Kiat Cepat Menulis Artikel di Media Cetak

Kiat Cepat Menulis Artikel di Media Cetak.

077RevisiDjajusman-Artikel

Oleh: Djajusman Hadi

A. Pendahuluan

Menulis artikel jurnalistik, secara empirik, setidaknya merujuk ke sejumlah kenyataan. Misalnya, pertama, menulis belum sepenuhnya bisa dijadikan mata pencarian tetap. Kedua, dituntut oleh kenyataan internalnya, media massa cetak kita pada umumnya memiliki halaman yang terbatas. Artinya, kita harus bersabar menanti giliran pemuatan artikel kita. Itu pun jika dimuat. Lalu, ketiga, artikel kita harus benar-benar menarik, baik dari sudut pandang redakturnya maupun dari segi-segi aktualitas, fakrualitas, dan gaya penyajian.

Dari ketiga hal di atas, maka hal yang terakhir adalah hal yang paling sering dibicarakan orang. Pengalaman menunjukkan, artikel yang pemuatannya ditolak tidak pernah diiringi oleh alasan yang apresiatif dan akademis. Rata-rata penolakan itu hanya diwakilkan melalui sekretaris redaksi dengan ungkapan standar. Seperti “belum bisa dimuat sekarang”, “kesulitan ruang pemuatannya”, atau “kurang aktual”. Ungkapan standar yang tidak pernah dijelaskan maksudnya ini, dalam perspektif adademis, agaknya berpeluang menenggelamkan semangat menulis artikel jurnalistik di kalangan masyarakat. Keengganan menulis dikalangan dosen, misalnya, bisa dijadikan contoh kasus. Artinya, ketika mereka mencoba merespon sesuatu yang mereka anggap mengganggu nurani, dan kemudian berulang-ulang terbentur oleh penolakan pemuatan tersebut, buat apa mereka melihat bahwa tidak sedikit artikel jurnalistik yang ditulis oleh mereka yang namanya sudah kondang sebagai selebritis atau tokoh talkshow. Implikasinya, mereka beranggapan bahwa menulis artikel jurnalistik tidak perlu seiring-sejalan dengan kualitasnya. Asalkan nama seseorang sudah menjadi buah bibir orang sekampung, maka surat kabar pun akan memuat artikelnya dengan suka cital. Benarkah anggapan itu? Lepas dari benar-tidaknya, hemat saya, sebaiknya kita segera menyadari bahwa menulis artikel jurnalistik membutuhkan daya apresiasi yang relatif tinggi, utamanya terhadap jagat penulisan artikel jurnalistik itu sendiri.

Dalam perspektif filosofis, hendaknya kita juga menyadari bahwa menulis artikel jurnalistik, selain mendatangkan pahala bagi penulisnya (karena memberi pencerahan bagi orang lain), juga sekaligus mendatangkan katarsis bagi penulisnya. Istilah katarsis, yang diungkapkan pertama kali oleh para filsuf Yunani, merujuk pada upaya pembersihan, pencucian, atau penyucian emosi-emosi individu melalui pengalaman estesis. Dengan demikian, dalam ungkapan lain, katarsis melukiskan kelengaan jiwa orang penulis ketika berhasil merampungkan tulisannya. Implikasinya, kita juga menuntut redaktur media massa cetak yang pikirannya terkatarsis. Yakni, redaktur yang tidak tergesa-gesa menolak pemuiatan sebuah artikel seraya berkata bahwa “kami kesulitan ruang pemuatan”. Mungkin ini perkari rutin yang sepele, namun justru akan memburamkan keindahan dunia apresiasi tulis-menulis.

B. Kontemplasi Terhadap Kritik

Sebelum mengarah pada bagaimana kiat cepat menulis artikel di media cetak, hal pertama yang perlu dipahami adalah faktor mental. Artinya kekaryaan kita akan kerdil bahkan nyaris tidak ada sama sekali jika kita lemah terhadap kritik atau “omongan” orang lain. Oleh karena itu dalam konteks ini, mungkin kita juga perlu berkontemplasi, mengapa kita sering kali alergi terhadap kritik. Dengan berkontemplasi, diharapkan batin kita akan mengalami katarsis.

