Bangsa yang Terjajah Neokolim

Ada sebuah pertanyaan di dunia iklan, kenapa iklan produk kecantikan perempuan menggunakan model yang putih, tinggi dan berwajah mirip-mirip eropa? Pertanyaan klasik ini hampir mirip dengan pertanyaan , mengapa orang-orang rela antri demi Blackberry diskon Separuh harga? Menjawab dua pertanyaan tersebut sebenarnya cukup sederhana, yaitu dengan berpikir siapa yang menciptakan ide tersebut.

Dalam teori studi pasca-kolonial, ilmu yang mempelajari neo-kolonialisme di abad modern, siapa yang dominan dalam bidang ekonomi dan teknologi, maka merekalah yang akan menjadi penentu standar. Globalisasi, yang sekarang sedang terjadi kalau menurut teori studi pasca kolonial adalah usaha membawa dunia menuju satu standar yang sama. Bukti dari teori ini sangatlah mudah, layar televisi berbentuk kotak, bukan segitiga. Bukti yang lain, keyboard komputer yang mayoritas dipakai adalah keyboard berbasis qwerty, bukan yang mengurutkan huruf a dan z berbentuk mengular.  Dari uraian di atas, jelaslah bahwa globalisasi adalah sinonim dari standarisasi global.

Pertanyaan klasiknya, siapa yang menentukan standar yang dipakai dalam globalisasi? Teori pasca-kolonial memiliki jawaban yang cukup masuk akal; Negara-negara yang menjadi pemenang di perang dunia kedua. Sebagaimana yang sudah diketahui oleh umum, perang dunia kedua adalah perang terdahsyat di abad teknologi. Sebenarnya ada satu hal yang menjadi dampak langsung yang terus kita rasakan, kemenangan kubu sekutu terhadap kubu poros membuat kubu sekutu dapat menjajah Negara-negara dunia melalui, yang oleh sudah diperingatkan oleh Bung Karno tahun 60-an, neokolonialisme.

Neokolonialisme diawali dengan bantuan pada Negara-negara berkembang oleh Amerika Serikat yang disebut dengan Marshal Plan. Tentu saja, bantuan ini bukan saja dalam bentuk uang, namun dalam bentuk yang lebih mengena, seperti pendidikan, kebudayaan dan kesehatan. Bentuk bantuan seperti ini dapat menanamkan mental membebek di kalangan masyarakat penerima bantuan. Alasannya cukup sederhana, bantuan ini membuat masyarakat menjadi pasif karena mendapatkan kenikmatan tanpa perlu kerja keras. Akhirnya, masyarakat penerima bantuan cenderung memandang tinggi secara berlebihan hingga terjadi generalisasi berlebihan terhadap pemberi bantuan.

Dampaknya, cukup luas. Terbentuklah mental pribumi atau bahasa yang digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia adalah mental Inlander. Mental pribumi cukuplah berbahaya, karena menganggap bangsa pribumi lebih rendah dari pada bangsa penjajah. Efeknya, segala sesuatu yang dilakukan oleh bangsa penjajah dianggap hebat, hingga perlu ditiru tanpa perlu disaring terlebih dahulu. Hingga, ketakutan bapak Bangsa, Soekarno bahwa Neo-Kolonialisme menjajah bangsa Indonesia terjadi sekarang.

Hasil dari neokolonialisme dalam dunia iklan kecantikan adalah bangsa Indonesia tidak percaya diri dengan penampilannya. Hingga akhirnya dimanfaatkan oleh produsen kecantikan untuk membuat produk pemutih wajah dengan menggunakan model mirip bangsa penjajah pasca-perang dunia 2, pemberi bantuan Marshal Plan. Dalam dunia teknologi, orang-orang yang masih bermental Indlander menjadi pembebek tren penggunaan telpon pintar Blackberry, hingga akhirnya rela antri hingga pingsan saat diumumkan ada Blackberry dengan separuh harga, walaupun masih mahal. Sekarang, masih maukah bangsa Indonesia dikolonilasiasi oleh Neokolim?

 

 

Ferril Irham Muzaki

Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.