Antara Ayam dan Telur: Keterampilan Berbahasa atau Kompetensi Berbahasa? Ferril Irham Muzaki, Sastra Inggris UM

Alkisah suatu hari Abu Nawas dipanggil raja Harun Al-Rasyid. Dia mendapat pertanyaan yang amat sulit, lebih dahulu mana, ayam atau telur? Dengan bijaksana, Abunawas menguraikan bahwa telur menjadi lebih penting bila sudah ada ayam di tempat itu. Namun, bila telur diletakkan tanpa ayam, lebih baik masuk wajan penggorengan. Demikian juga sebaliknya, ayam yang tidak bisa bertelur lebih baik dijual ke pemilik warung soto ayam. Analogi di atas cukup untuk menjawab pertanyaan, mana yang harus diutamakan dalam proses belajar dan membelajarkan bahasa, keterampilan berbahasa atau kompetensi dalam berbahasa?

Keterampilan berbahasa menurut definisi para ahli diuraikan sebagai keterampilan untuk menerima dan menyampaikan pesan. Sehingga, orang-orang yang berkecimpung di dunia bahasa dan sastra, utamanya linguistik, mendefinisikan dua komponen pokok yang harus dikuasai; reseptif, menerima pesan melalui membaca dan mendengar dan serta produktif, keterampilan menyampaikan gagasan dalam bentuk ujaran dan tulisan.

Selain keterampilan berbahasa, seorang pembelajar tentu diwajibkan memiliki kompetensi berbahasa; berupa linguistik, socio-linguistik, pragmatik yang bermanfaat untuk mendukung seseorang memproduksi wacana ketika dia dalam sebuah kejadian di masyarkat. Contoh sederhanya, ketika sesorang berada di lingkungan masyarakat yang sedang menonton wayang kulit, alangkah tidak sopannya dia jika dia membandingkan kisah-kisah wayang dengan film Harry Potter. Orang itu akan menjadi dihargai bila ia mampu membuat gagasan perbandingan wayang versi Jawa dengan versi dari India.

Pertanyaan pokok mana yang lebih penting antara keterampilan berbahasa atau kompetensi berbahasa, akan lebih mudah terjawab bilamana seorang pengajar ilmu bahasa membuat tautan dengan teori pemerolehan bahasa; pertama dan kedua. Untuk lebih memudahkan, Bahasa pertama disingkat (B1), Bahasa kedua disingkat (B2).

Langsung saja, kita bahas pemahamam teoritis terlebih dahulu. B1 memiliki banyak sekali definisi. Dalam tulisan ini, penulis mendifinisikan B1, adalah bahasa yang didapat melalui pergaulan di lingkungan rumah dan permainan anak. B1 dipelajari oleh seorang pembelajar bahasa dengan memegang prinsip bahasa adalah sebuah kebiasaan. Dengan prinsip ini, seorang pembelajar bahasa, membiasakan diri menguasai bahasa dengan cara memaksa dirinya untuk menerima input dari lingkungan dan mengeluarkan output untuk membuat wacana di tempat pergaulannya.

Dapat dipahami bahwa B1 menjadi sebuah kebiasaan hingga terjadilah fosilisasi, baik penguasaan terhadap keterampilan berbahasa ataupun kompetensi berbahasa. Sekarang, zona nyaman bahasa pertama akan mulai terkoyak saat anak masuk ke lingkungan yang mewajibkan seorang anak memakai B2.

B2, menurut para ahli diakuisisi saat anak “dengan terpaksa” menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Penyesuaian ini akan mudah dilakukan pada usia 6-12 tahun atau yang diperkirakan usianya sama dengan anak sekolah dasar di Indonesia. Saat inilah pembelajar mencoba-coba menyesuaikan pemahaman yang diperoleh saat belajar bahasa pertama dengan bahasa kedua yang sedang mereka usahakan. Aksi coba-coba ini menyebabkan terjadilah fenomena bahasa antara; bahasa yang bukan B1 ataupun B2.

Pemahaman tentang B2, bila melihat fenomena yang terjadi di Indonesia membuat dua definisi utama, yaitu definisi bahasa kedua dan bahasa asing. Sampai di sini, penulis mencoba membawa pada observasi bersama dalam diskusi informal yang dilakukan penulis bersama rekan-rekan penulis saat sedang melakukan praktik mengajar, kewajiban pokok calon guru sebelum lulus, bahasa Inggris di SMP dan SMA di wilayah Malang raya.

Dari pengamatan penulis dan rekan-rekan, ditemukan fakta bahwa meletakkan fokus pembelajaran bahasa kepada pembelajar ditentukan oleh sampai tahap mana mereka belajar bahasa? Apakah B1 atau B2? Catatan salah seorang rekan penulis menyimpulkan bahwa bahasa pertama di Kota Malang adalah Jawa dengan logat Arema, kedua adalah bahasa Indonesia baku, terakhir bahasa asing adalah bahasa Inggris.

Penulis bersama rekan-rekan penulis menyimpulkan bahwa di kota Malang, bahasa pertama yang dipakai mayoritas murid adalah bahasa jawa dengan logat arema. Bila kita ingin membelajarkan bahasa jawa dengan logat arema sebagai bahasa pertama, yang dibutuhkan adalah memfokuskan pada kompetensi berbahasa. Alasannya cukup sederhana, setiap hari anak-anak itu sudah berlatih menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Dengan melatih kompetensi mereka, terutama memahami sosio-linguistik dan pragmatik, diharapkan anak-anak menjadi lebih sopan dalam tindak tutur berbahasa.

Mencoba mengajarkan bahasa kedua, bahasa Indonesia fokus yang harus ditekankan adalah penguasaan mereka akan kebermelakan wacana yang ada di masyarakat. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional, setiap aktivitas resmi menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga, diutamakan mereka harus mampu menganalisa isu-isu yang berkembang di masyarakat pengguna bahasa Indonesia.

Bahasa asing, dalam konteks pembelajaran bahasa inggris di kota Malang, diharapkan terfokus pada keterampilan berbahasa. Rasionalnya, mereka belum membuat bahasa Inggris sebagai kebiasaan. Otomatis mereka akan kesulitan menangkap penggunaan unsur-unsur linguistik, socio-linguistik, pragmatik dan akhirnya kesulitan membentuk wacana yang berterima sesuai dengan konteks.

Pada akhirnya, jawaban dari pertanyaan mana yang lebih penting, keterampilan berbahasa atau kompetensi berbahasa dapat dijawab menggunakan ilustrasi berikut. Suatu hari seorang paman ingin membelikan baju kepada keponakan perempuannya.

“Mana yang kamu pilih?” Keponakan perempuan itu diam.

“Baju yang hijau?” Dia diam.

“Baju yang merah?” Dia diam.

“Ya udah, kita pulang saja.”

“ Paman, aku mau dua-duanya.”

 

Cat: Ini opini pribadi. Tidak mewakili siapapun.

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.