PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

Oleh: Djoko Rahardjo*

Selama ini belum pernah ada Pendidikan Anti Korupsi yang diajarkan di Indonesia. Sungguh menarik sekali isi Surat Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 1016/E/T/2012 tanggal 30 Juli 2012, perihal Surat Edaran Tentang Implementasi Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi. Untuk mengetahui lebih  rinci isi surat tersebut, kami mohon para pembaca mengunduhnya di internet.

Penulis mencoba memahami sesuatu yang sederhana dari perilaku masyarakat kita.  Mengapa korupsi itu menggerogoti tubuh republik ini seperti penyakit kangker  yang ganas? Pencegahan penyakit korupsi ini dimulai dari mana?

Bila kita memiliki waktu, cobalah perhatikan perilaku masyarakat kita, baik yang ada di kota maupun yang ada di desa. Bagaimana gaya hidup mereka? Wow…, mereka berlomba-lomba hidup mewah. Wajarkah gaya hidup mereka? Dari manakah mereka memperoleh harta tersebut? Para pembaca tentulah memiliki penilaian yang beragam.

Kita mulai dari kebiasaan para orangtua yang “telah” menanamkan  bibit penyakit korupsi pada putra/putrinya yang masih balita (Siswa PAUD). Ada kisah yang menarik seperti dibawah ini.

“Mama…, Unyil minta kuenya dua!” Tanpa berfikir panjang, Sang Mama mengambilkannya. Padahal belum tentu Si Unyil dapat menghabiskan kue tersebut. Karena orang tuanya sudah “membiasakan” seperti itu maka tidaklah mengherankan bila Si Unyil setiap kali meminta, selalu memperoleh dua kue, yang berada di kedua tangannya.

Suatu hari, di sekolah Unyil ada acara ulang tahun temannya. Ada seorang teman Unyil meminta kue kepada neneknya.

“Nek…, Menik minta kue dua! Seperti punya Unyil!” Jawab Neneknya dengan lugu: “Satu saja, ya…? Nanti teman-temanmu yang lain tidak kebagian kue!”

Melihat kejadian seperti itu, sontak bola mata Mama Unyil membelalak seperti mau  lepas. Sambil menggerutu: “Orangtua sok alim!  Wong ndeso! Sekolah dasar saja tidak tamat!  Babu lagi!”

Lain ladang, lain belalang. Lain lubuk, lain ikannya. Suatu pagi—di tempat parkir sepeda motor kantor pusat—Universitas Negeri Malang—seorang teman PNS—berkomentar seperti berikut.
“Durung dadi pejabat ae, lek markir sepeda montor dialangno. Mestine diisi sepeda motor telu, mek diisi loro!” (Belum menjadi pejabat saja, sudah memarkir sepeda motornya melintang. Mestinya diisi tiga sepeda motor, hanya diisi dua!).Penulis tahu. Siapa pemilik Sepeda Motor Honda Supra Fit warna biru itu? Memang pemiliknya berlagak seperti Boss.
Ada kisah lain yang unik. Malam hari sekitar pukul 21.00 wita. Meeting Room, Hotel Goodway, di Nusa Dua Bali, nampak ramai dengan diskusi kelompok (per bidang) dalam rangka Rapat Kerja Rencana dan Anggaran Belanja KPRI UM. Saat itu kami (sekitar 12 orang) sedang menyelesaikan tugas menyusun rencana kerja Bidang Pertanahan dan Perumahan. Kami berfikir 15 menit lagi tugas akan selesai dan keluar ruang untuk cofee break. Setelah selesai dan keluar ruang, kami dapati meja tempat kue dan minuman bersih. Tidak ada kue yang tersisa! Hanya tetes-tetes kopi dan teh yang masih tersisa.
“Bagaimana ini?” kata salah satu teman kami. “Bukankah jumlah konsumsi sesuai dengan jumlah peserta rapat?  Adakah teman kita yang mengambil jatah lebih?”

“Pak Djoko, ayo kita beli minuman di kafe tepi kolam renang!”

“Ayo!”

Sesampai di kolam renang, salah satu teman kami bertanya pada pelayan kafe: “Mas…, berapa harga secangkir kopi panas?”

“Lima dolar!” Jawabnya singkat.

Teman kami menyodorkan selembar uang seratus ribu rupiah: “Ini uangnya!”

“Maaf Pak, kami hanya menerima uang dolar!”

“Waduh biyung…!”

Nah…, dari beberapa kisah di atas, para pembaca tentu lebih arif dalam menyimpulkan. Dari manakah seharusnya penyakit korupsi ini dicegah?

Malang,  28 Agustus 2012

*) Djoko Rahardjo, Staf Subbag Sarana Akademik BAKPIK UM

Post Author: humas admin

Comments are closed.