Sukses, Haruskah dengan IPK Tinggi?

Beberapa hari lagi Universitas Negeri Malang akan melaksanakan wisuda tahun akademik 2009/2010. Mulai dari jenjang D2, D3, S1, maupun S2 mereka yang telah menyelesaikan studinya akan diwisuda pada hari ‘H’ nya nanti. Berkenaan dengan wisuda, di benak kita akan terbersit kata ‘kerja’, mungkin semua yang diwisuda pun akan berfikir itu. “Ke manakah saya setelah diwisuda nanti?” Mungkin mereka akan berkata seperti itu, sebagian lagi ada yang sangat gembira sekali karena sudah mendapatkan pekerjaan atau sudah ada perusahaan yang menunggu kedatangan mereka. Karena kreativitas mereka atau karena IPK mereka di atas rata-rata, sehingga ada beberapa perusahaan yang sudah siap merekrut mereka tanpa syarat ijazah. Dari uraian di atas sebagian orang mungkin bertanya seberapa besarkah pengaruh IPK terhadap kesuksesan seseorang? Karena sebagian besar perusahaan maupun instansi pemerintah pasti akan memberi standar IPK bagi mereka yang mau melamar pekerjaan.

IPK atau indeks prestasi komulatif (GPA or grade point average) merupakan nilai akhir evaluasi seorang mahasiswa selama jenjang perguruan tinggi baik tahap sarjana maupun tahap doktoral. IPK menjadi tolak ukur kecerdasan akademik seseorang dalam bidang tertentu di kampus. IPK yang tinggi pun menjadi sasaran utama mahasiswa-mahasiswa agar memiliki akses yang lebih mudah dalam berbagai hal, dari perihal melamar beasiswa, program pertukaran pelajar, lamaran kerja di perusahaan bagus, melanjutkan jenjang lanjut hingga untuk “memuaskan” diri sendiri, orang tua, ataupun sang pacar.

Namun kita harus mengakui bahwa kita cenderung (bahkan) hidup dalam dunia “dualisme”, selalu menemui hitam di samping putih, ada partikel ada gelombang, ada cinta di balik benci, ada baik di antara buruk, dan begitu juga nilai IPK, ada tinggi ada rendah. Sehingga ketika seseorang memiliki IPK yang tinggi, maka pasti ada orang lain yang ber-IPK rendah. Hal ini semakin jelas tatkala sebagian dosen masih menggunakan sistem distribusi normal ataupun Gaussian dalam memberikan nilai-nilai mata kuliah kepada mahasiswanya.

Sehingga dalam hal ini, jika anda memiliki nilai yang rendah, pada mata kuliah khususnya, dan pada Indeks Prestasi (IP) umumnya, maka anda tidak perlu berkecil hati. Karena IP bukanlah segala-segalanya untuk hidup.  Begitu juga hidup bukan segala-segalanya untuk IP. IP memang penting dalam berbagai aspek, namun IP akan menjadi jauh berarti jika dipadukan dengan nilai-nilai kepribadian super. IP lebih menunjukan kecerdasan inteligensia yang belum cukup berarti dalam kehidupan sosial tanpa disertai kecerdasan kepribadian (emosional + spiritual).

Berapakah “harga” IP?

Dewasa ini, paradigma seseorang (terutama di Indonesia) untuk melanjutkan studi hingga ke perguruan tinggi adalah agar cepat lulus dan mencari kerja. Sedangkan aspek fundamental lain yakni menjadi peneliti (researcher), inventor, ataupun inovator. Seyogyanya seorang sarjana mampu menciptakan lapangan pekerjaan sebagai bentuk kontribusi bagi perkembangan ilmu, teknologi, dan ekonomi masyarakat dan bangsa. Namun, tampaknya banyak perguruan tinggi saat ini memiliki sistem akademik yang cenderung hanya menjadi institusi “penyalur kerja“.

Karena paradigma sebagian besar mahasiswa adalah lulus untuk bekerja, maka timbul pertanyaan, “Seberapa pentingkah IP agar saya mendapatkan pekerjaan? Atau lebih detail lagi, “Seberapa penting IP bagi karir pekerjaan saya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita akan berbicara tentang realita mencari pekerjaan. Sempitnya lapangan pekerjaan dan luasnya job seeker membuat perusahaan-perusahaan semakin selektif dalam menyaring calon karyawannya. Seratusan ribu lebih lulusan sarjana dan diploma tiap tahunnya akan diseleksi dalam beberapa tahap. Tahap pertama adalah seleksi administrasi yakni IPK. Hampir semua lowongan kerja saat ini mensyaratkan pelamar kerja harus memiliki IPK minimal 3.00 (adakalanya 2.75). Jika Anda memiliki nalar dan kecerdasan yang bagus, namun IPK anda dibawah 2.75, maka lamaran anda langsung dibuang jauh-jauh.

Jika anda telah lulus seleksi administrasi (IPK), maka seleksi tahap lanjut adalah psikotes, wawancara, dan adakalanya team building-problem and solving. Dua aspek akhir, wawancara dan problem solving yang komprehensif merupakan ajang menilai kepribadian ++ kita, dari nalar, logika, sikap, skill, dan berbagai aspek problem solving. Aspek inilah yang sangat penting ke depannya ketika kita telah berada di perusahaan.

