{selesai] STOP KEKERASAN PKPT

 

Pengenalan Kehidupan Perguruan Tinggi (PKPT)
Pengenalan Kehidupan Perguruan Tinggi – menurut saya – pasti dimaksudkan bertujuan untuk menentukan sikap yg tepat dan benar serta mengenalkan kehidupan kampus kepada para mahasiswa baru.  PKPT di Universitas diisi dengan pengenalan tentang peraturan-peraturan yang akan mahasiswa hadapi selama kuliah, dan mengenalkan metode perkuliahan di dalam kampus.  Diajak untuk mengenali rumah mereka yang baru, ya kampus mereka itu, dan apa-apa yang ada di kampus dikenalkan kepada semua calon mahasiswa.
Dalam kegiatan ini sudah selayaknya para mahasiswa baru yang sedang mengalami masa transisi bermula dari pendidikan menengah ke pendidikan tinggi ini tidak menjadi canggung dengan sistem pendidikan yang sama sekali baru di awal mereka memasuki perguruan tinggi.  Pengenalan kehidupan perguruan tinggi menjadi momentum yang tepat untuk mengenalkan lingkungan perguruan tinggi secara efektif.
Dikenalkan dengan aturan yang berlaku selama menjadi mahasiswa, apa yang menjadi kewajibannya, dan apa saja yang menjadi haknya.  Menjadi tahu apa itu Sistem Kredit Semester (SKS), penghitungan indeks prestasi, lama studi dan beban studi yang harus diselesaikan, kompetensi lulusan, dan lain-lainnya.
Mahasiswa juga disadarkan bahwa di kampus itu tugas mahasiswa hanya belajar, belajar  tatakrama kehidupan kampus, belajar bagaimana cara belajar yang efektif, belajar untuk mencapai kompetensi dalam melaksanakan tugas profesi, dst. sebagai bagian dalam pembentukan jati diri generasi muda.
Dari hal tersebut di atas, PKPT merupakan kegiatan yang sangat bermanfaat punya makna yang baik didalamnya, tetapi penerapan dilapangan yang disalah gunakan.  Kegiatan yang bertujuan baik tersebut ditunggangi atau diselewengkan oleh kepentingan sesaat dari mahasiswa senior untuk melakukan tindak kekerasan kepada mahasiswa baru.
Praktek Kekerasan Simbolik
PKPT ditengarai dijadikan ajang balas dendam, dijadikan praktek perploncoan oleh para mahasiswa kepada adik-adik yuniornya, atau kesempatan untuk menunjukkan senioritas,  kalau dahulu mengalami, maka sekarang saatnya membalas. Pola pikir balas dendam yang menjadi alasan senior di sebagian mahasiswa yang masih tumbuh subur ini harus diputus benang merahnya.  Harus ditekan habis sehingga tidak akan ada lagi ruang untuk melakukan kekerasan atau penganiayaan terhadap mahasiswa baru.   Kalau secara kelembagaan sudah tidak ada lagi ruang untuk aksi-aksi kekerasan maupun penganiayaan tetapi oknum memang ada satu atau dua.  Hal ini kemungkinan tidak lepas dari perlakuan kekerasan yang pernah mereka alami sebelumnya, mahasiswa baru diharuskan melakukan hal-hal yang aneh-aneh dan tidak semestinya, seperti memakai atribut dari tas kresek warna tertentu, tas dari bahan karung, membawa kaos kaki merah putih, topi yang terbuat dari bola plastik yang dibelah jadi dua, mengepang rambut dengan tali rafia, ikat pinggang tali rafia dengan rumbai-rumbai mirip orang papua, ataupun membawa barang-barang yang sulit dicari dan tidak lazim.
Praktek Kekerasan Bersifat Verbal
Selain adanya praktek kekerasan simbolik, dalam masa perploncoan ini juga terjadi praktek-praktek kekerasan yang bersifat verbal.   Kekerasan yang bersifat verbal contohnya adalah bentakan, cemoohan, ejekan, intimidasi, dan umpatan dari senior.  Misal, J“Hei …! ngapain kamu !” L“Saya mau ikut PKPT” , J “gak liat saya disini ? bilang permisi dong ! Push up kamu 30x”.  Yunior juga sering dimarahi di depan umum akibat tidak menuruti kemauan seniornya.  Kalaupun beralasan melatih mental biar kuat, kenapa harus dengan bentak-bentak dan pakai marah-marah dan seperti diperbudak, haruskah seperti itu?.  Menurut saya (lagi), hal seperti ini tidak ada sisi positif yang didapat, tapi justru menjadi awal yang buruk bagi mahasiswa yang mau memulai belajar dimulai dengan intimidasi.  Bisa jadi itu akan membuat sifat seseorang jadi berubah, akan menentukan arah dari pendidikan seorang mahasiswa itu cenderung KERAS bukan memikirkan prestasi karena SENIORITAS berlebihan.
Siapapun orangnya pasti jengkel dengan 2 peraturan ini:

