Konsep dan Strategi Pembelajaran Transformasi untuk PLS Oleh M. Djauzi Moedzakir (Ketua Jurusan PLS FIP UM)

pak djauziGBR-REV

A. Pendahuluan

Pembelajaran transformatif merupakan sebuah konsep atau substansi baru tetapi telah menjadi bahan kajian di berbagai bidang, termasuk pendidikan luar sekolah. Substansi ini bahkan telah mulai tampil sebagai sebuah teori yang paling banyak didiskusikan dan diteliti dalam bidang pendidikan orang dewasa selama lebih dari 25 tahun terakhir ini. Teori pembelajaran transformatif telah menjadi wilayah kajian yang ditandai dengan semakin meningkatkan jumlah publikasi jurnal dan penyelenggaraan konferensi internasional dua kali setahun yang secara khusus membahas penelitian tentang pembelajaran transformatif, yang pada saat ini penelitian untuk disertasi saja telah ada lebih dari 50 buah (Taylor, 2007). Pembelajaran transformatif merupakan teori belajar yang unik, abstrak, dan ideal dengan puncaknya yang disebut critical reflection (renungan kritis). Dalam kaitan ini belajar dipahami sebagai sebuah proses pemberian makna baru terhadap pengalaman untuk mengarahkan tindakan mendatang (Mezirow & Associates,1990).

B. Konsep Dasar Pembelajaran Transformatif

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa transformasi pada dasarnya adalah sebuah proses perubahan yang mendasar pada diri manusia. Pembelajaran atau pendidikan yang transformatif adalah pembelajaran atau pendidikan yang menghasilkan perubahan mendasar pada diri peserta didik. Jadi pembelajaran yang tidak memberikan dampak perubahan mendasar pada diri peserta didik bukanlah sebuah pembelajaran transformatif.

Daszko, Macur & Sheinberg (2004) menulis bahwa dalam Webster Dictionary disebutkan: „To transform means to change in form, appearance or structure; meta-morphoses; to change condition, nature or character; to change into another substance.” Dinyatakan selanjutnya bahwa: „That is, while all transformation is change, not all change is transformation. Transformation is a change in kind; not a change in degree.” Dari sini dapat ditarik pengertian bahwa transformasi berarti (a) merubah bentuk, penampilan atau struktur; (b) mengubah kondisi, hakikat atau karakteristik; bahkan (c) mengganti substansi. Dengan demikian semua transformasi adalah perubahan, tetapi tidak semua perubahan adalah transformasi. Perubahan lebih bersifat superfisial, sedangkan transformasi lebih bersifat substansial.

Lebih lanjut Cranton (2003) menjelaskan bahwa: At its core, transformative learning theory is elegantly simple. Through some event, which could be as traumatic as losing a job or as ordinary as an unexpected question, an individual becomes aware of holding a limiting or distorted view. If the individual critically examines this view, opens herself to alternatives, and consequently changes the way she sees things, she has transformed some parts of how she makes meaning out of the world.

Peristiwa perubahan diri sering terjadi terutama setelah seseorang mengalami sebuah peristiwa yang sangat tidak diharapkan, mengecewakan, mengherankan, atau membuat-nya trauma. Misalnya saja kehilangan pekerjaan karena melakukan sebuah kesalahan yang fatal. Dengan peristiwa tersebut, seseorang biasanya menjadi sadar dan pikirannya terbuka ke alternatif lain guna mendapatkan solusi. Jika hal seperti ini terjadi, maka seseorang yang bersangkutan mengalami sebuah transformasi.

Sebenarnya peristiwa transformasi juga bisa terjadi dalam konteks yan sederhana. Sekedar ilustrasi, seorang sekretaris eksekutif sebuah perusahan yang ikut acara Take Him Out di Indosiar mengaku bahwa dengan banyak membaca dia mendapat banyak inspirasi. Seorang dosen senior mengaku bahwa melalui diskusi dia hampir selalu memperoleh inspirasi baru. Sebuah kisah, setelah seseorang mendapatkan sms dari seorang teman lama yang pernah menjadi „sahabat spesial“ yang menyatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah kepadaNya, langsung dia ingat dan sadar bahwa selama ini dirinya telah melakukan berbagai kesibukan berat yang tak jelas arahnya padahal dulu dia pernah mempedomani firman tersebut dan hidupnya tenang. Maka sejak saat itu dia terbayang kembali semua kenangan masa lalu, ingat siapa dirinya yang sebenarnya, siapa keluarganya, bagaimana masa remajanya dulu, siapa saja yang telah berjasa mendidik dirinya, kemudian dia sering merenung dan akhirnya memutuskan untuk merubah diri dan arah hidupnya serta kembali mempedo-mani prinsip tersebut agar hidupnya kembali tenang dan bahkan agar sisa hidupnya menjadi lebih bermakna.

