sudah siap menghargai profesi kurator?

pertanyaan menggelitik itu muncul kembali. apa kita sudah siap menghargai profesi kurator? karena kurator hanya perlu ada, jika ada satu orang atau sekelompok pemamer karya. artinya jika sudah ada para pencipta karya. dan ada komunita yang siap diajak bicara tentang karya. tentu saja, ada media pamernya.

kurator tidak perlu ada jika belum ada ruang pamernya, dan belum ada para pemamernya.

bisa jadi, kampus kita sudah belasan tahun memiliki jurusan Seni. berarti sudah belasan tahun menghasilkan para pencipta karya seni. tapi faktanya, jangankan bicara tentang galeri, bicara tentang komunitasnya saja, belum nampak para apresian karya yang terdengar garang menyuarakan apresiasinya. menjadi peserta lomba, bukanlah sebuah bentuk kegiatan yang membuat pesertanya sah disebut sebagai apresian kan?!

selain belum memiliki suara komunita yang membahana di luar kampus, boleh jadi sepinya kegiatan berapresiasi seni di kampus kita adalah karena kita belum juga siap bicara tentang seni.

dasar kesimpulan tersebut didapat dari mana? lha monggo. mari kita cari komunita (tempat dan orang-orang) yang garang bicara tentang karya yang dihasilkan oleh kampus kita. dimana ya?

jangan cuma mengkritik, begitu nada protes membahana.

andai saya diminta untuk mencari akar masalahnya secara metodis. Saya kok merasa, pembicaraan ini akan makin masuk ke arena kritik yang semakin tajam saja. pertanyaan sederhanannya, kapankah bapak ibu yang ada di gedung A mengunjungi kami di gedung E demi melihat karya?

kami selalu wajib pameran setiap akhir semester. lalu membuat laporan. maka pasti ada dokumentasinya. catatan tentang karya siapa yang keren, karya siapa, seperti apa, yang bagaimana, yang disebut sebagai biasa saja.  atau, tepatnya, tidak usah dipamerkan di luar lah.

jika ‘orang tua’ nya saja tidak pernah menilik perkembangan anak anaknya, bagaimana si anak membuktikan kehebatan daya nya? Maka ketika kampus mengadakan lomba desain dan dibuka untuk orang luar, lalu si anak membatalkan niatnya untuk ikut menjadi partisipan, ya wajar kan?!

bukankah sebuah kegiatan bernama lomba, baru dibutuhkan, jika anggota rumahnya tidak bisa memberikan supplai karya?

wajar jika para calon desainer di gedung E menjadi disrespect pada kegiatan tersebut. karena langsung atau tidak langsung, itu adalah sebuh penghinaan.

dan itu baru bicara tentang tidak adanya kegiatan berapresiasi, di ‘dalam rumah’ saja.

 

maka, apakah kita, UM ini sudah siap menghargai profesi kurator? masih jauh dari kondisi idealnya.

bagaimana jika kita mulai membuat dulu komunitanya. dimulai dari membiasakan bapak ibu di gedung A, berkunjung ke gedung E jika kami memamerkan karya. lalu membuatkan ruang yang nyaman untuk memajang karya secara bergantian. membangun lingkungan kondusif untuk berapresisasi dari tingkat yang paling sederhana. yang dengan sendirinya akan menumbuhkan customer behavior yang patut untuk dianalisa dan dijadikan patokan penelitian tentang berapresiasi dan berkesenian. sehingga penyusunan kurikulum pengajaran seni dan desain tidak akan pernah lagi berdasarkan perkiraan. dan sebagainya dan seterusnya.

bagaimana jika kita mulai saja?

sehingga ketika ke gedung baru, bapak ibu yang memilih dan memutuskan pemasangan sign system di sana bisa menimbang, apakah sistem penandanya, memang jauh lebih keren dari karya anak anaknya?

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.