[JAWAPOS – Mahasiswa] Ayo Segera Bangkit, Perempuan-Perempuan Nrima

Ayo Segera Bangkit, Perempuan-Perempuan Nrima
Oleh
Lydia Sepvirna Eka Putri
Mahasiswi Jurusan Psikologi Universitas Negeri Malang

BENARKAH kita sebagai perempuan ditakdirkan patuh kepada suami? Pada etnis tertentu, perempuan bahkan wajib punya sifat nrima. Mereka menerima dan menjalankan keputusan apa pun yang diambil suami. Seakan menjadi dogma yang ak mungkin dilawan lagi, perempuan punya garis takdir yang harus terus manut kepada lelaki, kepada ’’yang punya dunia’’. Keputusan suami seolah menjadi ’’undang-undang dasar’’ , sistem hukum tertinggi dalam umah tangga. Para istri tak boleh melakukan apa pun, kecuali menuruti perintah atau keputusan kepala umah tangga itu. Meski, terkadang keputusan suami bertentangan dengan kata hati perempuan.

Di dunia ini tidak ada seorang pun perempuan yang bersedia untuk dimadu, bukan? Namun, berjuta perempuan di dunia dengan rela menyaksikan suaminya sendiri, laki-laki yang dicintainya, menikah lagi dengan perempuan lain. Dengan berbagai alasan atau pertimbangan tertentu, para perempuan itu mengizinkan suami mereka untuk berpoligami. Namun, saya yakin, di dalam hati mereka menangis. Di dalam hati, mereka ingin berontak, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Di dalam hati, ada sejumput ketidakrelaan tatkala memandang suami mereka membagi cinta kepada perempuan lain.

Keharusan untuk memiliki sikap nrima juga membatasi perempuan dalam  mengembangkan potensi dan karir mereka. Sifat laki-laki yang cenderung tidak suka dikalahkan membuat perempuan harus selalu merendah di hadapan suami.

Padahal, perempuan yang punya kelebihan dalam ketelitian, kete-latenan, dan profesionalisme bisa menjadi potensi yang besar. Mereka pasti punya prestasi yang jauh lebih baik daripada kaum pria. Sayang, banyak perempuan Indonesia yang memilih untuk tidak meng gunakan kelebihan itu dengan alasan tidak diizinkan suami.

Perempuan memang seharusnya lebih paham tentang sifat nrima. Memang, suami adalah pemimpin dalam keluarga. Tetapi, sebagai manusia, pemimpin juga bisa salah. Kaum pria pun berpotensi khilaf.

Nah, tugas perempuan sebagai pendamping hidup adalah meng-ingat kan suami agar lebih bijak dalam mengambil keputusan. Jangan sampai sifat nrima para perempuan itu justru membunuh karakter mereka. Yang harus diingat, perempuan juga berhak untuk didengarkan. Perempuan punya hak yang sama tinggi dengan kaum pria dalam hal menge mukakan ide, aspirasi, penda-pat, bahkan dalam hal karir.

Jika perempuan-perempuan hebat di Indonesia lebih berani dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki, saya yakin, Indonesia akan dengan mudah menggapai kemajuan pada masa yang akan datang. (*)

[HERVIEW] Selasa, 22 Maret 2011 halaman 23

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.