Wong Jowo Ilang Jawane

WONG JOWO ILANG JAWANE

(Orang Jawa Kehilangan Jati Dirinya)

Oleh Djoko Rahardjo*

Selasa tanggal 3 Maret 2015, sekitar pukul 11.00 wib., tempat kejadian di rumah seorang teman yang beralamat di Jalan Mayjen Panjaitan, Kota Malang. Isteri teman saya menyuruh anak laki-lakinya yang duduk di kelas dua sekolah dasar seperti berikut.

“Le…, telepuno ayahmu kandanono lek mbah kungmu sakit!” Pinta ibundanya.

“Bu…, lek telepun nang ayah yok opo?” Jawab anaknya.

“Sak karepmu!”

Beberapa saat kemudian anak laki-laki itu menelpon ayahnya yang sedang bekerja di kantor

“Yah.., ayah…, eng…, mbah kung…, mbah kung…, is dead!”

Mendengar cerita teman tersebut, hampir meledak tawa kami berlima. Untunglah kami masih sadar bahwa sahabat kami sedang berduka. Seandainya gigi yang saya pakai ini gigi palsu maka bisa jadi gigi ini meloncat dan hinggap di jendela.

Sebagai orangtua pasti akan bangga bila putranya yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar sudah dapat berbahasa Inggris. Namun…, di sisi lain…, sebagai orang Jawa yang lahir di Kota Malang tentulah merasa prihatin dengan keberadaan bahasa Jawa yang sudah kehilangan pengaruhnya. Apabila bahasa Jawa dialog Malangan sudah tidak digunakan sebagaimana mestinya maka suatu saat nanti, anak-anak kita akan semakin menjauhinya atau enggan menggunakannya.

Kita perlu memberikan contoh pada anak kita agar menggunakan bahasa Jawa saat berbicara dengan anggota keluarga. Di kampus UM ini ada dua orang Dosen Sastra Inggris ketika bertemu dengan penulis berbicara menggunakan bahasa Jawa krama inggil. Pertama, Bapak Drs. Setyadi Setyapranta, M.Pd (pensiunan dosen). Kedua, Ibu Dr. Ekaning Dwi Laksmi, M.A.

Bapak Setyadi pernah menberitahu pada penulis—ada seorang profesor dari Amerika yang menyatakan pendapatnya pada beliau bahwa bahasa Jawa adalah bahasa yang paling baik di dunia karena ada tatakramanya. Bahasa Jawa memiliki unggah-ungguh ketika seseorang berbicara pada orang yang lebih tua menggunakan bahasa krama inggil sedangkan ketika berbicara dengan sebayanya menggunakan bahasa ngoko.

Penggunaan bahasa Jawa pada pergaulan yang tidak resmi/bahasa sehari-hari akan sangat menguntungkan bagi penggunanya. Mengapa demikian? Marilah kita cermati komentar Ibu Laksmi tentang berita/isue penghapusan bahasa Jawa pada kurikulum tahun 2013, yang dimuat di web UM: Berkarya dan Terus Berkarya (pada konten Sastra Jawa), tanggal 13 Februari 2013 seperti berikut.

Lho, kok badhe dipun icali? Alhamdulillah bilih mboten tamtu. Seratan Pak Djoko lan Pak Dawud yekti andamel bungah. Mendah isinipun kita, tiyang Jawi, manawi Basa Jawi ngantos ical lan malah dipun uri-uri dening tiyang sanes; sakumpami, bangsa kulit putih ingkang basa ibunipun English (Basa Inggris). Sampun ngantos kita sinau English lajeng kesupen Basa Jawi; sawatara, Ms. Laura Smith saged mlipis basa Jawinipun tanpa nilar basa ibunipun. Lan malih, basa Jawi punika basa ingkang ‘sugih’ lho! Sugihipun mboten tinanding. Cobi, panjenengan rak pirsa manawi Basa Inggris namung gadhah tembung ‘rice’, ta? Basa Jawi gadhah langkung kathah; ‘gabah, beras, menir, sega, upa, karag’. Kula gadhah conto malih; manawi Ratu Elizabeth II kedah ngendika panjang, “. . . walk slowly on the edge (side) of the road.”, Sri Sultan Hamengku Buwono X cekap ngendika, “. . . mlipir”. Ing sanes wekdal, Pak Djoko Rahardjo ngendika, “Kok aku krasa mblereng ya?”; ukaranipun Perdana Menteri David Cameron kedah panjang, “I cannot open my eyes because something is shining very bright.”  Sugeng nguri-uri Basa Jawi.

Hidup atau matinya suatu bahasa bergantung pada kesadaran masyarakat penggunanya. Kebetulan penulis mempunyai anak laki-laki yang sudah menyelesaikan pendidikan program pasca sarjana di Kota Rostov, Rusia. Sebelum berangkat ke Rusia dia berlatih berkomunikasi selama satu tahun di Kota Bali dengan menggunakan empat bahasa, yakni: Inggris, Rusia, Jerman dan Jepang. Meskipun demikian yang bersangkutan masih tetap setia menggunakan bahasa Jawa krama inggil ketika berbicara dengan ayah dan bundanya.

Memang akan terdengar keren bila anak saya menanyakan sesuatu pada saya dengan menggunakan bahasa Inggris atau bahasa Rusia:

“Does father drink hot coffe?” Atau “Otets p’yot garya choye kaffe?”

Ternyata hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh anak saya. Dia selalu berbahasa Jawa krama inggil:

“Bapak punapa (menapa) badhe ngersakaken unjukan wedang kopi benter?”

*) Tenaga Kependidikan pada Subag Umum LP3 UM

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.