PEREMPUAN PERKASA

Pada pertengahan 2010, anak saya bercerita bahwa Ibu Dr.Eny Irawati menyampaikan kepada teman-temannya di kelas bahwa Pak Dawud adalah super dady. Bu Eny bercerita bahwa walaupun sebagai Dekan, Pak Dawud itu ngepel lantai, mencuci mobil, mencuci motor, belanja di mlijo, dan masak sendiri. Sebutan super dady itu membanggakan hati saya, sekaligus menyadarkan saya bahwa saya sangat kecil dan lemah dibandingkan para ibu atau para perempuan pada umumnya.
Membanggakan karena yang saya lakukan selama ini mendapatkan apresiasi. Ayah kandung saya  memang biasa mengerjakan pekerjaan keseharian itu. Beliau tidak pernah membedakan ini pekerjaan laki-laki dan itu pekerjaan perempuan. Demikian pula yang saya lakukan. Siapa yang sempat belanja, ya belaja; yang sempat menanak nasi, ya menanak nasi. Apalagi, saat itu, saya sebagai ayah single parent setelah kepergian mama kandung Ferril, anak saya.
Penyebutan super dady menyadarkan saya bahwa saya sangat tidak ada apa-apanya dibanding perjuangan dan kedudukan  Ibu. Puisi berjudul Perempuan-Perempuan Perkasa karya Hartoyo Andangdjaja menggambarkan itu. Pada bait ketiga, puisi itu menggambarkan: Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka / mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa / akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota / mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa.
Kedudukan keramat Ibu digambarkan sangat indah dalam puisi berbentuk soneta karya Rhoma Irama, antara lain, dinyatakan: Doa ibumu dikabulkan Tuhan / Dan kutukannya jadi kenyataan / Rido Ilahi karena rido-Nya / Murka Ilahi karena murkanya … Tiada keramat yang ampuh di dunia / selain dari doa ibumu jua//
Saya mempunyai penggalan cuplikan kisah personal yang menggambarkan luar biasa perkasanya perempuan sebagai Ibu: perkasa dalam esensi yang hakiki. Saya yakin, banyak kisah lain dari pembaca yang menunjukkan keperkasaan yang sama, bahkan lebih dari sekedar yang saya kisahkan ini.
1 Suatu sore tahun 70-an, saya diajari mengaji Al-Quran oleh Ibu saya. Saat itu menjelang Pemilu ke-2 (1971).  Gencar sekali aparat pemerintah untuk “memasarkan” (Sekber) Golkar. Seingat saya ada 10 partai, di antaranya adalah Partai Nahdlatul ‘Ulama (Partai NU) yang dianut keluarga saya. Aparat yang paling progresif memasarkan Golkar adalah Bintara Pembina Desa (Babinsa). Ibu mengajari saya mengaji dengan duduk di belakang dampar  (meja rendah). Saat itulah tanpa permisi Babinsa datang langsung masuk duduk di kursi dekat dampar sambil meletakkan kaki kirinya yang bersepatu Lars (tentara) di depan wajah Ibu, dan kaki kanannya yang juga bersepatu Lars di depan wajah saya, menumpang kibat suci Al-Quran. Oknum Babinsa itu mengintimidasi: Ibu harus meninggalka Partai NU dan beralih ke Golkar. Ibu tidak menjawab sepatah kata pun dari intimidasi itu. Tangan kirinya melingkar di leher saya sambil mendekatkan badannya, sedangkan tangan kanannya menghalangi agar sepatu Lars itu tidak mengenai wajah saya (Ya Allah, sampai saat ini batik-lukisan alas sepatu Lars itu masih terbayang jelas di mata saya). Ibu tak perduli, wajahnya semakin ditekan dengan sepatu Lars itu. Untunglah, tidak ada senapan yang meletus saat itu, walau saya tahu Babinsa itu membawa pistol. Usai Babinsa itu pergi, Ibu hanya berkata (dalam bahasa Jawa), yang terjemahan bahasa Indonesianya kurang lebih “Le, sampai kapan pun kamu jangan sampai menjadi pengurus dan pendukung partai kono’ onggrok (Partai Golkar).” Alhamdulillah, sampai sekarang saya istiqamah atas amanat itu.