Diketengahkan lebih lanjut oleh Cranton (2003) bahwa: It is easier and safer to maintain habits of mind than to change. It may take a significant or dramatic event to lead us to question assumptions and beliefs. Other times, though, it is an incremental process in which we gradually change bits of how we see things, not even realizing a transformation has taken place until afterward.

Mempertahankan atau memelihara suatu kebiasaan lebih mudah dari pada merubahnya. Apalagi merubah hal-hal yang sudah mantap, sudah menjadi sebuah prinsip hidup atau bahkan keyakinan. Yang dimaksud keyakinan disini bukan hanya keyakinan yang terkait dengan agama, melainkan juga keyakinan terhadap diri, keyakinan terhadap kejujuran atau kebaikan seseorang, keyakinan terhadap dokter, terhadap keselamatan dalam suatu kondisi tertentu dan sebagainya. Namun demikian, perubahan bagaimanapun juga perlu dilakukan dan yang mengupayakan terutama adalah diri sendiri.

Transformasi memang pada dasarnya adalah sebuah proses atau peristiwa perubahan diri, sehingga yang paling menentukan adalah diri sendiri, diri orang yang bersangkutan, bukan orang lain. Karena itu perubahan diri merupakan inti dari proses transformative learning. Artinya, transformasi mempersyaratkan upaya, kesadaran, dan kesengajaan dari seseorang yang bersangkutan. Upaya tersebut diistilahkan dengan refleksi atau renungan, yaitu sebuah proses dan kemampuan memonitor, mengevaluasi, dan mengarahkan diri. Makin kuat kemampuan tersebut, makin profesional seseorang dalam melaksanakan suatu tugas. Sebaliknya makin lemah kemampuan tersebut pada diri seseorang, makin kurang profesional seseorang dalam melaksanakan tugas apa saja. Substansi ini oleh Flavell (1992) disebut metakognisi dan menurut hasil penelitian Moedzakir (1998) substansi tersebut mantap keberadaannya pada seseorang yang memiliki filosofi pribadi yang kuat dan relevan dengan pekerjaannya. Hal ini ternyata juga sejalan dengan pandangan Elias & Merriam (2005) dan Merriam & Brockett (2007).

Transformasi berkenaan baik dengan individu, komunitas ataupun organisasi. Daszko, Macur & Sheinberg (2004) menyatakan bahwa transformasi bermula dari pemahaman yang mendalam terhadap suatu pengetahuan. Dengan pemahaman semacam itu individu memberi makna baru terhadap kehidupan, peristiwa, dan interaksinya dengan orang lain. Begitu seseorang memahami suatu pengetahuan secara mendalam, dia segera mengaplikasikan konsep, prinsip ataupun prosedur pengetahuan tersebut pada setiap interaksinya yang sepadan dengan orang lain. Earley (2004) bahkan memaknai transformasi individu sebagai transformation of consciousness yang diaplikasikan kedalam suatu tindakan sosial. Dalam pemahaman yang seperti ini, transformasi bisa mencakup bidang-bidang lain yang lebih luas, termasuk unsur-unsur psikoterapi, spiritual, dan sosial. Bahkan selanjutnya transformasi juga bisa mencakup konsep-konsep kapasitas sosial dan psikologis ke arah tujuan-tujuan kasih sayang, harapan hidup, semangat, dan persahabatan.

Berdasarkan pengertian pokok tentang transformasi di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran transformatif adalah pembelajaran yang mampu menghasilkan perubahan pada diri peserta didik. Pembelajaran yang tidak memberikan dampak perubahan mendasar pada diri peserta didik dengan demikian sulit disebut sebuah pembelajaran transformatif.

Secara singkat belajar dapat diartikan sebagai upaya untuk mengembangkan potensi diri sendiri. Potensi yang diubahnya bisa pengetahuan, keterampilan, ataupun sikap. Cara untuk mengubah bisa berupa upaya menghafal, memahami, mencermati, mengkritisi ataupun menalar suatu hal, bisa berupa melatih diri untuk menguasai keterampilan tertentu, membiasakan diri untuk melakukan sesuatu ataupun menyadari hakikat sesuatu nilai. Apabila dikaji lebih lanjut, belajar pada dasarnya adalah peristiwa psikhis, perubahan kemampuan, upaya aktif, kegiatan manusia, sebuah proses, bahkan kebutuhan.

