LANGKAH KECIL

That’s one small step for a man, one giant leap for mankind (‘Langkah kecil bagi seorang manusia, lompatan besar bagi umat manusia.’) Itulah ucapan Neil Amstrong, 21 Juli 1969 saat menginjakkan kakinya di bulan. (Ungkapan itu saya kutip terlepas dari kontroversi benar-tidaknya peristiwa pendaratan di bulan).
Sebagai seorang yang dilepas dalam acara perpisahan secara rileks dan mengalir, saya ikuti saja apa mau pengatur acara. Sambil makan malam dan melihat kerlap-kerlip lampu kota Batu dari ketinggian bukit, Jumat malam, 7 November 2014 lalu, Bu Lely—Kasubbag Akademik FS—memandu acara. Giliran pertama Kabag TU FS—Pak Parman—memulai dengan ungkapan dan wacana khasnya. Tentu diawali dengan alunan lagu wajib kebangsaannya Caping Gunung. Ya, beliau memang anak nggunung, rumahnya di puncak Gunung Lawu, petilasan Mantili dalam cerita Brama Kumbara. Acara terus mengalir: Pak Yazid dengan Widuri-nya, Pak Harmanto dengan konsisten tidak pernah mau menyanyi, siapa pun yang meminta atau memaksa; Pak Ainin dengan lagu Jatuh Bangun—yang tentu saja jadi sasaran empuk gojlogan semua teman atas pilihan lagu itu: cocok dengan suasana hatinya. Perwakilan dari teman-teman tenaga kependidikan mengalir bercerita. Inilah sebagian dari cerita mereka.
Saat akan dimutasi ke FS dari SMP Lab UM, Bu Luk Luk sangat takut karena dapat cerita bahwa dia akan menghadapi Pak Dawud yang kêrêng. FS adalah unit kerja kering penghasilannya. “Kenyataannya? Cerita itu jauh panggang dari api. Saya happy. Saya selalu keep smile. Setelah perpisahan ini, saya berharap semua pimpinan juga tetap keep smile,” ungkapnya.  Saat mengomentari ungkapan Bu Luk Luk, pengatur acara, Bu Lely menyitir sebuah ayat Quran, menerjemahkannya dengan terbata-bata, dan air matanya mengalir membasahi pipinya … (Saya hanya bisa menduga, Bu Lely mengalami cerita dan hal yang sama ….)
Mbak Nia—Karniati nama lengkapnya, pindahan dari tenaga harian KPRI UM yang diangkat sebagai PNS di FS UM—bercerita bahwa saat awal menghadap Pak Dawud, dia ditanya, “Tempat tinggal di mana, Mbak?” “Kontrak Pak,” jawabnya. Pak Dawud mengatakan, “Upayakan punya rumah sendiri, sekecil apa pun, sejelek apa pun.” Dia mengakhiri cerita dengan ungkapan syukur, “Alhamdulillah, saat ini saya sudah punya rumah. Peran Pak Parman dan KPRI sangat besar. Dorongan Pak Dawud memberi semangat dan kekuatan besar untuk (berani) melangkah. Lebih-lebih, sebulan yang lalu, Pak Dawud dan Ibu sambang ke rumah saya.”
Bu Hesti bercerita bahwa saat menikah di awal jadi PNS FS dapat kado istimewa dari Pak Imam Suyitno, Pak Dawud, Pak Rofik, dan Pak Syahri, yakni UANG LENGKAP: 100-ribuan, 50-ribuan, 20-ribuan, 10-ribuan, 5-ribuan, 1-ribuan, 100-rupiahan, 50-rupiahan, 10-rupiahan, 5-rupiahan, dan 1-rupiahan. Ketika Pak Dawud jadi Dekan, katanya, dia dinasihati untuk mandiri, lepas dari perumahan mertua indah. Banyak pertimbangan yang diberikan, di antaranya, “Mandirilah dalam berumah tangga. Hati-hati terhadap pihak ketiga dalam satu rumah. Pihak ketiga itu bisa orang tua, mertua, saudara kandung, atau saudara ipar. Ingat, saudara berjauhan-tempat berbau bunga, saudara berdekatan-tempat kebanyakan berbau bangkai.” Sambil berlinang air mata, Bu Hesti mengatakan untunglah dia ikuti nasihat itu, sehingga dia terhindar dari substansi sebuah lagu “sakitnya aku di sini, di hati ini” sambil mengepalkan tangan kanan dan ditempelkan di dada kiri menirukan gaya para biduan (Padahal, setiap ada acara santai, dia saya olok-olok, masa penyanyi Gereja tidak berani tampil menyanyi di hadapan teman-teman sendiri … ha ha ha).
