KARENA DAN UNTUK YANG TERCINTA

Pada setiap amal ibadah, tiga unsur memegang peran penting, yakni niat, prosedur, dan substansinya. Niat harus benar, prosedur harus benar, dan substansi/zatnya harus halal.
Tiga ilustrasi sederhana berikut dapat digunakan untuk menjelasan hal tersebut. Pertama, seseorang berhaji untuk memenuhi rukun Islam (niat benar), dengan berdagang (prosedur perolehan harta benar), yang diperdagangkan babi (substansi/zatnya haram), berarti ibadah hajinya tidak benar. Kedua, seseorang bersedekah untuk meringankan beban tetangganya yang kesulitan hidup (niat benar), yang disedekahkan uang (substansi/zatnya halal), uang itu diperoleh dari korupsi (prosedur perolehan haram), berarti ibadah sedekahnya tidak benar. Ketiga, saudagar peternakan sapi kaya raya (prosedur usaha benar, substansi/zat yang diupayakan halal) berzakat supaya dikenal sebagai orang dermawan (niat salah), berarti ibadah zakatnya tidak benar.
Dalam konteks ibadah puasa Ramadlan, niat berperan dalam menentukan tingkatan puasa kita.
Pertama, puasa Ramadlan merupakan upaya untuk memenuhi syariat Islam, yakni menjalankan salah satu rukun Islam.  Puasa Ramadlan sebagai upaya menggugurkan kewajiban sebagai seorang muslim. Puasa Ramadlan dimaknai sebagai amalan menahan diri untuk tidak makan, tidak minum, dan tidak “melakukan hubungan suami-isteri” dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Pada tahapan ini, niat dan amalan ibadah puasa telah memenuhi syarat sah puasa.
Kedua, di samping terpenuhi syar’i puasa, seseorang berpuasa Ramadlan dengan meningkatkan upaya dan amalan utama (misalnya, tetap kerja dengan keras, tetap banyak membaca dan terus menulis tentang ayat manziliyah dan atau kauniyah) dan menghindari atau menjauhi amalan yang mengurangi bahkan menghilangkan keutamaan ibadah puasa (misalnya, berkata kotor, menggunjing). Meskipun menggunjing dan berbohong tidak membatalkan puasa secara syar’i, seseorang itu menghindarinya. Puasa orang tersebut mendapatkan fadlilah ‘keutamaan’ puasa.
Ketiga, secara hakiki, yang mengetahui bahwa seseorang itu puasa atau tidak hanyalah dirinya dan Allah. Seseorang dapat menampilkan secara lahiriyah puasa, padahal sejatinya baru saja makan atau minum, misalnya, yang membatalkan puasa. Saya teringat di masa kecil saya, saat saya berlatih puasa. Saat itu, saya kelas 2 sekolah dasar. Pulang sekolah, saya harus mencari rumput dan menggembala sapi di “padang”  di kaki Gunung Wilis. Saat itu, luar biasa panasnya. Untuk salat dhuhur, saya berwudlu di pancuran bambu belah untuk mengalirkan air dari sela-sela batu, saya pun minum. Segar sekali. Meskipun tidak ada yang tahu, tenyata ada penyesalan: (1) ah ternyata rasanya setelah minum hanya begini, mengapa tidak saya tahan; dan (2) ah saya mampu membohongi Bulik dan Nenek saya, tetapi saya tidak bisa membohongi diri saya. Allah ada. Allah mengawasi kita. Allah bersama kita. Puasa sebagai pengokoh iman.
Keempat, di siang bolong, penyair sufi Rabi’ah Al-‘Adawiyah berlari-lari dengan membawa ember berisi air di tangan kanan dan obor di tangan kirinya. Dia katakan kepada orang yang bertanya alasan melakuan itu “… akan aku padamkan api neraka dengan air di ember ini dan akan aku bakar surga dengan obor ini … karena manusia beribadah hanya menginginkan surga dan takut masuk neraka … manusia beribadah bukan karena dan untuk Allah semata …” Substansinya, Allah-lah yang TERCINTA. Oleh karena itu, segala amal ibadah kita, termasuk puasa Ramadlan, hanya KARENA DAN UNTUK YANG TERCINTA—ALLAH Yang Maha Mulia, ALLAH Yang Maha Suci.
 
Malang, 24 Juli 2012
Dawud
FS UM

Post Author: humas admin