Secara umum pembelajaran dapat diartikan sebagai serangkaian upaya untuk membantu peserta didik belajar. Secara lebih lugas pembelajaran bahkan diartikan sebagai upaya membuat peserta didik belajar, tetapi dalam PLS pengertian lugas ini kurang bisa diterima (Jarvis, 2004) karena bisa menjebag pendidik ke pemahaman yang menempatkan peserta didik sebagai obyek (bukan subyek), membuat peserta didik pasif, dan bahkan tidak mengakui hak otonomi peserta didik. Dari sini jelas bahwa tugas pendidik hanyalah menggiring peserta didik untuk betul-betul melakukan kegiatan belajar karena diyakini bahwa proses belajar merupakan proses internal diri peserta didik dan hanya bisa terjadi bila peserta didik selaku pelaku belajar mau melakukannya.

Sementara penggunaan strategi pembelajaran di pendidikan persekolahan lebih diarahkan untuk pengusaan materi pelajaran oleh peserta didik, penggunaan strategi pembelajaran di PLS lebih ditekankan untuk melayani atau memenuhi kebutuhan belajar peserta didik. Pendidikan persekolahan memang melayani kebutuhan belajar peserta didik, akan tetapi karena karakteristik peserta didiknya homogin maka kebutuhan belajarnya juga homogin sehingga tidak memerlukan perhatian tersendiri. Bahkan di antara tiga ranah pembelajaran, ranah kognitif lebih banyak terlayani ketimbang ranah prikomotorik lebih-lebih afektif. Materi pembelajaran pada ranah kognitif mencakup sekurang-kurangnya tiga tipe isi yaitu fakta, konsep, dan prinsip (Merrill dalam Reigeluth,1983). Meskipun sepintas hal ini merupakan kelemahan pendidikan persekolahan, namun di sisi lain hal ini merupakan kelebihannya dibandingkan dengan PLS. Ketiga tipe isi ini menghasilkan penguasaan materi pembelajaran dan pembentukan kemampuan kognitif tertentu seperti keterampilan intelektual dan strategi kognitif (Gagne dalam Dahar, 1989). Kemantapan ketiga tipe isi materi pembelajaran di pendidikan persekolahan tersebut merupakan ciri utama yang membedakannya dari PLS. Homoginitas peserta didik memungkinkan pendidikan persekolahan untuk memperoleh kemantapan tersebut.

Selanjutnya sementara karakteristik peserta didik yang dijadikan pertimbangan untuk pemilihan materi pembelajaran di pendidikan persekolahan langsung pada prior knowledge (pemahaman atau pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik tentang materi pembelajaran yang akan dibahas), karakteristik peserta didik yang dipertimbang-kan di PLS untuk pemilihan materi pembelajaran adalah kebutuhan belajar peserta didik. Artinya, dilakukan asesmen terlebih dahulu untuk menentukan kebutuhan belajarnya, baru setelah itu dipertimbangkan prior knowledge-nya untuk dasar penentuan strategi pembelajaran. Karena kebutuhan belajarnya masih harus dilacak dan bisa memunculkan berbagai kemungkinan jenis kebutuhan materi pembelajaran, maka pilihan strategi pembelajaran yang perlu digunakan di subsistem PLS jauh lebih bervariasi ketimbang pilihan strategi pembelajaran di subsistem pendidikan persekolahan.

Heteroginitas karakteristik peserta didik PLS merupakan salah satu ciri utama yang membedakan PLS dari pendidikan persekolahan. Heteroginitas peserta didik terda-pat baik di antara program yang satu dan program yang lain maupun di dalam setiap program itu sendiri. Dengan beragamnya jenis pendidikan luar sekolah sebagaimana tercermin pada pengkategorian PLS menjadi program-program developmental, institu-tional, dan informational (Boyle, 1981), maka heteroginitas peserta didik tersebut semakin nyata. Pada program Keaksaraan Fungsional misalnya, latar belakang kehidupan peserta didiknya (usia, tingkat ekonomi, jenis pekerjaan, status perkawinan, pengalaman hidup, masalah keluarga, kepribadian, kondisi fisik, dan lain-lain) berbeda-beda. Apalagi perbedaan karakteristik peserta didik antara program yang satu dan program-program yang lain, seperti antara program Keaksaraan Fungsional dan program-program Keseta-raan, Life Skills, PAUD, Homeschooling, Pemberdayaan Wanita, dan Pemberdayaan Masyarakat.