Ketahanan terhadap kritik memang bukan perkara sepele. Sobat saya, sebut saja bernama Denok, yang rajin menulis artikel untuk majalah terbitan Kota Depok, pada suatu kali menyumpah-nyumpah. Pasalnya, majalah itu menolak artikelnya yang mengomentari rencana invasi Amerika Serikat ke Irak (Maret 2003). “Maaf, pemikiran anda kurang sesuai dengan segmen pembaca majalah ini,” ujar sang sekretaris redaksi melalui surat penolakan tersebut, tanpa penjelasan lebih lanjut yang logis, apresiatif, dan akademik. Selidik punya selidik, rupanya tulisan Denok dianggap agak menentang arus, karena berkesan amat membenci peperangan. Perihal orang membenci peperangan,memang bukan hal yang aneh. Apalagi, opini masyarakat dunia ketika itu juga menyudutkan Amerika Serikat sebagai pelanggar HAM. Namun, di dalam tulisannya itu Denok justru terkesan amat gigih “menyerang” istri Presiden Berusaha dengan menyatakan, seandainya fist lady Amerika Serikat itu mau bersikap tegas, keras tapi keibuan, terhadap sang suami tidak menyerbu Irak, pastilah perang itu tak akan pernah terjadi. Boleh jadi, sobat saya dianggap berpikiran naif, betapa sebuah perang politik dan ekonomi bisa atau boleh dihentikan hanya oleh “belaian seorang ibu. Mungkin, itulah penyebabnya mengapa artikel Denok ditolak. Oleh karena itu, sebagaimana sudah disinggung di dalam bab-bab sebelumnya, selain menjaga kecermatan berpikir seraya memperluas cekrawala pengetahuan, seorang penulis artikel jurnalistik juta dituntut mesti tahan terhadap kritik. Sayangnya, sejak penolakan artikelnya, sobat saya itu “berhenti” menulis. Ketika saya tanyakan, ai menjawab diplomatis, “Buat apa menulis lagi, kalau kebebasan berpikir sudah tidak dihargai.” Rupanya, Denok melupakan satu hal yang amat penting, kebebasan berpikir tidak beranalogi langsung dengan kenaifan berpikir.

Namun, semua hal di atas, nampaknya hanya idealisme belaka. Cobalah renungkan, adakah orang yang benar-benar tahan terhadap kritik? Lihatlah, mengapa Denok, sobat saya itu, tiba-tiba ngambek tidak mau menulis lagi. Tengok pula di sekeliling kita, mengapa teman kita, tetangga kita, pasangan kita, dan bahkan diri kita acap kali alergi terhadap kritik. Sedikit saja kena “sentil”mereka atau diri kita akan marah bukan alang-kepalang. Begitu pula simaklah bos kita di kantor, mengapa ia akan uring-uringan dan mencak-mencak sepanjang hari bila dikritik. Bahkan, tanpa mempergunakan akan sehatnya lagi, bos kita itu mengancam akan menjebloskan orang sekantor ke dalam sel jika masih berani melancarkan kritik. Bayangkanlah, sel mana yang mampu menampung orang sekantor? Contoh lain, ingatlah bagaimana upaya rezim Orde Baru dalam “mengelola” kritik yang menyerang kinerja pemerintahannya. Begitu orang mulai gerah, dan kemudian ramai-ramai melancarkan kritik dalam wujud unjuk rasa atau protes terbuka, dengan amat represif rezim Orde Baru langsung menugasi tentaranya untuk membungkam para pengkritik. Alhasil, bagi rezim Orde Baru kritik-mengkritik terkategori sebagai aktivitas kriminal, yang harus dikelola melalui sistem panoptik. Padahal, sebagaimana kerap dikatakan para filsuf, kehidupan di sebuah negara yang mengaku demokrasi tidak mungkin berlangsung tanpa kritik. Sebab, rakyatlah yang memgang tampuk kekuasaan . Artinya, kalau kalangan penyelenggara negara menolak kempemimpinan rakyatnya, tamatlah riwayat demokrasi di negara itu.

Dalam konteks ini, mau membuat persoalan  kehidupan mondial dewasa ini mau tak mau membuat persoalan dalam negeri juga tersesat ke dalam persoalan internasional. Dampaknya, tidak mungkin rakyat (sebagai pemimpin) dituntut untuk mampu membuat penilaian atau mengkritik begitu banyak persoalan yang memang amat kompleks itu. Sebagai contoh, lihatlah bagaimana hampir tiap hari kritik mengenai perekonomian kita dilancarkan orang dengan amat sengitnya. Akan tetapi, apakah kritik itu membuahkan perbaikan? Itulah sebabnya, muncul pembagian tugas dan tanggung jawab atas segala bidang kehidupan, yang mengisyaratkan bahwa tiap-tiap orang memiliki kapasitasnya sendiri dalam mengurusi bidangnya. Dengan demikian, menurut Kwant (1975), demokrasi tidak berarti bahwa tiap orang dapat dengan bebasnya membuat penilaian atas segala sesuatu. Analoginya, hemat saya, tanpa kritik tidak mungkin pula kehidupan  komunikasi adab akan berlangsung mulus di jagat tulis-menulis artikel.