2 Pada masa menjelang Pemilu ke-2 itu juga, suatu siang, saya dibonceng sepeda angin oleh Ibu melewati bulak (sawah yang sangat luas) menuju ke pengajian yang diselenggarakan oleh NU. Mubalighnya dalah Kyai Yasin dari Blitar. Ibu hadir sebagai anggota Muslimat dan “penasihat” Fatayat tingkat desa. Di tengah bulak, kami dihadang oleh dua orang laki-laki, satu membawa sabit dan satu membawa parang yang mengkilat. Ibu menghentikan sepeda. Kerudung hijau khas NU yang dipakai Ibu dilepas paksa. Satu orang mengalungkan sabit di leher Ibu, satu orang meletakkan parang di tengkuk saya. Salah seorang di antaranya berkata dalam bahasa Jawa yang kalau di-Indonesiakan begini, “Pemilu nanti NU pastik kalah. Aku akan membalas dendam.”. Ibu menjawab, “Lampiaskanlah dendammu sesuka hatimu nanti, tapi jangan kau sentuh anakku.” (Saya dapat cerita dari Ibu bahwa keluarga orang itu di tahun 65/66-an banyak yang dibunuh karena aktivitasnya di PKI). Kira-kira 20 tahun kemudian, saat keluaga perempuan orang mengalungi sabit itu sakit dan sakaratul maut, Ibulah yang dipanggil untuk mendampingi dan menalqinnya. Demikian juga perawatan jenazahnya. Kalau keluarga yang laki-laki, ayahlah yang merawatnya. Penuh perhatian, penuh kasih sayang, dan … TANPA DENDAM.
3 Ketika usia sekitar 18 bulan, anak saya demam, akibat  flu dan efek imunisasi. Saat sakit seperti itu, dia hanya mau digendong oleh mamanya. Sama sekali tidak mau saya gendong. Kira-kira rasanya beda: beda kehangatannya, beda kasih sayangnya, dan yang lebih penting beda ketulusan atau keikhlasannya! Dua hari semalam penuh anak saya tidak mau turun dari gendongan mamanya. Mamanya harus menggendognya dengan tetap berdiri, kalau duduk pasti nangis! Kalau makan sambil menggendong itu sih wajar. Akan tetapi, dia bisa tidur dengan berdiri dan tetap dengan menggendong anak sambil menyandarkan kening beralas tangan di dinding! Sebutan Perempuan Perkasa tidaklah cukup untuk melabelinya! Subhanallah.
4 Tanggal 14 April 2009, Ny. Winihasih Dawud masih memberi sambutan peringatan hari Kartini yang diselenggarakan Dharma Wanita UM. Tanggal 5 Mei 2009 masih mengajar. Tanggal 6 Mei 2009 harus periksa lab di SIMA karena rasa sakit yang tak tertahankan. Hasilnya mencengangkan:  kanker ovarium yang dideritanya berstadium 4a. Berdasarkan referensi yang dibacanya, usia harapan hidupnya tinggal 6 bulan sampai dengan 2 tahun! Luar biasa ketabahannya saat dia mengetahui sejak awal bahwa kanker ovarium yang dideritanya berstadium final dan sangat mengagumkan kekuatan imannya dalam menerima takdi-Nya dengan tetap berikhtiar maksimal sekalipun secara medis sangat kecil peluang untuk mendapatkan kesembuhan dan sangat pendek usia harapan hidupnya. Dia memberi pelajaran moral yang luar biasa tinggi nilainya “Hidup adalah ikhtiar berpindah dari takdir Allah yang satu menyongsong takdir Allah yang lain. Ikhtiar adalah upaya keras  menggapai dan ikhlas menerima apa pun, kapan pun, dan di mana pun karunia takdir-Nya.” Saya tidak tahu bagaimana dia mendidik anak semata wayangnya untuk meneria kenyataan itu. Masih terngiang bisikan anak saya, “Pa, tanpa tangisan, tanpa air mata bercucuran. Alunan detak jantung setiap insan akan berhenti pada waktunya. Takdir ini merupakan jalan kebebasan, kemerdekaan, dan kebahagiaan Mama menuju ke haribaan-Nya. Rencana manusia tidaklah salah, tetapi Allah menambah dan mengurangi di beberapa bagian serta menyempurnakannya. Kesempurnaan manusia ada pada kodratnya sebagai makhluk yang tidak sempurna” di lorong Paviliun Dahlia RSSA Malang pada tanggal 12 April 2010 pukul 16.00 sesaat setelah hembusan nafas terakhir Mamanya.

Selamat memperingati Hari Kartini 2012, wanita Indonesia: Perempuan-Perempuan Perkasa.

Dawud, Fakultas Sastra UM

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.