Mas Doni menceritakan empat kenangan pokok dengan Pak Dawud. Pertama, awal kerja dengan Pak Dawud diminta membenahi jaringan listrik di E6. Tersebar cerita bahwa di E6 dihuni oleh hantu karena lampunya bisa nyala sendiri dan atau mati sendiri. Pak Dawud mengarahkan agar semua kabel listrik diurai. Tentu sulit karena kabel listrik di E6 saat itu berwarna sama: MERAH. Jadi, tidak bisa dibedakan kabel mana yang R, S, T, nol, dan ground. Dia heran, Pak Dawud yang bukan dari orang listrik tahu perlistrikan. Atas arahan Pak Dawud, dari semula tegangan 220 V “bendengan” diubah menjadi 200 V murni. Alhamdulillah, lampu normal. Pasokan listrik ke semua alat lab bahasa normal. Ternyata, lampu nyala dan mati sendiri bukan karena hantu, tapi karena 220 V bendengan (dua kabel masing-masing beraliran 110 V masuk ke lampu atau alat listrik berbeban 220 V). Kedua, dia  mendapatkan kepercayaan penuh untuk mengelola, memperbaiki, dan memelihara BMN di FS. Pak Dawud selalu menekankan, lakukan sebisanya, kalau tidak bisa dan menghadapi kesulitan lapor. Kalau tidak ada laporan tentang kesulitan, Pak Dawud anggap beres, running well. Bagian Pak Dekan adalah mengatasi kesulitan dan menyelesaikan masalah. Ketiga, tentang harus memiliki rumah sendiri, sama dengan cerita Mbak Nia dan Bu Hesti. Keempat, tidak terbayang sama sekali Doni jadi PNS dan tidak bayar serupiah pun. Lebih tidak terbayang lagi, Doni bisa sarjana dan sudah penyesuaian kepangkatan dengan ijazah. Pak Dawud mendorong dan memfasilitasi saya kuliah: senyampang masih muda, senyampang anaknya masih kecil, kata Beliau. Doni yakin semua teman yang didorong dan difasilitasi untuk kuliah oleh Pak Dawud merasakan hal yang sama dengan yang Doni rasakan, pungkas Mas Doni.
Mas Faul juga banyak mengungkapkan kenangannya secara runtut dan sistematis. Pertama, kalau ada kerusakan alat elektronik, perbaiki saja. Kalau bisa, untung, bisa dipakai lagi. Kalau tidak bisa diperbaiki sendiri, ya tetap untung, yakni untung pengalaman. Setelah itu, coba dibawa ke tukang. Kalau tidak bisa, ya sudah dihapusbukukan. Toh, memang sudah rusak. Kedua, semua alat FS adalah milik negara. Pakailah untuk kepentingan negara semaksimal mungkin, kalau perlu 24 jam per hari, 7 hari per minggu. Bisa digunakan untuk kedinasan UM, unit mana saja, fasilitasi. Lebih baik alat rusak karena dipakai secara wajar, daripada alat rusak tidak pernah dipakai sama sekali. Ketiga, tentang harus memiliki rumah sendiri, sama dengan pengalaman teman lainnya. Keempat, saat saya—Faul—kena musibah tertipu orang, Beliau menasihati dengan tegas untuk memilih: Anda larut pada masa lalu dan kesedihannya atau Anda berdiri tegak hari ini sebagai pijakan untuk menatap dan melangkah ke depan. Masa lalu tak akan pernah kembali walau kau sesali dan kau tangisi seperti apa pun. Tidak ada mesin lorong waktu. Masa depan akan Anda lalui dan hasilnya masih bisa Anda raih! Masa depan masih dapat Anda isi. Itulah pilihan hidup yang harus Anda pilih. Kelima, ketepatan waktu dalam rapat dan janjian. Kelima, keteladanan dalam datang ke kampus dan pulang kampus: Pak Dawud  paling awal datang dan pulang setelah jam berakhir. Keenam, kejelasan dalam memberi tugas: jelas tugasnya, jelas prosedurnya.

