IJON

Dua mazhab ekstrim dalam teori ekonomi mewarnai pembangunan ekonomi suatu bangsa, yakni (1) ajaran klasik teori ekonomi sektor riil oleh Adam Smith, dan (2) teori ekonomi berlandaskan moneter oleh John Maynard Keynes yang populer dengan sebutan Keynesians. Kedua mazhab itu terus-menerus berdebat dan berseberangan dalam mengembangkan dan menerapkan ajaran mereka.
Penganut teori Adam Smith percaya bahwa  sektor riil sebagai katalisator pembangunan ekonomi. Menurut mereka,  “proyek fisik dan lapangan kerja merupakan solusi semua masalah”. Penganut teori Adam Smith menyerang teori Keynesians dengan menuduh kaum monetarist bekelompok dalam negara maju dan besekongkol mengumpulkan uang agar negara miskin atau negara berkembang dapat berutang. Secara perlahan-lahan, negeri miskin dan negeri berkembang tergadai. Kaum Keynesians itu tak ubahnya rentenir, kolonial model baru, dan tukang ijon.
Sebaliknya, para ekonom Keynesians sering menuduh penganut Adam Smith sebagai ekonom zaman primitif, yakni ekonomi masa barter: barter hasil bumi dengan hasil bumi yang lain, barter hasil bumi dengan dengan jasa, atau barter jasa satu dengan jasa yang lain. Kaum Keynesians menunjukkan kemajuan (tentu saja yang dicapai negara maju dibandingkan dengan capaian negara berkembang) dengan menyebutkan “Mengapa reformasi moneter berhasil membangun ekonomi (lihatlah negara maju), sedangkan reformasi sektor riil tidak (lihatlah negara bekembang)?”
Saat mencermati pertentangan mazhab ekonomi dalam novel Edensor karya Andrea Hirata (2008), saya teringat masa kecil bersama ayah-ibu; saya teringat buku The Collapase of Lehman Brothers karya Lawrence G. McDonald & Patrick Robinson (2009); saya teringat dua tulisan Dahlan Iskan berjudul “Rekor si Pendosa Beralih ke Bernie” dan “Kalau Langit Masih Kurang Tinggi” (2008). Pikiran saya melayang-menerawang pada empat peristiwa berikut ini.
Pertama, di tahun 1970-an, saya sering bantu ayah dan ibu bertani: mulai dari ngurit (menyiapkan bibit padi),  nandur (menanam bibit), matun (membersihkan rumput), ngrabuk (memupuk), ngani-ani (memanen padi milik sendiri), derep (memenen padi sebagai buruh) nggebuk (merontokkan padi dengan kayu), dan ngiles (merontokkan padi dengan kaki).  Saya bersyukur, ayah dan ibu memiliki dua petak sawah yang digarap sendiri dari awal sampai dengan panen.
Tidak sedikit tetangga saya saat itu hanya mampu menanam, tidak mampu menikmati sampai panen. Di saat padi usia dua bulanan, mereka sudah didatangi tengkulak. Para tengkulak adalah para pemodal. Para tengkulak membeli “panenan” padi, sekalipun padi di sawah saat itu masih ijo ‘hijau’ dan belum “berbuah” (dari sinilah lahir istilah ijon).  Tentu dengan harga yang sangat murah. Pada saat panen, pemilik sawah hanya bisa menunggu padinya dipanen, atau maksimal hanya derep, dan setelah itu segera mulai menanam padi lagi. Akan tetapi, kalau padi tadi gagal panen, uang ijon yang sudah dibayarkan tengkulak kepada petani dianggap sebagai utang. Sebagai utang, tentu harus dibayar oleh petani kepada tengkulak. Itu pun berbunga. Untuk mulai menanam lagi, petani juga harus “pinjam” uang kepada para tengkulak. Sebagaimana masa tanam sebelumnya, petani juga “hanya mampu” sampai menanam, tidak “mampu” memanen. Demikianlah terus-menerus, demikianlah siklus kehidupan petani di bawah cengkeraman “pengijon” sampai kapan pun. Itulah sebabnya, petani hidup dalam kemiskinan struktural.
Kedua, beberapa waktu yang lalu saya membaca buku tentang kolapnya Lehman Brothers. Kolapnya invesmet banking  itu merupakan kisah “ijon” dalam dunia modern, yakni skandal sub-prime mortgage. Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage, yakni semacam undang-undang kredit pemilikan rumah. Orang yang mendapat kredit  membeli rumah. Rumah itu harus diserahkan kepada pihak yang memberi kredit. Penerima kredit boleh menempatinya selama cicilannya belum lunas. Kalau lunas, rumah jadi miliknya. Akan tetapi, begitu pembayaran kredit macet, rumah itu otomatis tidak bisa ditempati dan harus pergi dari rumah tersebut. Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu, misalnya penghasilan per tahunnya memadai, bisa mendapat mortgage. Dengan mendapatkan fasilitas mortgage ini, cicilan bunga kredit rumah menjadi murah karena berjangka panjang, yakni 30 tahun.
