Surat Cinta untuk Istriku

Suara Hati Laki-laki

Cerpen Karkono Supadi Putra*

 

 

Istriku, aku datang dengan kembang setaman,

ke atas altar pemujaan khusuk munajatmu.

 

Aku terpana! Sepasang mata berbingkai bulu lentik hitam berkilau di depanku. Aku tatapi sekilas lalu. Serasa kutemukan telaga yang begitu bening, ingin rasanya aku berenang di dalamnya, merasai sejuk kecipak airnya. Begitulah, apa yang selalu aku rasa kala menatap matamu, istriku. Aku selalu kalah jika ingin berlama menahan tatapan, bak api menyerah pasrah pada hujan. Aku seperti tak layak menjadi insan yang begitu leluasa menikmati telaga bening itu. Lalu, aku seperti terjebak pada pusaran yang begitu deras dan siap menenggelamkanku. Sepasang mata itu menyimpan keindahan keteduhan hati sang empunya.

Istriku, betapa aku harus selalu bersyukur bisa memilikimu, merengkuh bahtera hidup bersamamu. Engkau ibarat oase di sahara kegersangan jiwaku. Bak bunga-bunga yang indah mekar di sunyi sabana hidupku. Kau laksana sang rembulan yang merekah jumawa dalam malam gelapku.

Dan aku? Akulah anak kecil yang tiba-tiba menyungging senyum ketika dibelikan mainan oleh bundanya. Akulah petani yang memahat tawa kala melihat penennya berlimpah. Akulah nelayan yang riang ketika menjelang senja pulang membawa banyak ikan. Akulah insan yang beruntung bisa menjadi suamimu, istriku.

 

Istriku, aku datang bersama kuas lengkap dengan tinta aneka rupa,

ke atas kanvas keluasan jiwamu.

 

Kata-kata pun serasa tak pernah usai untuk melukiskan rasa bahgia ini. Tarian pena tak akan pernah kasip untuk mendendangkan tembang-tembang cinta penuh pendar aneka warna. Lalu, serasa ada bayu yang melambung-buaikan anganku, mengembarakanku pada sebuah taman penuh bunga aneka rupa yang hanya ada bahgia bertahta di sana. Akulah insan yang begitu berbahagia bisa menjadi belahan jiwamu.

Selama ini, dalam pusaran waktu menjalani hari bersamamu, semakin aku merasa bahwa engkaulah anugerah terindah dalam hidupku. Engkau yang dengan sabar membimbing langkahku, tanpa jemu mengingatkanku, menyalakan api semangatku, memahami dan meredam gejolak emosi yang seringkali luput dari kendaliku. Ah, sungguh tak tahu dirinya aku jika rasa syukur tak selalu singgah di sanubariku.

 

Istriku, aku datang membawa kendi penuh isi,

menuju jamban beraroma bunga tujuh rupa.

 

Istriku, jika malam ini air mataku tumpah, bukan sebab semata aku begitu merindukanmu yang saat ini jauh dari rengkuhku. Tapi lebih pada betapa beruntungnya nasibku bisa merasai meniti hari bersamamu, merengkuh bahtera pernikahan denganmu. Istriku, sungguh saat jauh dari sisimu seperti malam ini, hatiku serasa teriris sembilu. Rasa tak tega meninggalkanmu di pondok kecil kita di kota bunga Malang, hanya bersama buah hati kita. Sementara aku di sini, meniti hari di rantau demi ilmu, berjibaku dengan buku, demi masa depan kita bersama: aku, kau, dan buah hati kita.

Ah, istriku. Jika ada di antara kita yang sering berlinang air mata meratapi keadaan ini, pastilah itu aku. Aku ibarat kupu-kupu kertas, yang sepintas lalu terlihat kukuh dan berseri, akan tetapi begitu ringkih dan rapuh bila tersentuh, apalagi diterjang deras air hujan. Tidak seperti kau, yang begitu tegar dan sabar. Aku banyak belajar darimu, istriku. Belajar tentang keikhlasan, kesabaran, keyakinan penuh pada kuasa-Nya. Seringkali aku yang selalu mengkhawatirkanmu bila jauh dariku, atau buah hati kita yang badannya sesaat panas karena peralihan cuaca, namun engkau dengan tenang meyakinkanku bahwa Allah-lah yang menjagamu dan buah hati kita. Bagaimana aku tak bahagia mendengarnya.

 

Istriku, aku datang dengan serinai seruling,

ke atas pentas cakrawala penuh legenda.

 

Ah, istriku. Mengenangmu di sunyi malam seperti ini, ternyata membuatku menyungging senyum. Aku masih begitu ingat istriku, kala aku hendak meminangmu, belum genap tiga tahun ini. Sungguh, skenario Allah itu begitu indah, tanpa pernah dapat kureka sebelumnya. Tak pernah aku membayangkan dalam hari-hariku sebelumnya, bahwa pada akhirnya aku harus meniti hidup di kota bunga nan indah, Malang. Dan di kota itu pulalah kita dipertemukan. Sebuah pertemuan yang teramat istimewa untuk kulukiskan, yang sering jika aku megingatnya, aku serasa tak sanggup mempercayainya, bahwa itu terjadi padaku, insan yang begitu banyak noda ini.

