REMBULAN TERSENYUM… Bagian Ke-5

REMBULAN TERSENYUM DI LANGIT MELONGOANE

(Bagian Ke-5)

Oleh: Djoko Rahardjo*

Angin malam menerpa mukaku. Jantungku berdegup kencang!  Serasa akan copot! Bulu kudukku berdiri! Badanku tiba-tiba terasa dingin sekali. Rasanya ingin kencing! Siapakah orang ini? Jangan-jangan dia Si Hantu kapal? Ah…, kenapa aku jadi ketakutan? Aku memberanikan diri menyongsongnya. Ternyata…, dia adalah Pak Atuk, teman sekamar kami.  Setelah berbincang sebentar denganku, lalu dia masuk kamar. Malam ini aku tidak  bisa tidur. Aku berjalan-jalan menyusuri dek kapal sambil memandangi  rembulan  yang tersenyum manja.
 “Apa yang kau cari kakek?  Di kapal itu tidak ada kafe. Sekarang sudah jam 12 malam. Ada apa denganmu? Haus ya? Lapar ya? Kenapa saat di Pelabuhan Manado sore tadi, engkau tidak membeli makanan dan minuman? Kasihan deh lu!” Begitu kira-kira ledekan Sang Rembulan Malam kepadaku. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Talaud akan berbunyi seperti berikut.
Apa radeaanni tua’a? Su apalla tawe tampa pasombannu sanggaweanna ma’inumma susambau. Indi puul’le mapurodua rabi. Pia apa si’o? I’o Marou are marunus’sa? Ani’o  ta’e su lawuannu aplla su Manaro tangin, na wawal’lo  I’o tawe namalli warunna ara,e ua’e, nasusate I’o te’e. ude aapis’su taumata waine supariamatan, na surunia indi.
Radeanni = dicari, su = di, apalla = kapal, tawe = tidak; tampa = tempat; passombannu = pertemuan; sanggaweanna = sesama teman; ma’innum’ma; susambau = bersama-sama; indi  puulle – sekarang pukul ..; mapurodua rab i= duabelas malam; pia apa sio = ada apa denganmu; marou ?. Marunus’sa ? =  Haus ? Lapar ?, anio = kenapa, tae sulawuannu apal’la  su manaro tanginna wawallo = kenapa saat dipelabuhan kapal di manado tadi sore; io tawe namal’li warunna = tidak membeli makanan dan minuman ? Nasusate io = kasihan deh lu. Tua’a = kakek.
Tapi aku belum menyerah. Kususuri lorong-lorong yang ada di dalam kapal. Sesekali aku berhenti di setiap sudut ruangan tetapi tanda-tanda “kehidupan” itu  tidak tampak. Sial betul nasibku  malam ini! Seolah-olah uang yang ada disakuku tidak mempunyai nilai alias tidak laku. Di tangga lantai 2 , disebelah timur, di samping tangga yang menuju ruang anak buah kapal (ABK), ada seorang laki-laki berbadan kekar, sedang menuju ke arahku, sambil membawa piring. Dari kejauhan kulihat seperti tentakel atau tangan cumi-cumi yang menjulur dari piring orang itu. Hem…, betapa lezatnya makanan orang itu. Ketika duduk di bangku yang ada di dek kapal—di depanku—kira-kira tujuh meter—dia duduk dan bersila—mulutnya berkomat-kamit–seperti berdoa. Setelah selesai berdoa, tanpa basa-basi langsung kutanyai dia.
“Bapak membeli makanan dimana?” Tanyaku. (Hagurangnga namal’li  an’na suapa ?).
Dia tak langsung menjawabku karena sedang menelan makanan. Setelah dekat darinya, yang semula kukira cumi-cumi, eh… ternyata bakmie yang dibiarkan memanjang.
Sambil makan dia memberi isyarat tangan dan mengelengkan kepalanya, bahwa  makananan tersebut gratis.
Melihat hal seperti itu, salah seorang dari dua orang yang berada di sampingnya menerangkan:
“Dia ABK kapal ini, Pak! Makanan yang sedang dinikmatinya itu adalah masakannya sendiri. Nampaknya malam ini beliau sedang istirahat. Maklum dia seharian bekerja keras. Pantas saja dia tidak mau diganggu!” Percakapan tadi bila diterjemahkan ke dalam bahasa Talaud kurang lebih seperti berikut ini:
“Itou mamanara su’apalla indi, Timade ! Anna aananan’ni tou ude ni’ola’i  tou sassane. Rabi indi wadingnge I’tou  nangilloro. Anawe itou narotakka mamanara roenduaallo sara rabi indi.
Setelah berbincang agak lama, dua orang tadi juga menceritakan tentang himbauan Para Pejabat  Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan  Talaud, seperti pada baliho berikut.
 
Mengapa baliho tersebut dibuat? Ikuti kisah selanjutnya! Jangan pindah dari saluran ini!

BERSAMBUNG …

Melongoane-Talaud- Sulut,  3 Oktober 2012

*) Djoko Rahardjo, Staf Subbag Sarana Akademik  BAKPIK  UM

Post Author: humas admin

Comments are closed.