[selesai] BAKAL CALON REKTOR

Beberapa hari terakhir ini selalu saja ada pertanyaan dari setiap perjumpaan dengan rekan-rekan tentang siapa ya kira-kira pimpinan kita ini untuk periode berikutnya?.  Tidak bisa dipungkiri pergantian itu pasti akan terjadi seiring dengan berjalannya waktu, rodapun berputar pada porosnya, segala sesuatunya tidak ada yang langgeng.  Semoga saja pergantian pemimpin ini nantinya dapat berjalan dengan damai tanpa adanya ‘atmosfir hangat’ yang menyelimuti udara segar seputar kampus yang sejuk dengan hijau daun yang telah mulai rimbun disana-sini.
Pergantian pimpinan sebuah perguruan tinggi, kemungkinan tidak jauh berbeda layaknya dengan pemilihan kepala daerah, biasanya syarat dengan kepentingan, tidak terlepas dari ‘perang statement’, atau perkubuan, ini bisa dimaklumi, karena begitu “seksinya” jabatan Rektor.
Tahun 2014 ini, Universitas Negeri Malang (UM) tercinta ini telah mulai menggelar pencarian bakal calon rektor untuk masa bakti 5 tahun (2014 – 2018).  Jabatan rektor, semoga bukanlah jabatan seperti dalam pentas politik yang seringkali menggunakan berbagai cara dalam mendapatkan jabatan dengan tujuan untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan golongan sendiri.   Dari hal tersebut, jangan ada yang merasa takut kalau ada rekan-rekan yang maju, kemudian jangan melakukan manuver, hingga seolah-olah ada upaya untuk menjegal calon tertentu, misalnya, untuk memuluskan diri, dan atau orang lain peluangnya menjadi semakin sedikit.
Para kontestan adalah calon pemimpin seperti seorang ayah yang melindungi dan mengayomi dalam sebuah rumahtangga, ibaratnya para “begawan”, selayaknyalah pemilihan bakal calon menjunjung tinggi etika sehingga tidak “merusak iklim” dalam konteks akademik yang memiliki beban moral dan intelektual.
a.  Mudahkan Urusan Orang Lain
Syarat untuk menduduki jabatan Rektor tidak dibuat untuk menyulitkan, karena setiap orang memiliki maqomnya masing-masing, secara alami akan terseleksi sendiri pada saat pemilihan.  Mudahkanlah urusan maka engkau akan dimudahkan.  “Sesungguhnya Allah akan menolong seorang hamba-Nya selama  hamba itu menolong orang yang lain“. (Hadits muslim, abu daud dan tirmidzi)
Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW, bersabda: “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat.  Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat.  Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba Nya itu suka menolong saudaranya”. (HR. Muslim, lihat juga Kumpulan Hadits Arba’in An Nawawi hadits ke 36).
b.  Jeleknya meminta jabatan
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata, “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintah dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya di akhirat. Oleh karena itu, seseorang dilarang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/469)
c.  Pemimpin yang Kuat dan Dapat Dipercaya,
Kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dalam memimpin sebuah bahtera dilautan yang luas dan penuh ombak menerjang, dan amanah (dapat dipercaya).  “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (al-Qashash: 26)
d.  Ambisi yang Kelak Menjadi Penyesalan.
Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wata’ala.  Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan, khususnya jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) serta kesenangan dunia lainnya.  Sungguh benar sabda Rasulullah n ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 7148).
Kepemimpinan adalah amanat, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanat. Tentu yang namanya amanat harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya.
e.  Tidak Boleh Meminta, dan Berambisi
Sebuah jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya (mengajukan diri) dan berambisi untuk mendapatkannya.  Abu Musa berkata, “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam.  Maka salah seorang dari keduanya berkata, ‘Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah’.  Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam:  “Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)
Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam, pernah menasihatkan kepada Abdurrahman bin Samurah:  “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah Subhanahuwata’ala dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” (HR. al-Imam al-Bukhari t dalam Shahih-nya no. 7146 dan no. 7147).
Didapatkan riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari, Ia berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda: “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (Sahih, HR. Muslim no. 1825).
Hikmah dari hadist tersebut di atas, kata para ulama, adalah apabila ada orang yang memangku jabatan karena permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada Abdurrahman bin Samurah di atas, ”Bila engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah Subhanahu wata’ala dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Tidak mungkin suatu jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap. (Syarh Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari, 13/133, Nailul Authar, 8/294)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apapun. Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta jabatan tersebut dalam rangka wara’ dan kehati-hatiannya, karena jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/470)
Sungguh benar sabda Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 7148)
Betapa tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, akan menjadi lebih memudahkan dirinya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, dan penghormatan dari orang lain.  Kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, dan menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai, kemewahan serta kemegahan.
Harapan saya, masing-masing bakal calon menilai nuraninya sendiri sebelum kelak akhirnya akan menjadi sebuah penyesalan, apakah termasuk yang meminta/mengusulkan diri dalam pencalonan ini?

Noor Farochi – UHTBMN BUK

Post Author: humas admin

Comments are closed.