(Usai menceritakan itu, Mas Faul saya tantang untuk menyanyi, ternyata maju dan menyanyi dengan merdu. Saya kecele. Mas Doni malah berkomentar, seumur-umur baru dengar Mas Faul menyanyi, ya, sekarang ini. Belum pernah terdengar Mas Faul menyanyi, sekalipun hanya dengan rengeng-rengeng …)

Kamis pekan lalu, pada saat jam dinas, Mbak Rini datang, duduk di kursi di samping saya di ruang Tatausaha. Dia memang tidak sempat mendapat giliran bicara saat perpisahan. Sambil terharu menyampaikan terima kasih atas dorongan dan fasilitas kuliah yang saya berikan. “Salam dari suami,” katanya. Meski ijazah belum jadi, dia melapor bahwa kuliahnya sudah selesai. Saya jawab dengan gurauan, laporan formalnya disertai ijazah berikan ke dekan baru nanti saja. Dia menjawab dengan logika sahabat saya dari Madura: dekan baru nanti kan dekan pengganti Bapak …. (Ha ha ha …) “Salam kembali untuk suami dan anak-anak,” jawab saya.
Mendengar cerita mereka, saya terpana dan terperangah. Saya tidak menduga begitu besar artinya ucapan sederhana saya tentang perlunya rumah tangga mandiri. Saya hanya meneruskan nasihat Ibu saya (allahummaghfirlaha). “Nak, kalau kontrak rumah, cari yang biasa saja, kalau perlu cukup kontrak kamar. Kalau kepingin besar dan bagus, punya sendiri. Beli saja rumah apa adanya semampunya, asal bisa untuk berteduh. Uang untuk kontrak bisa digunakan untuk memperbaiki secara bertahap.” Itulah nasihat Ibu saya dari desa. Itulah yang saya tularkan kepada mereka. Saya berempati kepada mereka atas pengalaman saya: tahun 1985 saya kontrak 1 kamar di dekat masjid Sumbersari gang V dengan isteri saya (allahummaghfirlaha). Tahun 2007 saya sekolahkan ijazah saya ke Bank Niaga. Saya sekolahkan bersama ijazah Pak Rofi’uddin. Malah, sebelum ijazahnya disekolahkan, Pak Rofi’uddin harus mengambilnya dulu di BNI karena beliau ambil Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) saat kuliah, baru dilunasi setelah bekerja, dan akan disekolahkan (lagi). Uangnya saya gunakan untuk uang muka beli rumah (demikian juga Pak Rofi’uddin).
Bapak saya menasihati, “Nak, saya hanya bisa membekali kamu ilmu dengan menyekolahkan semampu ayah-ibumu. Jangan berharap warisan harta dari orang tuamu. Mandirilah dengan ilmumu. Jangan andalkan orang lain, termasuk tentang nenek moyangmu. Sekalipun kau keturunan trah Paku Alam Ngayogyakarta, trah Raden Adipati Jayaningrat, jangan kau pakai gelar kebangsawanan itu. Cukup sampai saya saja. Abot sanggane (‘berat bebannya’).
Bu Khoiriyah (saat ini Kabag Kepegawaian UM), pada tahun 2001, saat roda kehidupannya di bawah dan sangat sulit, saya nasihati untuk segera menempati rumahnya di Tegalgondo sekalipun temboknya dari batako belum dipelur/dikuliti. Mas Akidah, saat akan beli mobil, padahal belum punya rumah, saya sarankan untuk membeli rumah dulu daripada beli mobil. Mas Wawan (Eko Wahyu Setiawan—saat ini Kasubbag Akademik dan Mawa FIS) saya sarankan jual mobil Xenianya untuk membeli rumah dari pada ikut numpang di rumah mertua. Syukurlah, mereka ikuti saran saya. Syukurlah, saat ini, di samping punya rumah, Mas Akidah dan Mas Wawan sudah punya mobil (lagi).

Sahabat-sahabat saya (di antaranya Mas Sugianto, Mas Doni, Mbak Rini, Mas Nanang, Bu Hesti, Gus Dirman, Mbak Ajeng, Mbak Nia, Mas Faul, Mas Tatok, Mas Tomy) ada yang saya nasihati untuk segera “mandiri” dalam berumah tangga; ada yang saya dorong untuk kuliah (bagi yang mau, mampu, dan belum sarjana); dan ada yang saya nasihati keduanya. Nasihat itu saya sampaikan saat acara rileks: di warung kopi, saat bercengkerama di kantor, di mobil saat pulang acara takziyah atau hadiri mantenan keluarga teman. Saya senang sudah mengunjungi sebagian besar dari rumah mereka. Syukurlah, mereka berhasil dengan usaha keras mereka. Nasihat saya hanyalah variabel kecil saja. Saya berterima kasih kepada mereka karena mereka telah mengajari saya: dorongan kecil dari seorang sahabat, daya besar untuk berikhtiar menuju takdir Allah yang lebih baik bagi banyak sahabat.

 
Malang, 17 November 2014
Dawud
FS UM

Post Author: humas admin

Comments are closed.