Hal ini pun telah diteliti secara mendalam oleh National Association of Colleges and Employers (NACE), Amerika Serikat pada tahun 2002. NACE melakukan survei terhadap 457 pemimpin perusahaan mengenai karateristik unggul seorang calon pekerja. Dari survei tersebut, diperoleh 20 kepribadian unggul (Winning Charateristic) lulusan yang paling dicari oleh perusahaan (diurutkan berdasarkan skor tertinggi) yakni sebagai berikut :

  1. Kemampuan Komunikasi
  2. Kejujuran/Integritas
  3. Kemampuan Bekerja Sama
  4. Kemampuan Interpersonal
  5. Beretika
  6. Motivasi/Inisiatif
  7. Kemampuan Beradaptasi
  8. Daya Analitik
  9. Kemampuan Komputer
  10. Kemampuan Berorganisasi
  11. Berorientasi pada Detail
  12. Kepemimpinan
  13. Kepercayaan Diri
  14. Ramah
  15. Sopan
  16. Bijaksana
  17. Indeks Prestasi (>=3.0)
  18. Kreatif
  19. Humoris
  20. Kemampuan Berwirausaha

Dari 20 karateristik unggul, “harga IP” jauh di bawah “harga kemampuan komunikasi”, bekerja dalam tim, etika, kejujuran. Tampaknya kejujuran lebih mahal daripada IP dalam dunia pekerjaan. Dalam hal ini, IP hanyalah menjadi kunci utama memasuki dunia kerja (sebaiknya di atas 2.75 atau bisa di atas 3.0 ). Namun setelah pintu telah terbuka, maka kunci IP sudah tidak dinilai tinggi lagi. Nilai-nilai kepribadian mentallah yang menjadi tolak ukur kita dalam meniti karir jangka panjang. Jadi, nilai IP hanya membawa short term succes (menjembatani dunia kerja), bukan long term succes (karir jangka panjang).

Perpaduan Inteligensia (IQ) dan Kepribadian (EQ)

Dari 20 karateristik unggul yang dirilis oleh NACE, dapat dibagi dalam dua bagian yakni bagian hijau dan bagian merah. Karateristik warna hijau merupakan karateristik yang lebih mengandalkan kekuatan kepribadian mental atau emotional quotient (EQ), sedangkan warna merah lebih mengandalkan kecerdasan nalar dan logika (IQ). Dari 20 karateristik tersebut, ternyata warna hijau alias EQ lebih dominan menentukan kesuksesan seseorang dibanding kekuatan IQ-nya dalam hal ini IP. Jadi, EQ kelihatannya memang jauh lebih penting dibanding IQ. Namun, ini bukan berarti IQ tidak penting. IQ dan EQ merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Jadi kecerdasan IQ yang direpresentasikan IP bukanlah tolak ukur utama keberhasilan kita dalam dunia kerja khususnya maupun dunia kehidupan kita secara umum. Dalam kecerdasan IQ, hal yang sangat diperlukan adalah ketajaman nalar, logika, inovasi, dan kreasilah yang akan digunakan sepanjang hidup kita. Umumnya nilai kecerdasan nalar, logika, inovasi berbanding lurus dengan nilai IP (namun tidak selalu).

Menjadi Pribadi Sukses

Jika kita membaca hasil penelitan NACE tersebut dan disertai dengan sejumlah cerita keberhasilan orang-orang super, maka selalu ada kata kunci yang selalu mereka sampaikan yakni kerja keras, dorongan (motivasi), doa, integritas, dan disiplin yang semuanya merupakan kecerdasan mental. Sedangkan kecerdasan IQ atau bakat bukanlah senjata utama mereka yang telah sukses. Banyak entrepreneur yang sukses tanpa menyelesaikan pendidikan formal seperti Bill Gates, Matthew Mullenweg, Eka Cipta, Sudono Salim, Tukul, dan masih banyak lagi.

Mereka berhasil, karena mereka berusaha dan bekerja keras dengan pekerjaan mereka, terutama pekerjaan yang disukainya. Mereka bekerja tanpa ada desakan atau ancaman, namun mereka bekerja dengan semangat dan sukarela. Hal-hal ini menimbulkan emosi-emosi positif yang akan mentriger kecerdasan emosional kita. Nilai-nilai positif ini akan muncul dan dapat mempengaruhi kecerdasan inteligensia kita. Jika batin dan emosi kita lagi ceria dan bahagia, maka sangat mungkin sekali timbul ide, nalar, ataupun kreasi yang unik dan dashyat.

Pergunakan waktu untuk membentuk mental atau emosi positif, baik anda sebagai mahasiswa ataupun telah bekerja. Karena emosi positif (integritas, communication skill, etika, sopan) merupakan kunci-kunci yang membawa sukses dan menguatkan kecerdasan nalar dan logika sehingga dapat berkembang lebih baik. Dan meskipun anda bukan lulusan sarjana ataupun diploma, anda pun dapat menjadi pribadi sukses. Karena sukses bukan semata dari sertifikat IP yang tinggi dari kampus.

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.