Titik Balik Basukarna

Basukarna berhenti di sebuah sungai. Ia memutuskan untuk memandangi aliran sungai yang jernih. Dilihatnya kepakan burung-burung diiringi kicauannya menghiasi langit. Sekarang basukarna membasuh mukanya.

Diselingi interupsi dari gemricik air, Basukarna berdoa menghadap penguasa jagad alam. Ia sedang mengingat penguasa jagad raya. Ia mulai mengadu pada penguasa alam semesta

Wahai penguasa alam semesta, tidak adakah jalan bagiku untuk menjadi sehebat Arjuna? Aku dilahirkan sudah begini adanya. Aku sudah dikutuk, kata guru-guruku bahwa aku selamanya tidak akan sanggup belajar memanah. Aku sudah menjadi bahan ejekan di berbagai sekolah memanah. Jangankan membidik mata burung, menarik tali yang melekat pada busur saja aku tidak sanggup. Atau mungkin ini sudah takdir yang harus aku terima?

Selang beberapa saat kemudian, Basukarna mendengar suara lain.

            Kalau sudah dikutuk oleh guru-guru memanahmu, lantas apa? Kalau sudah dijadikan bahan tertawaan lantas apa? kalau tidak bisa membidik mata burung seperti seorang Arjuna, lantas apa? Ketahuilah anak muda, guru-guru yang memberi fatwa sebenarnya mereka takut akan potensimu. Mereka tahu bahwa kau akan menghancurkan Pandawa. Mereka tahu, kau akan menjadi penghambat kemenangan gemilang Arjuna.

            Jika kau mau Arjuna menjadi raja pemanah, berhentilah belajar. Jika kau mau kutukan sinting dari gurumu menjadi racun dan mental block yang merusak jiwamu, berhentilah belajar memanah. Ingatlah, jangan pernah pedulikan kata-kata dari orang-orang yang ingin mempertahankan kekuasaan mereka. Kau ini ditakdirkan untuk menghancurkan dominasi Arjuna dan Pandawa.

            Basukarna mencari-cari asal muasal suara itu. Seolah suara itu tahu apa yang diinginkan oleh Basukarna, ia pun melanjutkan penjelasaannya.

            Kau sudah tidak punya apa-apa lagi. Kau sudah tidak punya derajat di mata para kesatria dan para pangeran. Lihatlah, Arjuna menjadi sakti karena dia punya segalanya. Itu tidak ada nilainya dibandingkan dirimu.

            Ingatlah, yang menjadi titik tolak dari keberhasilan seseorang pemanah bukanlah seberapa akurat panahnya, tapi seberapa besar ujian yang dia lalui. Arjuna menjadi pemanah ulung, padahal ia hanya memanah burung yang diam, target statis. Belajarlah untuk memanah benda yang bergerak. Belajarlah memanah Elang yang terbang tinggi.

Baiklah, siapapun kamu, aku akan mendengarkan nasihatmu. Akan aku buktikan bahwa guru-guru memanahku telah salah menilaiku. Akan aku buat masyarakat terpana. Akan aku jadikan ejekan mereka sebagai motivasi. Aku tidak akan membalas ejekan mereka sekarang. Biarlah kesuksesanku di masa depan yang mengurus ejekan mereka. Biarlah kesuksesanku di masa depan yang mengejek kutukan guru-guru memanahku.

Post Author: humas admin

Comments are closed.