  1. Senior selalu benar
  2. Kalau senior salah, lihat peraturan nomor satu.
Ini kan mirip peraturan peninggalan pada masa penjajahan belanda diterapkan untuk kerja paksa pada rakyat negeri ini.  Mungkin akan bagus kalau  mereka diberikan hal yang lebih baik, tidak harus dengan kekerasan.  Misal dengan mengajak outbond dan memberikan games-games yang menarik dan mendidik serta melatih kepemimpinan.  Saling bertaarruf, antara senior dan yunior bersilaturrahim saling sharing, yunior menghormati senior, senior menyayangi junior.
Dengan demikian PKPT tidak menjadikan bibit permusuhan baru dan rasa sakit hati yang terpendam.   Janganlah dari awal rasa takut dan marah-marah yang dibuat-buat para senior dijadikan tradisi pendidikan.
Sudah seharusnya, seorang kakak adalah melindungi adiknya dan memberikan kontribusi yang baik kepada adik-adiknya karena mereka belum tahu apa-apa.  Peran kakaklah yang harus banyak memberitahu, adik-adik akan mencontoh apa-apa yang diberikan contoh kakaknya.  Jadi … STOP KEKERASAN TERHADAP YUNIOR, STOP SENIORITAS BERLEBIHAN.  Tulisan sdri Kurniasari di Suara Kita adalah salah satu contohnya.
Praktek Kekerasan Bersifat Kekerasan Fisik
Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan fisik, misalnya hukuman push up, sit up, berdiri dengan satu kaki dan juga lari keliling lapangan.  Datang pagi-pagi sekali sehingga bisa meninggalkan kewajiban sholat subuh, belum sarapan, mencari angkutan umum yang masih jarang.  Terkadang karena kecapaian ada yang pingsan, atau karena emosi berlebihan yang ditahan menjadi labil sehingga bisa jadi kesurupan.  Pulang malam-malam, tidak memiliki kendaraan, angkutan umum sulit didapat.
Praktek perploncoan yang dalam kenyataannya masih tetap berlangsung tersebut merupakan kegiatan yang sama sekali tidak bermanfaat bagi pengembangan potensi peserta didik.  Ini memberi sumbangan signifikan bagi pelestarian tradisi kekerasan dan seolah sudah menjadi bagian tradisi yang melekat dalam dunia pendidikan kita.  Kekerasan yang kemungkinan besar berpengaruh terhadap perilaku keseharian para peserta didik.  Peringatan dan larangan praktek perploncoan dari Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) tampaknya tidak efektif untuk mencegah hal ini.  Tujuan pendidikan agar manusia lebih bisa memanusiakan manusia menjadi tidak tercapai.
Perlu Pengawasan dan Perubahan Sistem
Seharusnya, pihak lembaga selalu mengawasi masa perkenalan mahasiswa, peran dosen dilibatkan sejak awal agar budaya kekerasan tidak tumbuh kembang.  Pimpinan yang mengatur porsi kegiatan kemahasiswaan, kegiatan tetap didominasi oleh fakultas maupun jurusan.  Jadi keterlibatan pimpinan fakultas dan lembaga kemahasiswaan seharusnya lebih ketat dalam pengawasan, sehingga akan meminimalkan peluang terjadinya tindak kekerasan, dan tindakan yang berlebih-lebihan relative tidak ada.
Yang jelas, pada saat orientasi diupayakan agar tidak membuat acara yang terlalu susah dengan membuat acara-acara pengenalan, apalagi dengan tugas-tugas yang terkadang tidak masuk akal.  Beberapa hal yang menyebabkan praktek kekerasan dalam lingkungan pendidikan sulit diberantas.  Pertama, sistem pengawasan yang kurang ketat dari pihak pimpinan terhadap acara-acara yang berpeluang dijadikan ajang kekerasan.
Kedua, ketidakberanian dan ketidakberdayaan mahasiswa baru untuk menolak atau melawan berbagai tindak kekerasan dari seniomya.  Hal ini bisa jadi karena sebagai mahasiswa baru masih takut dan mereka belum memiliki keberanian untuk melawan kemauan seniornya. Ketiga, adalah kurangnya pendidikan kemanusiaan dalam pendidikan kita.  Mereka tidak belajar bagaimana menghargai, menyayangi dan memahami sisi-sisi kemanusiaan orang lain.
Jadi… perlu ada perubahan sistem.
Noor Farochi – Staf BAAKPSI

Post Author: humas admin

Comments are closed.