JOKOWI DARI UM

JOKOWI DARI UM
Oleh: Djoko Rahardjo*

Wajah sebagian lembaga survey Indonesia saat ini babak belur bagaikan dihantam oleh jotosan para petinju. Keberadaannya persis seperti sansak yang dipukul berkali-kali, dan tak ada perlawan sama sekali. Tidak hanya itu, sudah dipukul ditendang lagi! Nampaknya…,  pelaksanaan Pemilihan  Umum Daerah (Pemilukada)  Calon Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012 mejadi pelajaran  yang sangat berharga bagi masyarakat Indonesia, khususnya para “petaruh” yang menjagokan salah satu pasangan. Kali ini kita tidak sedang membahas “kegagalan” beberapa lembaga survey yang telah mengumumkan hasil survey sebelumnya. Pada kesempatan ini, penulis mencoba mengangkat cerita dari masyarakat papan bawah (grass root) tentang isu hangat “kemenangan” Jokowi di putaran pertama.

Matahari pagi bersinar cerah di atas langit Bandar Udara Soekarno-Hatta Cengkareng telah menyambut kedatangan  para penumpang Sriwijaya Air yang berangkat  pertama  dari Bandara Udara Juanda, Sodoarjo. Satu-persatu penumpang turun dari tangga pesawat, salah satu dari penumpang tersebut ada seorang caraka (pengantar surat) dari Universitas Negeri Malang. Hari itu, Jumat tanggal 13 Juli 2012, caraka tersebut diberi tugas mengantar surat ke Direktur Utama PT Pertamina (Persero) dan ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Seperti hari-hari sebelumnya, kepadatan arus lalu lintas di sekitar halaman parkir  sudah mulai terasa.  Tidak terlalu salah bila sebagian penumpang memilih Bus Damri untuk meneruskan perjalanan. Sebab, hari itu arus lalu lintas dari bandara ke arah kota padat merayap. Percuma saja naik taksi sedan dengan ongkos yang lebih mahal. Toh sama saja, macet!

Bus Damri berhenti di halaman parkir Stasiun Kereta  Api Gambir.

“Naik taksi Pak?”

Sambil membetulkan tas punggung, aku menjawabnya, “Tidak!”

Beberapa petugas parkir dan tukang ojek, sambil mengacungkan jempol tangan kanannya ke arahku—dan berteriak lantang, “Jokowi, Jokowi, Jokowi!”.

Wah…, antusias sekali  para juru parkir dan tukang ojek ini dalam menyambut kemenangan Jokowi. Kulewati sederet mobil taksi dan beberapa sepeda motor tetapi tak satupun yang kuhampiri.  Sebab jarak antara halaman parkir Stasiun Kereta Api Gambir dengan Kantor PT Pertamina tidak begitu jauh. Oleh sebab itu, kuputuskan untuk berjalan kaki. Tidak begitu lama sampailah  dua puluh lembar surat undangan dari UM ke tangan salah satu staf. Legalah hati ini. Tetapi masih ada delapan belas surat  undangan yang harus segera dikirim ke Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Sambil setengah berlari kutinggalkan halaman Kantor PT Pertamina untuk menuju Jalan Sudirman Jakarta, tempat Kantor Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI berada. Tepat di sebelah kiri pintu keluar, kuarahkan pandangannku pada tukang ojek yang mangkal di trotoar Markas Besar Kostrad.

“Ojek!” Teriakku”.

“Kemana Pak?” Tanya tukang ojek.

“Ke Kantor Kemendikbud, Jalan Sudirman, Bang!”

“Bapak dari Jawa, ya?” Tanya tukang ojek.

“Lho kok tahu?”

“Ya tahu dong…, ngomong-ngomong, Bapak dari Jawa Tengah atau dari Jawa Timur?”

“Jawa Timur! Saya dari Kota Malang, Bang!”

“Kula saking Surabaya, bojo kula saking Kitha Malang. Sampun sedasa tahun kula dados tukang ojek wonten Jakarta mriki (Saya berasal dari Surabaya, isteri saya dari Kota Malang. Sudah sepuluh tahun saya menjadi tukang ojek di Jakarta sini). Untung bapak datang hari ini, andai saja…, bapak datang kemarin, pastilah bapak akan mengalami stres karena jalanan macet. Ada demonstrasi buruh. Tetapi hari ini masih ada kemacetan arus lalu lintas walau tak separah hari kemarin”. Demikian keterangan Mas Karjo.

“Mas Karjo, bagaimana suasana setelah selesai pelaksanaan pemungutan suara?”

“Ramai Pak! Sementara Pak Jokowi mendapat perolehan suara yang terbanyak!”

Beberapa menit kemudian, sampailah kami di depan pintu gerbang Kantor Mendikbud. Sebagaimana tata tertib yang ada  di Kantor PT Pertamina  bahwa setiap tamu harus melapor. Demikian juga di Kantor  Kemendikbud RI.  Setelah menyerahkan delapan belas surat undangan kepada pegawai protokoler. Ketika itu, waktu menunjukkan pukul 10.50 wib. Beberapa menit yang akan datang sholat Jum’at akan dimulai. Kami putuskan untuk menuju ke masjid yang terletak tidak jauh dari Pasar Tanah Abang Jakarta.

“Bang, antar saya ke Masjid yang dekat dengan Pasar Tanah Abang!”

“Ongkosnya tiga puluh rebu perak, Pak!” Kata Tukang Ojek, dengan logat Betawi yang kental.