Untuk memenuhi tuntutan laba perbankan dan investor penyalur kredit rumah, aturan yang konservatif itu diubah, yakni dilonggarkan. Dibuatlah regulasi dan rangsangan agar semakin mudah orang mendapatkan kredit rumah: rumah kesatu, kedua, ketiga, dan seterusnya. Hitungannya, rumah yang dimiliki akan terus naik harganya: tahun sekian akan untung sekian, sekian tahun untung sekian, dan seterusnya.
Hitungan keuntungan itu sebenarnya di atas kertas. Artinya, berupa “pengandaian” kalau kredit tidak macet, kalau perumahan terus berkembang, kalau perkembangan ekonomi terus positif. Walaupun hanya pengandaian, oleh pebankan, oleh perusasaan perumahan, atau oleh perusahan investasi nonbank sudah diperlakukan sebagai keuntungan riil. Dijuallah saham dengan hitungan seperti itu.
Kenyataannya, kredit perumahan itu macet. Perusahan perumahan juga bangkrut. Perbankan dan perusahaan inverstasi nonbank pun juga kolaps. Oleh karena, ternyata, rumah-rumah itu digadaikan dan dijaminkan ke pihak lain secara “bertingkat” pula, terjadilah kebangkrutan efek domino: di satu simpul macet, di simpul lainnya bangkut. Di satu simpul bangkrut, bangkrut pula di simpul lainnya. Nilai kebangkrutan kira-kira mencapai 5 triliun dolar. (Pada tahun 2008, nilai itu kira-kira sama dengan 5—6 tahun APBN Indonesia). Bukankah praktik bisnis itu juga merupakan praktik ijon?
Ketiga, sejak pertengahan tahun 90-an Bernard Lawrence Madoff yang biasa dipanggil Bernie mendirikan Madoff Investment Securities LLC. Uang yang ditanam di perusahaan itu dijanjikan bisa beranak pinak lebih cepat. Selama bertahun-tahun, para pemilik modal dapat menikmati bunga dari Bernie melebihi tabungan apa pun: deposito, reksadana, obligasi, dan sejenisnya. Maka, berbondong-bondonglah individu, yayasan, bahkan perbankan menyertakan modalnya ke Bernie. Sebagian besar adalah individu, yayasan, dan perbankan Yahudi, sebagaimana Bernie adalah Yahudi.
Tibalah saatnya, pada tahun 2008, terjadilah gagal bayar: 600 milyar dollar (skitar 600 triliun rupiah). Bernie diadili dengan tuduhan menggelapkan uang sebanyak itu. Ternyata, Bernie melakukan model bisnis yang disebut dengan Ponzi Scheme atau bisnis Model Ponzi. “Model Ponzi” dikembangkan oleh Charles Ponzi. Pada 1920 Ponzi ditangkap karena melakukan bisnis aneh yakni sistem piramid atau sistem berantai. Bisnis itu dikembangkan degan cara si A menempatkan uang di situ. Si A harus mencari teman, setidaknya dua orang (B dan C) yang juga harus menaruh uang di situ. Selanjutnya, B harus mencari teman minimal dua orang (D dan E) yang menaruh uang di situ; demikian juga C harus mencari dua orang teman (F dan G) yang menaruh uang di situ. Demikian seterusnya. Si A akan dapat bunga yang menarik. Akan tetapi, pada saat sudah jenuh, yakni tidak ada lagi orang yang mau ikut di sistem itu, runtuhlah piramid itu. Masih ingat kasus Pohon Mas oleh dua bersaudara Nasa tahun 2000-an? Itulah model Ponzi. Bernie tidak hanya melakukan praktik bisnis model Ponzi, tetapi meraksasakan model Ponzi!
Apakah praktik model Ponzi ini sudah berhenti? Tidak! Dalam berbagai bentuk dan skala masih ada. Ada model arisan beratai. Ada model investasi. Ada model pembiayaan haji. Sebagai contoh, akhir tahun lalu, saya ditawari untuk berhaji BPIH plus hanya 35 juta rupiah! Padahal biaya resminya sekitar 72 juta rupiah. Perusahaan itu mengatakan bahwa yang 37 juta rupiah disubsidi oleh perusahaan! Katanya, tahun lalu perusahaan itu sudah memberangkan 25 orang. Tahun ini, sudah antre 50 orang! Saya yakin, itu adalah model Ponzi, model Piramida, model berantai. Kalau sudah tidak ada downline yang mendaftar, tidak bisa lagi memberangkatkan haji!
Keempat, saya teringat seorang Kyai yang menyitir sebuah Hadits, “Keinginan manusia tiada batas. Saat keinginan untuk memiliki satu gunung emas dipenuhi, dia ingin gunung emas yang lainnya. Saat sudah terpenuhi memiliki sejumlah gunung emas, dia ingin memiliki lembah emas. Keinginannya baru bisa berhenti saat dia diganjal dengan bantal sekepal tanah dalam tidur panjangnya di ruang gelap 1 X 2 meter persegi.” Saya pun menerawang dan teringat ungkapan “Allah menyediakan bumi ini sangat cukup untuk segenap penguninya. Akan tetapi, bumi ini tidak cukup untuk satu orang (saja) yang serakah.”
Bagaimana menurut Anda?
Malang, 14 Mei 2012
Dawud
Dosen FS UM

Post Author: humas admin

Comments are closed.