Ketua NU yang Profesional

CATATAN REDAKSI: KARYA TULIS INI DIBUAT OLEH WARGA UM DAN DITERBITKAN OLEH HARIAN SURYA.

Nahdatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi masyarakat (ormas) Islam yang usianya cukup tua, didirikan oleh K.H Hasyim Asyari. Menginjak usianya yang cukup tua, didirikan tanggal 31 Januari 1926, NU akan mengadakan sebuah acara besar, yaitu muktamar NU ke 32 pada tanggal pada 23-27 Maret 2010. Kalau dianalogikan seperti usia tumbuh kembangnya manusia, NU kini sudah masuk sebuah fase di mana kebijaksaan menjadi tolak ukurnya.

Sekarang peradaban manusia telah memasuki abad ke 21. Abad ke 21 adalah sebuah abad yang mementingkan profesionalisme sebagai tolak ukurnya. Arus informasi melalui berbagai macam media massa seperti koran, televisi dan internet menjadi kian luas. Masyarakat terutama warga NU tentu sudah memiliki kriteria untuk ketua umum NU, yaitu yang memiliki profesionalitas dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Alhadist, tidak terjebak dalam konservatisme.

Masyarakat kini dengan mudah mengetahui, mengamati dan menilai tindak-tanduk para pemimpinnya. Di abad ke 21, masyarakat mendambakan profesionalitas dan keteladanan dari para memimpinnya. Harapan-harapan di atas tentu menjadi kriteria pemimpin NU yang akan segera dipilih.

Di era informasi seperti sekarang, menafsirkan segala sesuatunya haruslah sesuai dengan konteks sosial yang terjadi di masyarakat.

Ketua NU sebagai salah seorang panutan umat Islam haruslah menafsirkan ayat-ayat suci Al quran dan Alhadist, pegangan bagi umat Islam dalam bertindak, berperilaku dan beribadat, dengan berkaca pada realitas sosial yang ada.

Jika sebuah organisasi Islam menafsirkan ayat-ayat suci Alquran dan Alhadist secara kaku, maka yang terjadi adalah ditinggalkannya organisasi Islam tersebut. Umat Islam sekarang sudah menjadi umat yang kritis, mereka tidak mau lagi didogma.

Sebagai contohnya adalah saat sekumpulan “ulama” mengeluarkan fatwa Facebook haram, yang terjadi adalah umat Islam justru ramai-ramai memboikot fatwa tersebut dengan membuat kelompok-kelompok “perlawanan” di Facebook.

Harapannya, pemimpin NU yang nanti terpilih, mampu berkaca dari realita seperti kisah nyata di atas. Caranya, membaca ayat-ayat Alquran dan Alhadist secara kontekstual, bukan tekstual.

Dengan penafsiran yang bersifat kontekstual, diharapkan NU tidak ditinggalkan umatnya.

Sebab pemahaman yang kontekstual membuat NU bisa bertahan dari segala cuaca. Menurut hemat penulis, menyiapkan payung sebelum hujan lebih baik dari pada membeli payung saat musim hujan.

Manfaat yang lain dengan menafsirkan Alqur’an dan Alhadist secara kontekstual, NU menjadi lebih kreatif sehingga tidak dilindas oleh zaman.

Umat sekarang membutuhkan pemimpin yang mampu mengakomodasi kepentingan umatnya. Bukan terjebak dalam konservatisme penafsiran Alquran dan Alhadist.

Kalau sampai terjadi konservatisme dalam penafsiran Al-Qur’an dan Al Hadist oleh pemimpin NU, sungguh amat sangat disayangkan, karena umat membutuhkan profesionalitas dalam menafsirkan ayat, secara kontekstual dan bebas dari cengkraman konservatisme.

http://www.surya.co.id/2010/03/22/ketua-nu-yang-profesional.html

Ferril Irham M

Jurusan Sastra Inggris UM

ferril_im@yahoo.com

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.