C. Strategi Pembelajaran Transformatif

Dari penjelasan tentang konsep dasar transformasi dan pembelajaran transformatif di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran transformatif telah menjadi sebuah strategi pembelajaran tersendiri. Di dalamnya tedapat kandungan potensi yang luar biasa. Apabila potensi tersebut dapat diaplikasikan kedalam setiap kegiatan pendidikan luar sekolah, maka dapat diharapkan bahwa semua kegiatan pendidikan luar sekolah merupakan  kegiatan pendidikan yang sangat menjanjikan. Sebagaimana telah mulai diakui, pembelajaran transformatif merupakan sebuah strategi pembelajaran yang sesuai untuk pendidikan orang dewasa.

Dewasa ini telah berkembang beberapa perspektif teori belajar transformasional, di antaranya adalah transformasi rasional atau transformasi personal oleh Mezirow, transformasi pendidikan atau transformasi individu oleh Boyd, dan transformasi sosial atau transformasi emansipatori oleh Freire (Taylor, 1998). Menurut transformasi rasional, proses belajar transformatif adalah proses pembangunan makna baru terhadap pengalaman diri sendiri berdasarkan interpretasi sebelumnya guna memandu tindakan –tindakan yang akan datang. Teori ini menjelaskan bagaimana harapan, kerangka asumsi budaya, dan anggapan-anggapan seseorang mempengaruhi makna yang diperoleh dari pengalaman barunya. Kegiatan belajar dilakukan melalui dua ranah, yaitu instrumental dan komunikatif. Belajar instrumental difokuskan pada proses pemecahan masalah, sedangkan belajar komunikatif ditekankan pada pemahaman substansi yang terkandung di dalam pembicaraan orang lain, misalnya tentang nilai, cita-cita, perasaan, keputusan moral, dan konsep-konsep kebebasan, keadilan, kasih sayang, buruh, otonomi, komitmen dan demokrasi.

Selanjutnya transformasi pendidikan atau transformasi individu berakar dari psikologi analisis yang mengartikan transformasi sebagai perubahan mendasar di dalam pribadi seseorang sebagai akibat dari pengintegrasian dilemma pribadi dan perluasan kesadaran diri. Diyakini bahwa hanya melalui transformasi perubahan diri yang signifikan bisa terjadi. Tujuan utama transformasi adalah membebaskan diri individu dari pola-pola kehendak dan norma budaya yang menghambat potensi aktualisasi diri. Jadi jika Mezirow menfokuskan diri pada konflik kognitif yang dialami seseorang dalam hubungannya dengan budaya dan menempatkan ego sebagai pemain utama dalam pencapaian transformasi, maka Boyd menfokuskan diri pada upaya mengatasi konflik di dalam internal diri individu untuk mencapai keharmonisan karena diri (self) merupakan bagian sentral dan integral dari totalitas kepribadian.

Terakhir, transformasi emansipatori diartikan sebagai proses pembebasan kehidupan dari unsur-unsur pembelenggu, sebuah proses yang berkelanjutan, tiada henti dan sekaligus dinamis. Freire menekankan transformasi sosial melalui penggugahan kesadaran kritis (conscientization) masyarakat dan menempatkan proses pendidikan sebagai sarana yang tepat untuk keperluan tersebut. Karena itu refleksi kritis dipandang sebagai kata kunci transformasi. Semakin kritis peserta didik, semakin mampu yang bersangkutan mengubah kenyataan hidupnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik bertanya Sokratik (Jarvis, 1984). Teknik ini dilaksanakan dengan cara mengarahkan atau mengajukan sejumlah pertanyaan yang urut dan logis kepada peserta didik hingga mereka terdorong untuk merespon dan mengekspresikan pengeta-huan yang telah dimilikinya, yang belum pernah terkristalisasi oleh pemikirannya sendiri.

Selanjutnya berkenaan dengan aplikasi strategi pembelajaran transformatif untuk orang dewasa, Kolb (1984) mengajukan sebuah teori atau model pembelajaran yang disebutnya sebagai learning style model ataupun experiencial learning theory. Model pembelajaran ini secara konseptual divisualisasikannya sebagai berikut.

