TINDAK BAHASA

Dalam komunikasi, penggunaan bahasa sangat ditentukan oleh faktor-faktor penentu komunikasi (antara lain: latar tutur, partisipan tutur, tujuan tutur, media tutur). Perhatikan dua contoh berikut ini.
(1)   “Kelas ini bersih sekali” sebagai kalimat berita yang dituturkan oleh wali kelas kepada piket kelas dan kondisi kelas memang bersih dari kotoran, maka (a) makna proposisi tuturan itu adalah ‘kelas yang bebas dari kotoran’, (b) fungsi tuturan adalah memuji kerja anggota piket, dan (c) tujuan tuturan adalah agar anggota kelas mempetahankan kebersihan itu.
(2)   “Kelas ini bersih sekali” sama-sama sebagai kalimat berita yang dituturkan oleh wali kelas kepada piket kelas, padahal kondisi kelas kotor, maka (a) makna proposisi tuturan adalah ‘kelas ini kotor sekali’ (kebalikan dari makna harfiahnya), (b) fungsi tuturan itu menyindir karena tuturan dan kondisi riilnya berkebalikan, dan (c) tujuan tuturan agar piket segera membersihkan kelas itu.
Pada contoh tersebut, bentuk/modus tuturan sama, tetapi makna proposisi, fungsi komunikasi, dan tujuan tuturan adalah berbeda.
Sebaliknya, bentuk dan makna proposisi tuturan berbeda bisa memiliki fungsi dan tujuan yang sama. Berikut dua dialog lisan via telepon yang dilakukan oleh SUP dengan DW (Dialog I) dan ROF dengan DW (Dialog II).
Dialog I
SUP: “Dik, saya kirim draf  Peraturan Rektor. Kalau ada waktu, dibantu mencermati.
DW : “Iya, Pak, saya kerjakan”.
 
