CATU DAYA DAN HANTU

Bulan April 2012, saya mendapatkan tugas dari Rapim UM sebagai Ketua Pelaksana Kelompok Kerja Revitalisasi Sistem Informasi dan Teknologi Informasi UM. Banyak aspek yang harus direvitalisasi, antara lain, perangkat lunak, perangkat keras, manajemen, dan pemberdayaan sumberdaya manusia.
Salah satu aspek perangkat keras yang membuat saya terperangah adalah catu daya listrik yang memasok ke ruang server dan ruang kerja teman-teman teknisi dan porgamer di Pusat TIK. Colokan listrik sebagai pemasok daya ke komputer kerja mereka hampir semuanya tidak berfungsi. Yang lebih membuat terperangah adalah pasokan catu daya ke server, kondisinya di bawah 200 V, yakni phase S, sedangakan phase R dan T sekitar 205 V. Pasokan catu dayanya pun tidak stabil, naik turun. Kondisi ini, konon, sejak mereka menempati gedung itu dan tidak ada tindakan perbaikan apa pun. Padahal, pasokan catu daya yang stabil sangat diperlukan untuk keamanan perangkat keras dan keamanan data.
Saya merasakan akibat buruknya catu daya ini. Pertama, server yang kami pinjamkan dari Fakultas Sastra terbakar. Kedua, tanggal 18 Agustus 2012, satu hari menjelang lebaran, saat itu, pasokan catu daya ke Pusat TIK drop. Sementara, serangan peretas ke server luar biasa. Tampaknya, keadaan ini biasa, menjelas libur panjang, peretas yang mencoba masuk ke web—mungkin web mana saja—jauh lebih gencar.
Pada saat itu, Panitia Sertifikasi Guru Rayon 15 baru sehari mengumumkan kelulusan perserta PLPG tahun 2012. Sementara teman-teman TIK sudah berlibur: Mas Rijal di Pasuruan,Mas Iwan di Sidoarjo, dan Mas Fahmi di Sumenep. Cukup panik juga saya saat itu. Tinggal satu-satunya insan yang dapat saya “pegang” hanyalah Mas Fajar yang rumahnya di Klaseman-Karangbesuki.
Pilihan terbaik di antara pilihan-pilihan buruk harus saya ambil, yakni akses masuk ke server kami tutup semua. Berikutnya, pengamanan data base. Saat hampir keseluruhan warga UM bertakbiran dan menikmati liburan hari raya idul fitri, kami berdua berkutat pada pengamanan data di Pusat TIK UM.
“Data base kita amankan, Mas. Amankan! Kamis, 23 Agustus 2012, saat hari pertama masuk, kita kerja lagi.” Alhamdulillah, langkah yang kami ambil, tampaknya cukup efektif. Meskipun beberapa hari berikutnya, kami dapat komplain dari Pak Nanda PSG UM. Beliau pun dapat komplain dari peserta PLPG yang tidak bisa melihat pengumuman kelulusannnya. Langkah itu terpaksa kami ambil karena saat itu—walaupun sudah sekian tahun berdiri—dari Puskom sampai dengan Pusat TIK, data base UM TIDAK ADA BACK UP-nya.
Awal Oktober 2012 kami lakukan pembenahan pasokan catu daya ini. Teknisi listrik dari Fakultas Sastra, Mas Doni, dan teknisi listrik dari kantor pusat UM, Pak Rudi dkk. saya ajak mengerjakan pembenahan. Syukurlah, dalam waktu 3 hari, semuanya beres dengan biaya yang sangat murah. Penampang kabel yang terlalu kecil, kami ganti. Gardu sumber pasokan, kami lacak. “Penyakitnya kami ketahui. Obatnya tentu saja mudah.” Sejak pertengahan Oktober 2012, pasokan catu daya sudah 95% normal. Tinggal 5% persen lagi yang (akan) kami lakukan, yakni memindah pasokan ke gardu listrik tegangan menengah terdekat.
Menengok ke belakang sejarah kehidupan saya, rasanya lucu juga. Saat pertama kali menempati rumah di Perumahan Sumbersari Baru Bandulan tahun 1987, saya mendapatkan tugas sebagai relawan mengurusi perlistrikan dan air PDAM Kabupaten Malang dari sumber air “lokal”, yakni dari sumur artetis depan rumah saya. Saat menjabat sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Sastra UM, tahun 2000-an, salah satu hal krusial adalah pasokan listrik di semua gedung Fakultas Sastra. Kisah unik pun muncul, yakni di lab bahasa, di gedung E 6, walaupun tombol off ditekan, beberapa lampu di ruang lab, kadang-kadang masih menyala. Berkembanglah kabar bahwa di ruang lab itu ada “hantu penunggunya”.
Saya panggil Mas Doni—yang lulusan STM Listrik, dan Pak Alfan—saat ini sudah pensiun. Saya pimpin mereka untuk memperbaiki pasokan listrik dan perkabelannya. Ketahuanlah penyebab lampu tetap menyala, walaupun tombol off sudah ditekan: pasokan listriknya adalah 110 V yang di-“bendeng” agar menjadi 220 V, yakni dua kabel input diambil dari dua phase (R dengan S, R dengan T, atau S dengan T). Ya, tentu saja, tetap ada pasokan listrik dengan voltase 110 V, walaupun tombol off sudah ditekan. Ya, tentu saja, nyalanya tidak terang karena bola lampunya 220 V, sedangkan pasokan listriknya 110 V.
Pengkabelannya pun aneh, yakni semua kabel berwarna merah: baik itu kabel dari phase R, S, T, nol, atau grounding. Jadi, lumayan rumitlah merunut dan melacaknya. Dengan ketelatenan kami, akhirnya dapat terlacak dan tertata dengan baik sampai dengan saat ini: sudah (sejak) sekitar 12 tahun (yang lalu)!
Kembali ke tugas saya sebagai Ketua Pokja IT, rasanya juga lucu dan juga aneh: sarjana pendidikan bahasa mendapat tugas sebagai Ketua Pokja IT. Karena itu, sangat wajar dan saya sangat senang mendengar komentar sebagian warga UM di bulan April 2012, “Apa bisa lho, Dawud, yang sarjana pendidikan bahasa menyelesaikan persoalan sistem informasi dan tekonologi informasi dan komunikasi UM?” Jawaban saya jelas, saya sendiri tidak bisa. Karena saya adalah anak TK di hadapan teman-teman programer dan teknisi Pusat TIK. Saya hanya bisa “merekayasa komunikasi” agar mereka mau, bisa, dan nyaman bekerja untuk UM. Saya hanya bisa “menyediakan kepercayaan” karena mereka adalah dan agar tetap menjadi anak-anak UM yang loyal, berintegritas, dan berdedikasi untuk kemajuan UM. Mereka adalah The Dream Team. Bukan saya.
Malang, 3 Desember 2012
Dawud
Ketua Pokja Revitalisasi TIK UM

Post Author: humas admin

Comments are closed.