Curhat pada dosen

Sebagai murid, mahasiswa atau pra-maha, sarjana atau pasca, posisi ini selalu istimewa. Tuhan menjanjikan banyak hal diantaranya kenikmatan kepandaian dan keberkahan, selama seseorang menjaga posisinya sebagai murid, pada kehidupannya. Dan itu berarti, tidak penting lagi berapa usianya.

Menjaga posisi sebagai murid, bukan selalu begitu saja diartikan sama dengan sekolah atau kuliah. Akan tetapi menjaga posisi merendah pada seseorang yang lebih dulu belajar, pada orang yang pernah memberi kita pelajaran betapapun sedikitnya, dan pada orang yang bertanggung jawab mengatur proses kita belajar. Merendah bukan berarti lebih bodoh. Tapi harus menghormati, dan tidak pamer gigi, andai kesempatan kita bereksperimentasi membuat kita lebih kaya ilmu dibanding beliau beliau yang saya sebut tadi.

Agama saya menyebutnya sebagai tawadhu’. Mari kita sederhanakan pemaknaannya menjadi patuh dalam rangka menghormati.

Patuh pun bukan berarti selalu berkata ‘iya’ pada setiap perintah. Patuh lebih mudah dipahami jika diartikan mampu bersikap sebagai pemain yang baik dalam koridor peraturan lembaga. Artinya, patuh hanya berlaku jika lembaganya punya peraturan. Patuh hanya berlaku jika kedua pihak sama sama tahu akan aturan. Dan patuh hanya berlaku jika penegak peraturan maupun yang diatur menunjukkan sikap yang sama dalam hal menghormati peraturan.

Adapun jika peraturan kelembagaannya yang terasa ajaib, ya salah si murid sendiri, mengapa memilih lembaga tersebut sebagai tempatnya belajar.

Seringkali saya berada di titik nadir, antara enak dan tidak enak, dari sudut pandang posisi murid, dalam hal menjalani masa masa perkuliahan. Dulu, berdasarkan pengalaman kuliah sebelum ini, dan rekaman pengalaman menjadi penonton demo di lingkungan akademika lain, saya membayangkan betapa saya akan banyak melakukan demo atau, mati kurus menahan sakit hati, jika saya kuliah lagi.

Dulu banyak hal membuat saya sakit hati. Dari mulai melihat panjangnya antrian registrasi, rebutan kelas, sampai melihat nilai saya sendiri yang harus berkali kali antri. Itupun saya harus mendapati kartu nilai saya masih ada yang kosong, yang kemudian ditulisi pensil di kali berikutnya. Rapor kok ditulisi pensil?! Begitu batin saya.

Semester ini kemajuan kampus luar biasa, dan itu membuat saya terpicu menjadi lebih patuh, karena merasakan enaknya masuk dalam peraturan yang menyenangkan. Secara administrasi. Masih menjumpai sesuatu –soal pernilaian, tapi mudah saya komunikasikan dengan pemangku keputusannya. Sedemikian hingga saya yakin, saya -atau kami- tidak akan menjumpai masalah yang sama semester depan.

Masuk ke inti cerita. Sampailah saya di semester-semester akhir perkuliahan. Program saya masih ada satu semester depan, tapi semester ini lampu kuning sudah saya nyalakan. Saya mau patuh pada kontrak.

Mendapati ide saya belum menemukan wujud akhirnya, saya berkomunikasi dengan banyak pengajar. Keakraban saya dengan hampir semua pengajar, memang saya paksakan untuk terbentuk, baik in-class atau off-class. Selama masih di kampus, dan selama masih masalah perkuliahan. Saya akan menghampiri pengajar saya, kapanpun saya bisa menjumpainya, dan mengkonsultasikan masalah perkuliahan saya.

Ada satu hal yang membuat saya menggigit bibir kala mendengarkan nasehat dari salah satunya. Beliau menceritakan bahwa seharusnya, kita yang sudah universitas, lebih fokus pada pembentukan konsep, pematangan konsep, dan pembiasaan bekerja berpegang pada konsep. Kan kita bukan kursusan, begitu kalimat persisnya.