Dialog II
ROF: “Mas, proposal kita akan dibahas dengan tim hukum Jumat ini. Proposal kita belum belum tuntas. Mendesak begini, piye Mas?
DW : “Ok. Saya kerjakan”.
Pada Dialog I, tuturan “Kalau ada waktu, dibantu mencermati.” merupakan bentuk/modus tuturan berita dengan kalimat pilihan terbuka (kondisional); dan pada Dialog II, tuturan Mendesak begini, piye Mas? merupakan bentuk/modus tuturan pertanyaan. Walaupun bentuk dan makna proposisi tuturan itu berbeda, tetapi fungsi dan tujuannya adalah sama, yakni fungsi instruktif (perintah) dan mitra tutur harus melaksanakan perintah itu. Oleh karena itu, jawaban mitra tutur sama: Iya/Ok, saya kerjakan. Sangat tidak layak, misalnya, DW menjawab “Tidak ada waktu Pak”; dan “Ya nggak tahu, terserah Bapak saja” pada kedua dialog tersebut. Pemahaman makna proposisi, fungsi komunikasi, dan tujuan tuturan seperti itu didasarkan pada pemahaman faktor penentu komunikasi yang menyertai tuturan, yakni faktor kedudukan penutur, yakni atasan (Rektor (SUP), Wakil Rektor (ROF), bawahan (Dekan(DW), teman;  topik tutur, yakni tugas kedinasan; dan situasi tutur, yakni situasi informal.
Pada dasarnya, bertutur berarti melakukan tindakan. Dalam performansi tuturan, terdapat tiga tindak tutur: (1) tindak lokusi, yakni bertutur itu berarti menyampaikan makna proposisi tuturan; (2) tindak ilokusi, yakni bertutur itu memperformansikan fungsi bahasa tertentu; dan (3) tindak perlokusi, yakni bertutur itu mempengaruhi penanggap tutur untuk melakukan sesuatu.
Saya bersyukur memiliki bawahan yang memahami betul tindak bahasa tersebut. Berikut beberapa dialog riil sebagai contoh.
(1)   Ketika saya mengatakan “Mas Faul, di ruang sidang AC-nya nyala, tapi udara terasa agak panas,” dengan cepat Mas Faul menjawab “Baik Pak, saya ceknya”.
(2)   Ketika saya bertanya “Bu Lely, apakah data IP mahasiswa di bawa 2 sudah ada?”, dengan tangkas Bu Lely menjawab “Segera saya siapkan/kirimkan ke Bapak.”
(3)   Ketika saya berkata ke Mas Doni, “Mas Doni, saya akan ke Balaikota. Kunci sedan Altis ada di Mas Doni atau Mas Faul?” Mas Doni menjawab, “Ya, Pak. Saya minta Mas Agung ambil Altis dari garasi.”
(4)   Ketika malam hari saya SMS Mas Akidah , “Mas Akidah, Selasa depan saya dapat tugas dinas ke Jakarta,” Mas Akidah menjawab, “Tiket segera saya pesankan Pak. Senin, inysa-Allah saya serahkan ke Bapak.”
Bentuk tuturan apa pun dari saya sebagai dekan tentang urusan kedinasan, mereka menjawab dua kemungkinan saja, yakni (a) “iya, siap, baik, saya kerjakan,” yang bermakna bisa dilaksanakan; (b) “saya coba dulu”, “saya usahakan dulu” yang bermakna masih ragu-ragu, tidak ada, atau sulit dilaksanakan. Tidak ada dalam kamus mereka “tidak siap, tidak tahu, tidak bisa, tidak mau”. Mereka pasti berusaha dulu. Kalau sudah berusaha ternyata tidak bisa atau tidak ada, barulah mereka melaporkan kepada saya, dan biasanya dengan berbagai alternatif solusinya.
Teman-teman saya di Pusat TIK memiliki karakteristik yang relatif sama. Akan tetapi, dengan gradasi jawaban yang lebih banyak.
(1)   Kalau Mas JF menjawab, “Ya, Pak. Siap. Bisa”, maknanya adalah bisa dan cepat.
(2)   Kalau Mas Rijal menjawab, “Ya, Pak. Saya cobanya”, maknanya adalah bisa, tetapi perlu waktu lebih lama.
(3)   Kalau Mas Iwan menjawab, “Ya, Pak. Logikanya bisa,” maknanya adalah bisa, perlu waktu yang lebih lama lagi.
(4)   Kalau Mas Fahmi menjawab, “Ya, Pak. Saya kerjakan dulu Pak. Saya belum pernah mengalami ini Pak. Teorinya pun belum pernah saya baca,” maknanya adalah kemungkinan berhasil dan kemungkinan tidak berhasil.
Teman-teman di Pusat di TIK tidak pernah menjawab di awal dengan ungkapan “tidak siap, tidak tahu, tidak bisa, tidak mau”.
Ada tiga jenis komunikasi kedinasan dalam urusan dinas dan kelembagaan, yakni konsultatif (bawahan ke atasan), koordinatif (sesama pejabat atau staf), dan instruktif (atasan-bawahan). Draf Peraturan Rektor yang saya buat atas permintaan lisan atau SMS Pak Suparno adalah usulan (misalnya, draf itu dibahas, dipakai, diperhatikan, diabaikan atau dibuang oleh Rektor, saya tidak boleh protes). Sesama kasubbag saling koordinasi dalam mengerjakan tugas-tugas yang diamanahkan oleh Kabagnya. Dekan mengajukan pertanyaan kepada staf di mana kunci ruang sidang, pertanyaan itu berarti perintah mengambil kunci ruang sidang, membukanya, membersihkannya, dan menyiapkan alat-alatnya. Sangat naif kalau dijawab dengan kalimat “Tidak tahu Pak” apalagi ditambah dengan kalimat “Kunci bukan urusan saya”.
 
Malang, 18 November 2014
Dawud
Fakultas Sastra UM

Post Author: humas admin