[JAWAPOS – Mahasiswa] Over-Emansipasi di Indonesia

Over-Emansipasi di Indonesia
Oleh
Khoirotul Amanah
Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Malang

EMANSIPASI tampaknya semakin disalahartikan. Dulu istilah tersebut berarti penyetaraan derajat kaum perempuan terhadap kaum pria. Namun, rupanya emansipasi telah mengalami perluasan makna dan terjadi over-emansipasi. Yakni, emansipasi lebih dimaksudkan padatindakan yang melebihkan derajat perempuan daripada lelaki.

Gerakan emansipasi itu memangtelah mengangkat derajat perempuan di berbagai belahan dunia. Dengansemangatnya, kaum perempuan bisalebih berkarya, berekspresi, dan berkreasi. Bila dibandingkan satuabad lalu, kondisinya jauh berbeda Peribahasa Jawa surga nunut, neraka katut merefleksikan pandangan yang menempatkan perempuan sebagai subordinat. Tugas perempuan saat itu sederhana –dan juga merendahkan–masak, manak, dan macak (masak, melahirkan, dan bersolek).

Perjuangan pahlawan-pahlawan emansipasi sejak zaman RA Kartini tak sia-sia. Indonesia bahkan pernah dipimpin oleh presiden perempuan, yakni Megawati Soekarnoputri.

Banyaknya pengusaha perempuan papan atas seperti BRA Mooryati Soedibyo, perintis Mustika Ratu, juga membuktikan bahwa perempuan bisa dan boleh berkreasi.

Meskipun demikian, banyak kaum berrahim yang menganggap bahwa perjuangan keadilan ini masih belum membuahkan hasil sehingga timbul doktrin over-emansipasi dalam diri mereka.

Banyak perempuan Indonesia terlalu terpengaruh oleh doktrin emansipasi sehingga melupakan kodratnya sebagai perempuan yang seharusnya menjaga budaya tanah air. Pada zaman ketika dua gender telah setara ini, banyak perempuan menganggap bahwa penyetaraan seks itu belum terwujud. Jika yang menyatakannya adalah perempuan Afrika yang harus melakukan semua tugas rumah tangga dan mencari nafkah sekaligus, sedangkan suami mereka hanya menganggur tanpa melakukan apa pun, atau perempuan Amerika yang dulu tidak mendapatkan hak pilih dalam pemilu, memang dapat diterima. Tetapi, jika yang menyatakan adalah perempuan modern dari kalangan berpendidikan di Indonesia, saya rasa dia melebih-lebihkan.

Kesetaraan dalam hukum, politik, dan hak mendapatkan pendidikan dan berpendapat di Indonesia telah terwujud sedemikian kompleksnya untuk melindungi hak-hak para wadon. Lalu, apa lagi yang harus kita tuntut untuk menyejajarkan diri dengan kaum lelaki? Dengan cuti melahirkan dan menyusui, perempuan sebenarnya bahkan telah melebihi laki-laki! Atau perlukah semua perempuan memiliki penis dalam rangka menyetarakan diri dengan mereka? Padahal, tidak jarang karena gembar-gembor emansipasi yang katanya kesetaraan hak, seorang perempuan malah mengesampingkan hak orang lain. Contohnya, seorang ibu yang merupakan perempuan karir sering tidak memberikan ASI kepada bayinya. Alasannya, pekerjaan yang merupakan embel-embel dari (over)emansipasi. Padahal, bayi berhak mendapatkan ASI. (*)

[HER VIEW] Rabu, 9 Maret 2011, halaman 23

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.