Tidak salah, karena sebagai makhluk ilmiah, sudah sepatutnya jika sikap dan tata cara kita bersikap haruslah menunjukkan ciri metodis dan ilmiah. Benar, karena nantinya, begitu berada di satu dua semester akhir dan harus ke lapangan, maka kita sudah harus mampu menunjukkan keistimewaan kita dalam memproduksi sebuah konsep, mematangkannya dan menjaga proses pelaksanaannya di masyarakat.

Masalahnya sederhana. Di prodi saya misalnya, mahasiswanya memiliki ragam latar belakang yang jauh berbeda beda. Ada yang dari ‘bisa’ memakai peralatan visualisasi, komputer maupun non komputer. Ada yang dari ‘tidak bisa’ sama sekali, ada juga yang ‘bisa’ di satu dua alat, tapi ‘belum bisa’ di puluhan alat lainnya. Padahal syarat berkehidupan di prodi saya, adalah mampu memakai semua ‘peralatan standar’ profesi. Soal mahir memang urusan nanti. Tapi mahasiswa dituntut harus mampu dan memahami cara mengaplikasi semua peralatan standar tersebut. Dan jumlahnya tidak sedikit.

Adalah benar bahwa, katakanlah untuk sah berprofesi sebagai sarjana roti, maka ia harus mahir meramu resep untuk membuat roti. Tentu harus bisa memakai mesin pengaduk, dan memahami mekanisme pemanggang roti. Memang  tidak harus menjadi ahli aduk atau ahli panggang, tapi harus paham.

Lalu bagaimana menyederhanakan memfokuskan pengajaran pada penciptaan konsep, pematangan konsep dan pembiasaan pada bekerja pada konsep, jika para anggota kelasnya memiliki ragam latar belakang yang luar biasa jauh berbeda?

Cara berpikir beliau mungkin tidak terlalu sama dengan pengajar lainnya. Boleh jadi juga, amat sangat sama, dengan pengajar yang lainnya lagi. Perbedaan area berpikir yang berpotensi membuat kami hanya di posisi terdiam, kebingungan mengambil sikap. Yang saya maksud sebagai kami adalah orang yang berposisi sebagai murid, atau mahasiswa.

Jika suatu saat nanti, kesepakatan tentang ini telah menjadi sesuatu yang harus dipatuhi secara an-siech. Maka di tulisan ini saya mengusulkan satu dua hal tentang ini.

Pertama dan utama, tolong tuliskan dan promosikan pada calon mahasiswa prodi kami. Bahwa prasyarat memasuki prodi ini adalah mampu memakai daftar peralatan visualisasi –daftarnya tidak sedikit serta terus berubah sesuai perkembangan peralatan teknologi di dunia kerja, baik komputer maupun non komputer. Agar ketika masuk dan memulai masa berkehidupan sebagai mahasiswa, maka si mahasiswa akan bisa fokus pada pembuatan konsep dan pembiasaan bekerja sesuai konsep.

Kedua, jika masih menerima mahasiwa yang tidak terlalu sama latar belakang dan kemampuannya, maka berikan acuan solusi pada mahasiswa, sebelum ia memulai masa perkuliahannya. Apa dan kemana mahasiswa harus melengkapi kemampuannya sebelum ia memasuki kelasnya.

Tapi jika, kesepakatannya adalah menjadi Mediocre, sekedar istilah saya untuk menjabarkan keadaan ‘bertoleransi pada keragaman latar belakang kemampuan mahasiswa’, demi menjaga terbukanya kesempatan belajar bagi semua masyarakat. Maka buatlah peraturan dan batasan tata ajar yang bertoleransi juga, yang dikomunikasikan dengan jelas pada semua pihak. Baik pengajar maupun mahasiswanya.

Apa yang harus dilakukan pengajar jika menjumpai mahasiswa Biologi, tapi paranoid pada laba laba? Apa yang harus dilakukan pembimbing skripsi, jika menjumpai mahasiswa tekniknya tidak memiliki dan tidak bisa menggunakan meja gambar?

Apapun keputusannya nanti, saya mohon, komunikasikan pada calon mahasiswa sebelum mereka memutuskan mengambil jurusan atau prodi di kampus ini.

Demi daya kami menjaga posisi sebagai murid, atau mahasiswa, di kampus ini.

Terima kasih.

25012011

Eny Erawati

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.