Istriku, pernah memang aku berangan sebelumnya, aku ingin menikah dengan wanita yang sebelumnya aku belum pernah melihat wajahnya, belum pernah mendengar suaranya, belum pernah bertutur sapa apalagi bercengkerama mesra dengannya. Namun, sanggupkah aku mewujudkan anganku itu? Rasanya aku terlalu tinggi memiliki angan-angan itu. Entahlah, kala itu aku hanya merasa terlalu berlumur dosa di masa silam, hingga seperti ada sebongkah keinginan untuk menebusnya. Entah dengan jalan apa. Lantas, berbelesatan dalam jiwaku beragam angan. Menikah. Ya, menikah adalah salah satu fase penting dan sakral dalam hidup manusia. Satu keputusan besar yang tidak bisa dijadikan permainan. Lalu, aku ingin menjadikan momen pernikahan dalam episode hidupku adalah bagian dari anganku itu. Untuk menunjukkan kepatuhanku pada-Nya, yang pada akhirnya, bisa mengikis lumpur yang melumuriku.

Dan, sekadar engkau tahu istriku, aku melihat sosokmu, sebelum engkau resmi menjadi istriku, cukup sekali sekilas dalam desiran hati yang beradu rasa gugup di sebuah senja di bulan ramadhan. Saat kita dipertemukan dalam mimbar ta’aruf yang mendebarkan. Cukup sekali bersua, mengurai sedikit tanya, lalu mendamba kemantapan jiwa, bermuara pada keyakinan, bahwa Dia-lah yang mempertemukan kita. Kita pun saling sepakat meretas jalan pernikahan yang sakral nan indah.

Sungguh, tak tahukah engkau istriku, serangkum bahgia tak sanggup lagi kuucap dalam kata, kala itu. Entahlah, aku serasa menemukan menara. Ibarat pendaki yang mencapai puncak. Laksana narapidana yang baru saja mendapat putusan bebas. Aku telah menggenapkan separuh dien, dalam naungan indah di jalan-Nya. Itulah, satu fase dalam episode kehidupanku ketika aku bisa merasa menjadi pemenang. Aku serasa tak percaya bisa mendapat kesempatan mewujudkan angan itu.

 

Istriku, aku datang dengan serumpun bunga,

masuk di taman yang hanya ada bahgia bertahta di sana.

 

Seiring berjalannya waktu, aku merasa cinta di antara kita perlahan tapi pasti kian bersemi. Belum terlupa wanginya kembang pernikahan, masih terlukis beragam keceriaan saat pesta dilangsungkan, dan ketika dua hati saling menyelam dan rentang masa satu bulan, berita bahgia serasa kian memenuhi ruang hati kita: engkau telat mendapat tamu bulanan. Dan aku begitu girang karenanya. Saat belum usai hatiku mengenyam bahgia bisa menikah denganmu di jalan yang indah, Dia semakin menambah nikmatnya dengan kehamilanmu.

Sepuluh bulan setelahnya, hadir di tengah mahligai pernikahan kita, seorang buah hati yang semakin melengkapi kebahagiaan kita. Bayi mungil laki-laki yang lahir dari pernikahan kita yang indah, yang dinaungi doa-doa dari jiwa suci para undangan yang datang di pernikahan kita.

 

Istriku, aku datang dengan kembang setaman,

ke atas altar pemujaan khusuk munajatmu.

 

Malam ini aku ingin datang dalam indah peraduanmu. Hadir dalam mimpi tidurmu, lalu berbagi cerita bersamamu. Mengurai beragam rasa, menyemai sejuta asa. Ahh, ternyata banyak sudah peristiwa terlewati, kenangan indah terukir rapi yang tak cukup berhenti sebagai memori, tetapi akan selalu menjadi inspirasi di kemudian hari.

Istriku, jika penaku menari, bukan sebab aku tak sanggup mengungkapkan semua secara langsung kepadamu. Tapi sebab, seperti kita tahu bahwa rasa bahasa antara tulis dan lisan tentulah berbeda. Sebab, pada kenyataannya banyak hal yang terlewat dari ingat yang tak dapat aku ungkap sebelumnya. Ternyata banyak hal istimewa yang tak aku sadari sebelumnya. Istriku, beribu maaf dariku tulus aku haturkan jika dalam rentang waktu kebersamaan kita aku masih banyak diliputi khilaf. Istriku, aku datang dengan kembang setaman, ke atas altar pemujaan khusuk semedimu. Kembang setaman penuh sesak rangkain kata-kata yang kesemuanya bermuara pada sebuah kalimat indah yang ingin kuhadiahkan padamu sebagai satu lagi tanda cintaku padamu. Aku teramat mencintaimu karena dengan mencintaimu aku semakin menjadi lebih mencintai-Nya.

“Mas, tanpa kamu tulis atau kamu ucapkan, aku sudah tahu kalau kamu teramat mencintaiku…” suara istriku mengagetkanku yang terpekur di depan layar komputer. Aku palingkan wajahku, lalu menatap utuh keberadaannya. Aku hanya tersenyum menanggapi kata-katanya. Berkali-kali aku meyakinkan diriku: wanita yang berdiri di depanku ini adalah istriku.

 

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.