“Ya! Bang…, ngomong-ngomong bagaimana dukungan Rakyat Betawi terhadap  salah satu calon gubernur DKI?”

“Menurut gue, dukungannye sih ade! Tapi orang Betawi tinggal atuk!” Sambil mengangkat satu jari tangannya.

“Tinggal satu? Ceritanya bagaimana Bang?”

“Begini pak…, di Jakarte ini yang terbanyak adalah para pendatang, khususnye Orang Jawe. Orang Betawi Asli tinggal sedikit, begitu lho Pak?”

Setelah sholat Jum’at selesai dilaksanakan—ada berberapa pengumuman dari takmir masjid—salah satunya—yang paling mengejutkan adalah—ada salah satu calon gubernur—tanpa seizin ketua takmir masjid—pada hari Jum’at sebelumnya—menjadi  khotib Jum’at. Ini yang menjadi persoalan, masjid menjadi arena kampanye pilgub. Runyam memang…, tetapi itulah faktanya.

Jadwal penerbangan pulang ke Surabaya, di lembar tiket pesawat Lion Air tertulis pukul 19.50 wib. Masih cukup waktu untuk berbelanja pakaian di Pasar Tanah Abang Jakarta. Di dalam angan terbayang cucu tercinta yang sedang menari-nari seperti peri kecil yang sedang bercengkerama dengan para kurcaci. Ah…, betapa cantiknya bila cucuku dibelikan longdress, seperti yang ada di film Cinderella.

“Jokowi-Jokowi-Jokowi!” Begitu sapa setiap penjual pakaian dan tas, yang berjalan berpapasan denganku. Aku terheran-heran melihat dan mendengar sapa mereka. Dan yang membuatku tersenyum, mengapa mereka berkata demikian? Apakah wajahku mirip dengan Pak Jokowi?  Yang membuatku menjadi penasaran adalah dari manakah mereka mengetahui bahwa namaku Joko?

Pakaian untuk cucu tercinta sudah terbeli. Betapa cantiknya bila cucuku memakai gaun ini. Begitu sanjungan yang terucap dari lubuk hatiku yang paling dalam. Ikhlas! Tanpa basa-basi! Setiap kakek, pastilah akan berkata sepertiku.

Pukul 14.30 wib., kuputuskan berangkat menuju mushola yang berdekatan dekat halte Bus Damri jurusan Gambir ke Bandara Soekarno—Hatta, yang terletak di halaman parkir  Stasiun Kereta Api Gambir.

“Bang…, antarkan saya ke halte Bus Damri di Stasiun Gambir!” Begitu pintaku.

“Ya, Pak!” Sahut Tukang Ojek, sambil memperkenalkan namanya, Togar.

“Menurut Abang Togar, siapa kira-kira pemenang pilgub putaran kedua?”

“Wah…, menurut pendapatku…, Pak Jokowi bakal berat menghadapi putaran kedua!”

“Kenapa Bang?”

“Pelaksanaan pemilukada putaran kedua, kalau tidak salah dilaksanakan masih dalam situasi Hari Raya Idul Fitri!”

“Apa hubungannya pemilukada DKI dengan Hari Raya Idul Fitri, Bang Togar?”

“Kita semua telah mengetahuinya bahwa penduduk DKI Jakarta ini,  yang paling banyak adalah para pendatang. Sebagian besar adalah Orang Jawa. Menurut saya, pendukung Jokowi yang terbanyak adalah Orang Jawa. Padahal pada bulan Syawal—Orang-orang Jawa—pemilik  KTP DKI Jakarta—masih berlebaran di daerah asal mereka, di Jawa”. Begitu analisis Bang Togar, pengamat yang netral.

Pukul 01.00 wib. (dini hari), mobil travel yang mengantarku dari Bandara Ir. H. Juanda, Sidoarjo sudah sampai di depan rumahku, yang berada di salah satu desa, di Kabupaten Malang. Rasa penatku musnah seketika, setelah melihat senyum manis di bibir Isteriku yang tak lagi muda. Walau demikian sisa-sisa kecantikannya masih nampak di raut muka yang bulat, putih, halus, bening dan sejuk. Sesejuk embun pagi yang menempel di dedaunan yang menghiasi meja di teras rumahku.

Setelah selesai membersihkan badan dan berganti pakaian, lalu kuceritakan kepada isteriku bahwa setiap orang yang berjumpa denganku, selalu berkata Jokowi-Jokowi-Jokowi!

Sambil tersenyum, isteriku berkata: “Emangnya Bapak ini aktor film, aktor sinetron  atau penyanyi yang terkenal? Terang saja mereka memanggil Bapak dengan Jokowi karena di saku Pakaian Sipil Harian (PSH) Bapak tertempel ID Card dengan tulisan yang gede DJOKO R. Saat ini nama DJOKO yang sangat popular di masyarakat adalah Joko Widodo atau Joko Wi. Jadi…, nama bapak dibagian belakang ditambah Wi. Tetapi masih ada benarnya bila ditambah Wi karena Bapak adalah anak Bapak Kaprawi almarhum, bila ditambahkan Kaprawi maka nama Bapak menjadi Joko Kaprawi kalau disingkat menjadi Jokowi. Begitu lho Bes, hehehe….

Malang, 18 Juli 2012

*) Djoko Rahardjo, Staf Subbag Sarana Akademik BAKPIK UM

Post Author: humas admin

Comments are closed.