Berdasarkan gambaran di atas, teori ini merupakan sebuah teori pembelajaran yang berbasis pada pengalaman. Diyakini bahwa pengalaman merupakan sesuatu yang tepat untuk memberdayakan pembelajaran sebagai sebuah upaya yang transformatif. Dalam rangka penggunaan pengalaman sebagai basis belajar atau pembelajaran ini, substansi yang paling esensial untuk pembelajaran orang dewasa yang transformatif adalah feeling, thinking, watching, dan doing. Pertama-tama, dua aspek (watching dan doing) dihubungkan dengan garis kontinum “grasping experience” untuk terjadinya proses perolehan pengalaman, kemudian dua aspek lainnya (feeling dan thinking) dihubungkan dengan garis kontinum “transfoming experience” guna menterjadikan proses transformasi pengalaman. Hal ini memberikan makna bahwa pengalaman pada dasarnya merupakan substansi yang sarat makna dan hanya bisa diperoleh dari kegiatan melihat dan melakukan, sedangkan perubahannya merupakan sebuah proses yang hanya bisa dimungkinkan dengan pelibatan aspek pikiran dan perasaan. Tentu saja bahwa keempat unsur tersebut masing-masing mencakup kandungan yang mendalam. Hal ini sesuai dengan makna transformasi sebagai perubahan yang mendasar. Perasaan misalnya, tidak hanya semata-mata menyangkut dimensi perasaan yang berada pada tataran jasmaniah atau fisik tetapi juga dimensi-dimensi perasaan rohaniah, termasuk kesan, sikap, nilai dan keyakinan.

Selanjutnya keempat aspek tersebut di atas dikaitkan dengan 4 tahap siklus belajar yang terdiri atas “concrete experience“, “abstract experience“, “reflective observation” dan “active experimentation“. Hal ini melahirkan serangkaian pemahaman bahwa feeling membuahkan “concrete experience“, thinking membuahkan “abstract experience“, watching membuahkan “reflective observation” dan doing membuahkan “active experimentation“. Selanjutnya dinamika interaksi keempat aspek dan keempat tahap siklus belajar tersebut melahirkan empat perpaduan aktivitas, yaitu diverging (feel & watch), assimilating (think & watch), converging (think & do), dan accomodating (feel & do). Terakhir, keempat paduan dan keempat tahap siklus belajar tadi dihubungkan oleh garis kontinum processing dan perception.

Sekedar sebuah ilustrasi berkenaan dengan pengalaman dapat diambil sebuah pengalaman dalam beribadah. Di antara pengalaman yang paling sering atau paling banyak dirasakan setiap orang adalah keresahan atau ketidaktenangan hati. Ketika  seseorang sedang berada di sebuah majelis taklim mendengar penjelasan ustadz bahwa ketidaktenangan hati bisa diatasi dengan mengikuti pelatihan sholat khusu’, tiba-tiba saja pada diri orang tersebut timbul rasa ingin tahu dan dorongan untuk mencobanya, keinginan tersebut ternyata semakin kuat dan mendorongnya untuk mencaritahu dimana ada pelatihan sholat khusus’ dan kebetulan segera mendapatkan informasi yang dicari kemudian mengikutinya serta merasakan betul manfaatnya.

Di sebuah pengajian interaktif bakda subuh di RCTI, seorang ibu muda menkonsultasikan kegelisahan terhadap suaminya karena sangat tampan hingga hampir setiap hari dia menelpon sang suami bahkan pernah dalam sehari dia menelpon delapan kali. Dijawab oleh sang ustadz bahwa perasaan gelisah yang berlebihan sebenarnya hanya melelahkan diri sendiri. Kegelisahan bisa diatasi dengan pendekatan spiritual dan pendekatan logika atau akal sehat. Secara logika atau akal sehat ibu harus siap mental dengan memiliki suami yang mempunyai banyak kelebihan, seperti sangat tampan, sangat kaya, berpangkat tinggi dan sebagainya. Wajar kan kalau suami yang sangat tampan berpeluang menarik perhatian wanita-wanita lain. Jadi yang terbaik adalah sholat memohon ketenangan hati dan keteguhan iman, mendo’akan agar suami ibu senantiasa mendapat petunjuk ke jalan yang lurus dan dijauhkan dari maksiat oleh Allah, dan untuk itu titipkanlah dia sepenuhnya kepada Allah. Manusia itu makhluk yang memiliki pembawaan rasa gelisah dan syaithon menggunakan pintu perasaan tersebut untuk masuk ke dalam hati manusia. Karena itu gelisah adalah sangat manusiawi, sangat wajar, tetapi kegelisahan yang berlebihan berarti kurang wajar. Disebutkan dalam al-Qur’an bahwa sifat asli manusia suka mengeluh (jika mendapat kesulitan putus asa, jika mendapat kesenangan lupa diri). Bahkan dalam pendidikan, orang tua ada yang sengaja menim-bulkan kegelisahan pada diri anak untuk memberi semangat berusaha dengan mengatakan ”Hei kalau bergurau terus waktumu habis tidak untuk belajar, pada hal ujian sudah tinggal dua hari lagi.” Jadi atasi perasaan gelisah yang berlebihan dengan logika dan lebih mendekatlah diri kepada Allah. Orang yang bersangkutan langsung menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pak ustadz karena merasa lega dengan penjelasan pak ustadz bahkan mulai merasakan adanya ketenangan.