Lalu, bagaimana memperkuat daya tahan kita terhadap kritik? Saya memang percaya bahwa ktitik jalin-menjalin dengan masalah ego (keinginan pribadi) dan harga diri (kehormatan) yang direcoki tingkat arogansi. Makin tinggi tingkat arogansi seseorang, makin ia merasa ego dan harga dirinya berada di atas orang lain, maka makin ogah pula ia kritik. Di dalam kamus hidupnya tidak ada kata “aku salah”, kecuali “akulah yang paling mampu”. Oleh karena itu, agar arogansi kita tidak membabi buta, ada baiknya kita kembali membuka-buka kisah para pemimpin yang justru senang bila dikritik temanya, rakyatlah, dan bawahannya. Kisah-kisah mengenai Raja Yudhistira dari Negara Amarta, Sultan Harun al-Rasyid dari Kesultanan Baghdad, atau tentang kebijakan Hakim Bao dari Kekaisaran Tiongkok adalah sekadar contohnya.

Di dalam salah satu kisah tersebut, misalnya terungkap bahwa pemimpin yang tidak mau menjadi pendengar yang baik, atau sulit mendengar omongan orang lain, alias leibh mencuatkan aroganisnya, tandanya ia tipe manusia yang tidak tahan kritik. Maka, orang yang tidak tahan kritik akan sengsara di sepanjang hidupnya, karena selalu dibayang-bayangi kritik. Kalau Anda terkategori tipe ini, sebaiknya terhati-hatilah ketika “mimilih profesi” sebagai penulis artikel jurnalistik. Pasalnya, Anda akan selalu melakukan reistensi terhadap cakrawala baru yang membentang luas, sehingga diri Anda “hanya” menjadi individu yang emosional, sinis dan sok tahu.

C. Kiat Cepat Menulias Artikel Jurnalistik

Membuka cakrawala baru, dalam konteks ini dapat kita pertalikan dengan kiat cepat menulis artikel jurnalistik. Pilihan salah satu kiat di bawah ini sesuai keinginan kita atau bagaimana cara kita mengombinasikannya.

Pilihan I: Merumuskan Topik

Rumuskanlah topik atau pokok pikiran kita. Cukup dalam satu kalimat atau alinea pendek. Pemicu ilham, kalau kita kesulitan, bisa diambilkan dari berita yang sedang hangat (news peg). Lalu, perhatikan: (a) tatalah pokok pikiran secara logis. Dalam hal ini, rumusan pokok pikiran tersebut bisa kita letakkan pada awal tulisan (kalimat topik); (b) kemudian, dukunglah rumusan topik tersebut dengan referensi, yang bisa kita cungkil dari fakta, kepustakaan, atau informasi pendukung lainnya; (c) tariklah benang merah antara rumusan pokok pikiran dan referensi pendukung tersebut. Lalu, buatlah simpulannya; dan (d) munculkanlah pokok pikiran pada titik-titik tertentu. Yakni, (1) bisa dimunculkan sepenuhnya hanya pada satu tempat, misalnya di teras; (2) bisa dimunculkan secara berulang pada sejumlah tempat dalam berbagai variasi, misalnya di teras, di tubuh, dan di tempat lain dalam berbagai variasi; dan (3) bisa pula pokok pikiran sengaja disembunyikan, agar pembaca penasaran dan menduga-duga ke mana arah artikel kita;

Pilihan II: Membuat Ragangan atau Diagram

Jika pokok pikiran kita masih bersifat terlalu umum, “terjemahkanlah” atau “bumikanlah”. Umpamanya, kita merumuskan pokok pikiran “perekonomian Indonesia dewasa ini tidak jelas”. Pernyataan ini, bagi pembaca, barangkali masih terlalu luas dan umum, sehingga sulit dimengerti. Lalu, bagaimana cara membuktikannya? Pertama, dengan memberikan contoh atau ilustrasi. Kedua, melakukan kontras atau perbandingan. Ketiga, menggunakan metafora dan analogi; dan Keempat, bisa pula dengan melukiskan sebab-akibat. Jadi, andai kita memilih kontras dan perbandingan, pernyataan tersebut dapat kita susun dalam ungkapan sebagai berikut: “pertumbuhan ekonomi Indonesia dewasa ini tidak jelas. Cobalah tengok negeri Jiran kita, Malaysia. Lihatlah, negeri serumpun itu kini lebih unggul pertumbuhan ekonominya ketimbang kita.” Dari susunan ini, kemudian buatkanlah ragangan (outline) atau diagram (rancang-grafik), yang pada hakikatnya berupa proses penggolongan dan penataan berbagai fakta ke dalam sub-sub pokok pikiran, seperti (a) “pertumbuhan ekonomi Indonesia masa Reformasi”; (b) “pertumbuhan ekonomi Malaysia masa sepuluh tahun belakangan”; (c) “kedua masa itu dalam kaitan dengan perekonomian mondial”; dan (d) “perbandingan antara pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan di negeri jiran”. Tatkala ragangan atau diagram telah dibuat, berarti kita telah memiliki semacam modal dsar untuk melanjutkan penulisan. Artinya, melalui sub-sub pokok pikiran yang tersusun di dalam ragangan atau diagram, kita bisa merangkai kata (malalui topangan data dan informasi) menjadi artikel yang utuh;

