهُ لاَيُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ {23
Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Luhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. 57:22)
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. 57:23).
Berdasarkan kisah tersebut kita dapat menarik simpulan bahwa kita harus menerima apa pun takdir Allah. Takdir Allah adalah pilihan terbaik untuk hamba-Nya. Walaupun sering kita jumpai, yang kita inginkan belum tentu dikabulkan, yang tidak kita inginkan juga sering kita terima.
Ada kisah seorang yang kali ketiga dipromosikan dengan nilai terbaik. Akan tetapi, yang diharapkan tidak terjadi, padahal andai dia diangkat, pelantikannya bertepatan dengan ulang tahun isterinya. Tentu saja dia dan isterinya kecewa. Setelah 2 tahun berikutnya, kekecewaan itu berubah menjadi rasa syukur atas karunia Allah, yakni tidak menjabat dalam jabatan itu. Kebetulan pejabat tersebut menjadi tersangka yang diproses dalam pengadilan tindak pidana korupsi oleh KPK. Dirasakan betul bahwa takdir Allah untuknya adalah pilihan terbaik untuknya.
DOA DALAM KHUTBAH KEDUA
Ya Allah, Ya Rabbi
Engkaulah Tuhan kami. Tiada Tuhan yang patut disembah selain Engkau.
Kau ciptakan kami dan kami adalah hamba-Mu, dan kami tetap pada sumpah dan janji kami kepada-Mu sekuat tenaga kami.
Kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang kami perbuat.
Kami datang kepada-Mu menyatakan pengakuan akan segala nikmat-Mu yang Engkau limpahkan kepada kami.
Kami datang kepada-Mu dengan segala dosa kami, maka ampunilah kami. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa selain Engkau.
Ya Allahu, Ya Muhaimin, Yang Maha Memelihara
jadikanlah permulaan hari ini kebaikan,
pertengahannya keberuntungan,
dan akhrinya kesuksesan.
Kami mohon kepada-Mu kebaikan dunia dan akhirat kami, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih lebih dari mereka yang berhati kasih.
Ya Allah, Ya Wahhaab, Yang Maha Pemberi Karunia
kami mohon kepada-Mu keridlaan terhadap keputusan-Mu kepada kami,
kami mohon kelapangan hidup setelah kematian kami,
kami mohon kenikmatan memandang wajah-Mu yang mulia di akhirat nanti,
kami mohon kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu tidak dalam kesusahan yang menyedihkan dan tidak dalam cobaan yang meyesatkan.
Ya Allah, Ya Hafidz, Yang Maha Penjaga
kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tak bermanfaat,
kami berlindung kepada-Mu dari hati yang tak khusuk,
kami berlindung kepada-Mu dari jiwa yang tak puas,
dan kami berlindung kepada-Mu dari do’a yag tak terkabulkan.
Ya Allah, Ya Waliy, Yang Maha Melindungi
kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang telah kami perbuat dan yang belum kami perbuat.
Kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang telah kami ketahui dan yang belum kami ketahui.
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari lenyapnya nikmat yang Engkau karuniakan,
kami berlindung kepada-Mu dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan,
kami berlindung kepada-Mu dari kejutan bencana dari-Mu,
dan kami berlindung kepada-Mu segala jenis amarah-Mu.
Ya Allah, Ya Baari’, Yang Maha Menata
perbaikilah untuk kami agama kami yang merupakan pelindung segala urusan kami,
perbaikilah keadaan dunia kami yang merupakan tempat kehidupan kami,
dan perbaikilah akhirat kami yang merupakan tempat kembali kami.
Jadikanlah hidup kami sebagai tambahan bagi kami untuk berbuat segala kebajikan,
dan jadikanlah kematian kami sebagai peristirahatan akhir bagi kami dari segala kejahatan.
Ya Allah,Ya Mutakabbir, Yang Memiliki Kebesaran
tolonglah kami menjadi hamba-Mu yang banyak mengingat-Mu,
tolonglah kami menjadi hamba-Mu yang banyak mensyukuri nikmat-Mu,
tolonglah kami menjadi hamba-Mu yang sangat patuh terhadap perintah-Mu,
tolonglah kami menjadi hamba-Mu yang selalu merendahkan diri di haribaan-Mu,
dan tolonglah kami menjadi hamba-Mu yang selalu berserah diri kepada-Mu.
Ya Allah, Ya Rahiim, Yang Maha Penyayang
kami mohon kepada-Mu agar kami dapat mencintai-Mu,
kami mohon kepada-Mu agar kami mencintai hamba-Mu yang mencintai-Mu,
kami mohon kepada-Mu agar kami mencintai segala perbuatan yang mendekatkan kami menuju cinta-Mu.
Ya Allah, Ya Qaabidh, yang Maha Pengendali
jangan Engkau biarkan pada diri kami ada suatu dosa tanpa Engkau ampuni.
Jangan Engkau biarkan pada diri kami suatau cela tanpa Engkau tutupi.
Janganlah Engkau biarkan pada diri kami suatu kesusahan tanpa Engkau berikan jalan keluar.
Jangan Engkau biarkan pad diri kami suatu utang tanpa Engkau lunaskan.
Jangan Engkau biarkan suatu hajat duniawi dan ukhrawi yang Engkau ridloi dan baik bagi kami tanpa Engkau penuhi,
wahai Yang Maha Pengasih lebih dari mereka yang berhati kasih.
Ya Allah, Ya Matiin, yang Maha Kokoh
kami mohon kepada-Mu ketetapan hati dalam segala urusan,
kami mohon kepada-Mu keteguhan kehendak menuju kebenaran.
Ya Allah, Ya Mujiib, yang Maha Mengabulkan
terimalah taubat kami, bersihkanlah dosa kami, kabulkanlah doa kami, kuatkanlah iman kami, luruskanlah perkataan kami, tunjukilah hati kami, dan lenyapkanlah keburukan hati kami.
Ya Allah, Ya Ghafur, yang Maha Pengampun
Ampunilah dosa kami
Ampuniah dosa guru-guru kami
Ampunilah dosa ayah ibu kami
Kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka mengasihi kami sepanjang hayat—kehidupannya

Masjid Al-Hikmah UM, 11 Juli 2014

 

Post Author: humas admin

Comments are closed.