BLOG, MIKROBLOG, DAN BUDAYA PETAN

Saat usia anak-anak di sebuah desa di kaki Gunung Wilis, Tulungagung, tahun 70-an, tiap sore menjelang Asar, saya melihat kegiatan ibu-ibu petan (bergantian mencari kutu rambut). Dalam kegiatan itu, mereka berbincang apa saja: tentang gagasan, prasangka, persuasi, provokator; tentang diri sendiri, anak, suami, saudara, tetangga.
Saat itu, memang belum ada media sosial berupa mikroblog seperti sekarang ini: Twitter, Tumblr, dan Facebook. Akan tetapi, pada dasarnya, kebiasaan perbicangan, obrolan, dan gunjingan, secara substantif tetaplah sama. Media dan wahana saja yang berbeda. Perbedaan itu disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi, yakni mulai dari yang bermodus grafis satu arah: pager, layanan pesan singkat (short message service), surat elektronik (e-mail);  yang bermodus grafis dua arah: obrlolan (chatting); sampai dengan yang bermodus audio-visual dua arah: yahoo! messenger, misalnya.
Kedua masa itu tetaplah melahirkan komunitas yang sama, yakni “komunitas percakapan” (conversationalist community), yakni kelompok orang yang lebih bisa dan suka “berbicara saja” dalam berbagai perwujudannya: penceloteh, pengoceh, pengobrol, penggunjing, dan (bahkan) penghujat—yang pada dasarnya bermodus lisan, tetapi dituliskan. Inilah yang berkembang di negeri ini dari masa ke masa.
Sebenarnya, sempat terbersit harapan akan adanya perkembangan komunitas pencipta informasi saat kelahiran dan booming blog, yakni sekitar tahun 2006. Kemudian muncul Friendster dan Multiply, yang dilengkapi dengan blog. Sayangnya, komunitas blogger yang sebenarnya tidaklah berkembang sepesat perkembangan mikroblog.
Kegiatan menulis di blog berbeda sekali dengan kegiatan menulis di mikroblog, misalnya, di Twitter, dan di Blackberry Messenger. Perbedaan itu tampak jumlah karakter yang tersedia, keutuhan gagasan, kelengkapan argumen: di blog lebih lengkap dibandingkan di mikroblog.
Saat ini, ada kecenderungan lebih banyak penggemar mikroblog daripada blog. Kecenderungan ini disebabkan oleh budaya masyarakat yang tidak tahan (membaca) tulisan panjang, apalagi menulis gagasan panjang. Untuk kemajuan komunitas, diperlukan pembaca dan penulis gagasan panjang, bukan pengobrol.
“Ikatlah ilmu dengan tulisan”. “Berkarya dan terus berkarya”. Kalau Anda punya blog, up date terus dengan tulisan dan (hasil) bacaan panjang atas gagasan Anda. Kalau tidak punya blog, mari bergabung dengan menulis di forum Berkarya ini. Semoga kita tidak terlena dengan media mikroblog dengan hanya memanfaatkannya untuk keperluan obrolan yang tidak perlu, apalagi gunjingan. Kalau itu yang terjadi, kita kembali ke budaya petan, di tahun 60 dan 70-an.
Malang, 2 Desember 2012
Dawud
Dosen Jurusan Sastra Indonesia FS UM

Post Author: humas admin

Comments are closed.