Wanita Harus Berani Berkata “TIDAK”

Penulis adalah mahasiswa fakultas sastra angkatan 2009
Wanita diidentikkan dengan seorang makhluk yang lemah. Wanita dianggap tidak berdaya dalam segala bidang. Oleh karena itu, banyak persepsi yang menyatakan bahwa wanita dianggap sulit untuk menolak apa yang ditawarkan kepadanya.
Dalam beberapa kasus yang terjadi pada wanita, wanita cenderung menjadi korban. Misalnya pada kasus wanita hamil di luar nikah. Kemudian wanita itu menuntut tanggung jawab atas kehamilannya. Namun, laki-laki yang menghamilinya enggan bertanggung jawab. Bagaimana pun usaha wanita itu, kebanyakan pria enggan merubah keputusannya. Jika hal ini terjadi, wanita lah yang menjadi korban. Dia harus membesarkan anak seorang diri. Dan menanggung malu seumur hidupnya. Lantas siapakah yang harus disalahkan dengan kondisi yang seperti ini? Apakak pria yang menghamili? Ataukah wanita yang mau menerima tawaran pria untuk diajak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan?
Wanita memang diciptakan berbeda dengan laki-laki. Laki-laki cenderung menggunakan logika daripada perasaan, sedangkan wanita lebih menggunakan perasaan daripada logika. Wanita memiliki perasaan halus yang selalu ingin dicintai dan membutuhkan kenyamanan. Banyak laki-laki yang dapat memberikan wanita kenyamanan. Oleh karena itu, wanita menjadi luluh dan mau mengikuti apa yang dikatakan oleh laki-laki tersebut. Karena wanita itu takut kehilangan kenyamanan yang diberikan kepadanya. Kenyamanan yang dimaksud adalah kenyaman dalam sebatas perhatian yang diberikan.
Selain kenyamanan yang diberikan oleh laki-laki, ungkapan cinta yang sering disebut sebagai rayuan, menjadi titik kelemahan dari seorang wanita. Wanita dengan mudahnya menyerahkan segala apa yang dia punya kepada laki-laki itu. Termasuk kehormatannya. Disinilah wanita harus memiliki benteng pertahanan untuk menjaga dirinya sendiri.
Benteng pertahanan yang dimiliki wanita bukanlah terbuat dari baja atau besi yang tahan tembusan peluru. Namun, benteng ini harus berpondasi agama, berdinding pendirian, dan beratap naluri. Pondasi ini yang dapat menjadikan wanita sebagai pahlawan bukan menjadi korban.
Selain pertahanan dari dalam diri wanita itu, wanita harus memiliki kekuatan mental untuk berani mengatakan “tidak” pada setiap hal yang masuk pada dirinya ketika hal itu tidak sesuai dengan dasar nilai yang dianutnya. Jika wanita berani mengatakan seperti itu, wanita akan dihargai atas ketegasannya. Wanita tidak lagi dijadikan sebagai korban, tetapi menjadi pahlawan untuk dirinya sendiri.
Wanita yang ingin memiliki pertahanan diri yang kuat, tidak harus jago karate maupun pencak silat. Cukup dengan dia mengerti harusnya bagaimana dia bersikap dan dapat dengan tegas berkata “tidak” apa yang tidak sesuai. Itulah pahlawan dari wanita.

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.