Pilihan III: Merumuskan Pernyataan Tesis

Nyatakanlah informasi yang hendak kita sampaikan dalam wujud penyataan tesis atau kalimat yang mengandung pokok pikiran. Contoh (perhatikanlah kata yang bargaris bawah): kebudayaan Indonesia memang sulit kita definisikan, namun kebudayaan Indonesia pada dasarnya menperhatikan kekayaan dan keragaman serjarah bangsa. Dari pernyataan tesis ini, kita akan segera bisa menformulasikan hal-ihwal apa saja yang hendak kita tulis mengenai “kebudayaan Indonesia” bertalian dengan “kekayaan dan keragaman sejarah bangsa”;

Pilihan IV: Menyusun Bodi Artikel

Menyusun bodi artikel dapat dilakukan dengan cara merangcang (bentuk) sejumlah alinea di layar komputer kita. Setelah merumuskan gagasan utama artikel kita, rancanglah sejumlah alinea. Kemudian, di dalam tiap-tiap rancangan alinea itu kita sebarkan kalimat topik yang mendukung gagasan utama. Dengan demikian, kita tinggal merujuk kalimat-kalimat topik tersebut menjadi artikel yang utuh. Sebagai contoh, kita akan menulis artikel dengan gagasan utama “kebebasan pers Indonesia”. Berdasarkan gagasan utama ini, kita merancang tiga alinea di dalam layar komputer, kemudian menyebarkan tiga kalimat topik ke dalam rancangan alinea tersebut. Perhatikanlah:

Kebebasan Pers Indonesia belakangan ini dan sejumlah kasus yang  berkaitan dengannya

………………………………………………………………………………………

Kebebasan Pers Indonesia sebagai cerminan pers global atau pers kapitalis

………………………………………………………………………………………

Kebebasan pers Indonesia dan upaya pembenahan kode etik jurnalistik

………………………………………………………………………………………

Pilihan V: Menulis Pendahuluan dan Simpulannya

Kiat lain menulis aritikel jurnalistik secara cepat adalah dengan terlebih dahulu menulis pendahuluan dan simpulannya secara sekaligus. Kendati begitu, kita ini akan berjalan baik jika kita memahami makna pendahuluan dan makna simpulan secara filosofis. Dengan demikian, pendahuluan mestilah (a) mengantarkan pembaca ke dalam pokok pembicaraan; (b) menggugah perhatian pembaca; dan (c) mengajak pembaca untuk mengetahui isi seluruh artikel. Sedangkan, simpulan, sebagai intisari seluruh uraian, diupayakan agar mengesankan pembaca.

Dari kelima pilihan di atas, sebagamana telah disinggung, tentu berkaitan dengan kecocokan hati kita. Namun begitu, ada hal penting yang patut disampaikan dalam bab terakhir ini. Yakni, janganlah lupa memasukkan anasir humor, anekdot, atau lelucon ke dalam artikel jurnalistik kita, sepanjang tidak menimbulkan pelecehan atau penistaan. Bagaimanapun, ibarat taburan intan di pasir, humor menjadi daya pikat tersendiri bagi pembaca.

Selaras dengan hal di atas, ingatlah pula bahwa panjang artikel jurnalistik hanyalah sekitar tujuh halaman kertas ukuran kuarto atau A4. Artinya, tidak mugkin memasukkan semua hal yang kita ketahui, sebagamana ditegaskan dalam ungkapan Latin ini, ninium nocet, yakni “yang berlebih-lebihan akan merusak”. Itu sebabnya, agar tidak berlebih-lebihan, simaklah seluruh informasi yang disajikan dalam makalah ini.

Penulis

Inventor Kincir Kaki Angsa, Staf HRD Kepegawain, Humas UM

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.