Mengharap Kebijakan Ekspor Minyak Sawit

Malang Posco Media – Minyak goreng melambung mahal selama ini dan langka di pasaran, hingga pembelian pada saat gelar pasar murah yang berefek antrian masal.  Belum lagi ditemukan kasus minyak goreng palsu di Kudus Jawa Tengah dimana kasus praktik minyak goreng palsu yang sempat beredar di masyarakat dan merugikan sejumlah konsumen. Minyak goreng palsu tersebut dibuat dari bahan air dengan pewarna kuning sebagai campuran. Harga minyak goreng, yang biasanya meningkat sekitar masa menjelang Ramadan dan Lebaran kemudian turun lagi, tetapi tampaknya sekarang sulit untuk surut begitu begitu saja. Hal ini tidak hanya terjadi pada minyak goreng kemasan istimewa saja, kenyataan minyak goreng curah yang banyak dikonsumsi kalangan bawah juga melambung tinggi. Ironisnya Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan terdapat kenaikan harga minyak goreng, baik minyak curah maupun kemasan, sejak 2020 hingga 2022. Dari data tersebut, terlihat bahwa sejak Oktober 2021 harga minyak goreng baik kemasan maupun curah sama-sama naik secara signifikan, setelah merambat terus sejak tahun lalu. Tercatat, harga minyak goreng kemasan nasional meningkat dari Rp12.100 per liter pada Januari 2020 menjadi Rp18.200 per liter pada Desember 2021. Sementara itu, minyak goreng curah meningkat dari Rp11.600 per liter pada Januari 2020 menjadi Rp17.700 per liter pada Desember 2021.

Kondisi tersebut menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag menegaskan bahwa kenaikan harga minyak goreng lebih dikarenakan harga internasional yang naik cukup tajam. Sebab, pasokan minyak goreng di masyarakat saat ini aman. Kebutuhan minyak goreng nasional sebesar 5,06 juta ton per tahun, sedangkan produksinya bisa mencapai 8,02 juta ton. Meskipun Indonesia adalah produsen crude palm oil (CPO) terbesar, namun kondisi di lapangan menunjukkan sebagian besar produsen minyak goreng tidak terintegrasi dengan produsen CPO (Kompas, 5/11/21).

           Setelah mengalami penurunan cukup drastis di September, ekspor produk minyak kelapa sawit Indonesia kembali meningkat di bulan Oktober. Kenaikan ekspor didorong meningkatnya permintaan serta perbaikan harga. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), volume ekspor minyak sawit Indonesia di bulan Oktober mencapai 3,213 juta ton. Angka tersebut meningkat 230 ribu ton atau 11,3% dibandingkan bulan September ( 2,886 juta ton).

           Menurut GAPKI, harga minyak sawit untuk bulan November dan Desember 2021 diperkirakan akan melandai tetapi sangat mungkin masih lebih dari US$1.300/ton CPO Cif Rotterdam. Turunnya harga disebabkan panen oilseed yang relatif baik, tetapi industri crushingnya masih terkendala karena berbagai hal yang berbeda di negara produsen oilseed seperti Argentina, Brazil dan Rusia sehingga penurunan harga minyak nabati pada umumnya tertahan.

Teriakan Masyarakat

Dalam era globalisasi, tuntutan “fair play of business” semakin relevan karena kehadiran gerakan-gerakan yang sangat powerfull seperti gerakan konsumen yang siap meneriaki bisnis-bisnis yang mencurangi buruh dan konsumen, dan yang merusak stabilitas harga pasar. Dalam kaitan dengan ini, etika bisnis juga diperlukan tidak hanya untuk menghindari teriakan masyarakat, melainkan juga untuk menghindari intervensi pemerintah. Namun demikian, ketika masyarakat semakin vokal memperjuangkan haknya yang dilanggar oleh kegiatan bisnis, maka pada kapasitas ini pemerintah dalam bisnis global tidal lagi bisa berdiam diri. Mau tidak mau pemerintah harus turun tangan secara bijaksana.

Berkaitan dengan hal tersebut, turun tangannya pemerintah bagi bisnis adalah hal yang harus dihindari karena mengekang gerak perusahaan dalam arti yang negatif. Keadaan ini semakin relevan dalam era liberalisasi ketika sorotan internasional dalam berbagai bentuk dan forum harus pula diperhitungkan pemerintah. Dengan meningkatnya ekspor CPO tersebut, ternyata memang berdampak negatif terhadap pasokan dalam negeri. Ekspor yang meningkat menyebabkan  pasokan dalam negeri menurun, sementara kebutuhan dalam negeri juga meningkat. Ini tentu menjadi dolema bagi kita. Di satu sisi kita membutuhkan devisa, sementara di sisi lain pasokan dalam negeri berkurang, sehingga jika kuota ekspor dipaksakan secara over maka tetesannya kaum grassroots semakin berteriak.

Kekhawatiran pengurangan pasokan CPO dalam negeri memang perlu diperhatikan serius. Karena kekurangan tersebut, sesuai hukum pasar, membuat harga CPO dalam negeri juga meningkat. Hal ini dapat dilihat dari lonjakan harga yang terjadi beberapa bulan terakhir selama tahun 2021 meresahkan masyarakat. Pedagang kecilpun yang biasanya menjajakan pisang goreng, singkong goreng biasanya menuai keuntungan cukup baik guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi kini  mulai memutar otak dan berfikir dua kali untuk tetap bertahan berjualan akhirnya gulung tikar. Logis, karena modal yang dikeluarkan tidak sebanding dengan perolehan laba sehingga devisit, disisi lain pihak, banyak juga industri yang menunda meraup untung.

Memperhatikan kebijakan pemerintah pada era tersebut, lantas bagaimana untuk menyikapi krisis minyak goreng sekarang ini? Setidaknya, pemerintah harus segera melakukan kebijakan secara sinergis terhadap bisnis minyak goreng melalui pembatasan ekspor secara holistik. Lebih dari itu, disamping masalah pembatasan ekspor tersebut, yang tidak kalah pentingnya bahwa usaha perkebunan sawit juga perlu terus dikembangkan mengingat potensi lahan kita masih memungkinkan. Selama ini pengembangan perkebunan sawit masih didominasi daerah Sumatera. Padahal Indonesia masih kaya akan sumber daya alam yaitu memiliki lahan sawit potensial di daerah lain, terutama di wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Dari argumentasi tersebut, setidaknya dapat digarisbawahi bahwa intervensi pemerintah untuk mereduksi batasan kuota ekspor harus segera digulirkan dengan keputusan yang adil dan bijaksana sejalan dengan kelangkaan komoditas dan harga  jual sawit di pasar domestik yang tidak wajar.  Teriakan masyarakat harus dipahami, dan tentunya kita berharap krismon tidak terulang lagi dengan asumsi bahwa  kedudukan minyak goreng harus ditempatkan pada porsi “tingkat kebutuhan utama” yang sama pentingnya seperti halnya minyak bumi atau BBM. Kita doakan semoga stabilitas harga minyak goreng menjadi normal menjadikan masyarakat sejahtera.(*)

Post Author: humas admin