Penguatan Sikap Arif Generasi Milenial

Kaleidoskop adalah istilah yang sering muncul di akhir tahun. Saya sendiri sering membaca kata tersebut di situs jejaring sosial Facebook misalnya Kaleidoskop Foto. Di website berita misalnya ada Kaleidoskop Peristiwa 2021, kemudian ada juga Kaleidoskop Politik 2021.

Adalah menjadi suatu kebutuhan dalam mendekati pergantian tahun guna merefleksikan satu tahun yang sudah kita lewati menjadi semacam kebutuhan yang dirangkum dalam tajuk Kaleidoskop. Mengulas balik kembali catatan hari, pekan, bulan di belakang sambil mengingat-ingat sesuatu yang menarik apa yang diperbuat.

Tatkala ada capaian apa yang paling mengesankan, kesedihan apa yang dilalui, sesuatu penting yang telah terjadi, atau semisal catatan bencana yang telah mewarnai pada resolusi tahun 2021 hingga saat menyambut 2022.

Bagi yang tak punya keteraturan ingatan tentang satu tahun yang sudah berlalu, mungkin lebih memilih fokus pada tahun yang segera berganti guna menata langkah dan harapan baru. Untuk itu tentu saja evaluasi tetap penting agar tak mengulang-ulang kesalahan dan kegagalan yang sama.

Menjelang akhir tahun 2021, biasanya kita mulai sibuk menyiapkan acara liburan dan perayaan Tahun Baru 2022. Mungkin juga menyusun acara bersama keluarga, kerabat tercinta, hingga bakar jagung bersama kerabat ataupun tetangga dekat. Semua ini tentu merupakan hal positif dan menggembirakan dalam rangka menyambut tahun baru.        Tentu saja kita semua layak untuk mensyukuri akhir tahun dengan penuh sukacita. Selain itu, sangatlah dianjurkan agar kita juga menyediakan sedikit waktu untuk merenungkan apakah dalam setahun ini kita telah menjalani kehidupan sesuai harapan. Sudah menjadi insan yang lebih baik, dan telah mampukah kita melepaskan hal-hal yang tidak bermanfaat di era milenial ini?

Secara umum, kita membutuhkan penguatan kearifan berkomunikasi, baik dalam ranah media massa (media mainstream) maupun media sosial. Selama satu tahun ini, dinamika praktik bermedia, terutama ruang digital kita memperlihatkan kondisi yang bagai rimba raya.

Ruang digital kita terasa keruh, karena para pelaku media cenderung lemah dalam eksplorasi etika. Fenomena pemanfaatan media mainstream untuk memenangi opini, antara lain dengan bersikap ofensif kepada lawan politik, berjalan beriring dengan penggunaan platform-platform media sosial yang juga banyak menyampaikan unggahan-unggahan bersifat menyerang, menista, dan mem-bully.      Kasus-kasus yang kemudian berproses di ranah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menggambarkan konsekuensi berupa celah eksplorasi kearifan dalam mempertimbangkan akibat-akibat. Orang atau kelompok, dalam bidang apa pun, cenderung main posting semaunya untuk meluapkan ekspresi. Sekarang ini berkembang fenomena begitu mudah orang menyerang pihak lain, dan begitu gampang kemudian meminta maaf.

Hal lain yang yang harus kita ingat bahwa kekecewaan anak bangsa terhadap realitas kehidupan tidak jarang mengambil bentuk yang agak abstrak dan subyektif, yang pada gilirannya melahirkan negatifisme dan maksimalisme. Dalam kaitan ini, negatifisme menandai hubungan mereka yakni generasi muda dengan generasi tua, sementara maksimalisme mendorong mereka untuk menuntut segala sesuatu secara optimal, yang kemudian malah mengaburkan kemampuan mereka untuk mengapresiasi masalah-masalah sosial dan politik secara obyektif dan arif.

Agama bukanlah suatu gerbong sebagai alat negara yang kapasitasnya bisa mengancam negara itu sendiri.  Indonesia bukanlah negara agama dan juga bukan negara sekuler, tetapi religious nation state atau negara kebangsaan yang berketuhanan. Salah satu sebutan yang tepat bagi Indonesia berdasar Pancasila adalah negara kebangsaan yang berketuhanan, bukan negara agama.

Penguatan Sikap Arif

Adalah suatu cambuk bagi kita sebagai seorang generasi milenial untuk menghindari saling mengkambinghitamkan yang berakibat terjadinya friksi antar bangsa sendiri tanpa menghargai jerih payah merebut Kemerdekaan. Penguatan nasionalisme melalui upaya pemikiran inovatif dan positif perlu dibumikan senada dengan ikrar Sumpah Pemuda.

Hal ini untuk menumbuhkan semangat terus berkarya, lebih produktif sehingga konsep yang kita ciptakan tidak hanya menjadi “bumbu” dalam ruang diskusi di warung-warung kopi saja. Saat ini kita sebagai seorang pemuda harus mampu melihat apa yang manjadi “power” kita dalam meningkatkan produktifitas dalam bernegara.

Hakikat Sumpah Pemuda jangan sampai hanya menjadi kegiatan seremoni tanpa ada sebuah pesan dan refleksi untuk meramu kembali apa yang menjadi cita-cita bangsa kita. Tidak ada kata terlambat untuk sebuah perubahan yang lebih baik, karena peran arif Generasi Milenial menjadi agen perubahan bangsa.

Survei-survei sosial terbaru bahkan mengindikasikan bahwa kalangan pemuda Indonesia juga terjebak dalam pola pikir sempit dalam menyikapi keragaman anak bangsa. Padahal Indonesia adalah taman sari dan pelangi yang indah dalam keragaman bunga dan warnanya.

Indonesia yang dikonsepsikan para pendiri bangsa bukanlah Indonesia yang memeluk erat-erat ortodoksi, melainkan merupakan himpunan heterodoksi yang menyimpan potensi kreativitas yang tak terduga. Diskriminasi terhadap berbagai potensi kreativitas anak bangsa seharusnya tidak boleh terjadi di Indonesia karena ibu pertiwi ini adalah tanah tumpah darah yang satu untuk semua anak bangsa.

Suatu keberhasilan dalam mengisi kemerdekaan sangat tergantung pada kekaryaan yang bermutu, bukan ditentukan oleh kekuatan fisik dan kemahiran teknis intelektual semata, tetapi terutama oleh kecintaan menanamkan nilai-nilai kebangsaan secara hakiki. 

Publik menilai pendidikan telah gagal karena pendidikan menjadi semakin konservatif, dan karena hasilnya semakin membekukan nalar dan akhirnya menjadi anti pembangunan. Oleh karena itu, sudah saatnya pembekalan “etik dan etis” melalui penguatan kearifan generasi milenial harus tampil secara gemilang sebagai amanah kemerdekaan kita yang senantiasa harus mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dengan demikian, memasuki tahun baru 2022 ini generasi milenial harus menguatkan nasionalisme yang berkepribadian Pancasila. Meski generasi milenial piawai dalam dunianya digitalisasi namun demikian rasa tenggang rasa, sopan-santun, empaty harus tetap dipegang dan mendarah daging dalam rangka memasuki tahun baru 2022. Dengan demikian generasi muda yang milenial tetap ada keseimbangan dengan kepribadian Pancasila yang harmonis.(*)

Post Author: humas admin