Berkenaan dengan apakah strategi pembelajaran betul-betul memiliki peluang untuk mempengaruhi terjadinya perubahan diri kiranya sudah jelas. Peristiwa apapun pada dasarnya berpeluang untuk menjadi pemicu terjadinya perubahan diri, apalagi pembelajaran sebagai startegi atau serangkaian tindakan yang memang dirancang secara sistematik untuk hal tersebut. Berdasarkan pemikiran semacam ini, Cranton (2003) merekomendasikan beberapa strategi yang dapat digunakan, 7 di antaranya adalah sebagai berikut.

1.  An activating event that typically exposes a discrepancy between what  a person has always assumed to be true and what has just been experienced, heard, or read. Menunjukkan sejumlah peristiwa yang sama sekali berbeda dari apa yang selama ini diyakini, dialami, didengar, atau dibaca seseorang yang bersangkutan.

2. Articulating assumptions, that is, recognizing underlying assumptions that have been uncritically assimilated and are largely unconscious.

Mengungkap makna yang sesungguhnya dari anggapan-anggapan yang selama ini diikuti orang secara begitu saja atau yang umumnya tak disadari orang.

3. Critical self-reflection, questioning and examining assumptions in terms of where they came from, the consequences of holding them, and why they are important.

Melakukan perenungan secara kritis dalam arti mempertanyakan atau menguji kebenaran asumsi-asumsi yang ada berkenaan dengan dari mana asal asumsi itu, apa sebetulnya akibat yang bakal terjadi jika mengikutinya, dan mengapa asumsi itu dipandang begitu penting.

4. Being open to alternative viewpoints.

Bersikap terbuka atau membuka diri terhadap pandangan lain yang berbeda,

5. Engaging in discourse, where evidence is weighed, arguments assessed, alterna-tive perspectives explored, and knowledge constructed by consensus.

Melibatkan seseorang pada pembicaraan-pembicaraan yang berbukti, alasan-alasan yang teruji, pandangan-pandangan alternatif yang tertelusuri, dan pengetahuan-pengetahuan yang disepakati.

6. Revising assumptions and perspectives to make them more open and better justified.

Melakukan perubahan dengan sengaja asumsi-asumsi atau pandangan-pandangan yang telah dimiliki seseorang atau masyarakat sehingga sikap mereka menjadi lebih terbuka dan lebih bijak.

7. Acting on revisions, behaving, talking, and thinking in a way that is congruent with transformed assumptions or perspectives

Betul-betul melakukan tindakan perbaikan, atau bertindak, berbicara, dan berfikir yang betul-betul sejalan dengan asumsi-asumsi atau pandangan-pandangan yang telah ditransformasi.

D. Penutup

Pengertian dasar transformasi adalah perubahan mendasar pada diri manusia, sekurang-kurangnya pada mindsetnya. Meskipun penelitian tentang hal ini masih belum optimal dalam arti sampai pada kesimpulan yang betul-betul kongkret tentang strategi seperti apa yang dapat menghasilkan transformasi pada diri peserta didik, dalam hal-hal apa, dan perubahannya seperti apa namun di tataran pengalaman sehari-hari telah menunjukkan bahwa keberadaan dan perannya cukup nyata. Kajian substansi ini secara ilmiah bagaimanapun memang masih tergolong sangat baru, sehingga penelitiannya masih perlu diperbanyak lagi. Satu hal yang merupakan salah satu satu karakteristik substansinya adalah bahwa yang mengetahui secara lebih persis kapan dan bagaimana terjadinya peristiwa transformasi dan seberapa bermakna peristiwa tersebut adalah orang yang mengalaminya. (zul)

Post Author: humas admin