Mafia Surga

MAFIA SURGA

Jamane jaman edan, yen ora melu edan ora keduman (jamannya jaman gila, kalau tidak ikut-ikutan gila tidak akan kebagian) , begitu ungkapan bahasa Jawa tempo doloe. Masak sih? Emangnya udah separah itukah republik kita? Tetapi yang lebih aneh lagi adalah judul tulisan ini. Hem…, ada-ada saja judul tulisan ini, surga kok ada mafianya. Biasanya telinga kita itu lebih akrab dengan mafia peradilan, mafia perdagangan, mafia perijinan, mafia tanah dan sebagainya. Ini kok aneh sekali. Mungkin para pembaca mengira penulis sudah kehabisan ide. Enggak la yauw…, ikuti saja jalan ceritanya.

Bulan Besar pada penanggalan Orang Jawa biasanya lebih dikenal dengan bulan berkat. Eiiit…, pelan-pelan kalau membaca. Kalau terlalu cepat membacanya…, bisa keliru dengan berkah. Bisa jadi…, asal kata berkat itu dari kata berkah tetapi yang dimaksud di sini adalah makanan yang dibawa pulang oleh orang yang telah selesai berkenduri/selamatan. Apalagi kalau bukan dari acara selamatan akad nikah. Biasanya setelah kegiatan itu dilanjutkan dengan resepsi pernikahan.

Di suatu tempat pada suatu masa. Ada beberapa kelompok jama’ah yang sedang menghadiri resepsi pernikahan seorang warga desa. Ada kelompok jama’ah Yasinan dan Tahlilan. Ada jama’ah asrop—jama’ah drink—jama’ah kubam (mabuk). Ada jama’ah pejudo tetapi yang dibanting bukan orang melainkan kartu remi/kartu lintrik alias tukang judi. Ada jama’ah Sawunggaling alias tukang adu ayam. Wah… yang paling seru adalah jama’ah nasional! Mungkin para pembaca ada yang angkat topi pertanda menghormat. Nasionalisme? Hehehe…, keliru. Nasional adalah istilah yang diberikan oleh para pemabuk dan para penjudi bagi seseorang yang sealiran dengan mereka tetapi masih mempunyai nilai plusnya. Emangnya pemabuk dan penjudi masih mempunyai nilai plus? Nah…, istilah nasional ini oleh mereka diperuntukkan bagi seseorang yang rajin melaksanakan Tahlilan dan Yasinan tetapi masih rajin juga mabuk dan bermain judi.

Pesta pernikahan kali ini, tuan rumah menyiapkan beberapa meja dan kursi yang diatur sedemikian rupa. Deretan pertama, paling depan untuk warga/kelompok tamu biasa. Deretan kedua, sebelah tengah agak ke belakang untuk jama’ah drink. Deretan ketiga, paling belakang untuk jamaah Sawunggaling dan pejudo kartu. Lho? Masih ada yang belum mempunyai tempat! Siapa? Kaum nasionalis! Di mana tempatnya? O…, yang itu? Hehehe…, kira-kira dimana, ya? Ingin tahu? Para Nasionalis ditempatkan di pojok paling belakang di sudut kanan-kiri, duduknya membelakangi para undangan.

“Mo…, ini satu sloki untukmu! Biasa untuk pemanasan dulu”, begitu ujar Gareng.

“Oke Bro”, jawab Paimo.

Malam semakin larut…, sausana pesta semakin gaduh. Kata-kata yang keluar dari mulut para pemabuk semakin tak terkendali. Vulgar! Jorok! Provokatif!

“Mo…, kamu kemarin apa sudah menyerahkan uang titipan kakakmu Bilung kepada Pak Gasing?” Tanya Temun.

“Sudah!”

“Saat ini Bilung berdinas dimana?” Tanya Temun.

Sambil mengusap air liur yang mulai membanjiri bibirnya yang motasek (monyong tapi seksi), Paimo menjawab: “Jines nok Sumantra!” Maklumlah bila dia mulai mabuk maka warna vokalnya berubah menjadi tidak jelas. Mestinya dinas menjadi jines. Sumatra menjadi Sumantra.

“Saya tahu, kemarin Paimo menyerahkan uang ke Pak Gasing sejumlah Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah). Katanya sumbangan untuk kenduri malam Jum’at Legi dalam rangka kirim do’a bagi al marhum Pak Togog, Bapaknya!” Begitu celoteh Gareng.

“Paimo kurupsiii…!” Teriak Temun.

Seketika itu…, perhatian para jama’ah judo—jama’ah Sawunggaling dan kaum Nasionalis tertuju kepada Paimo.

“Saya tahu…, Bilung menyerahkan uang kepada Paimo untuk keperluan kirim do’a bagi arwah ayah mereka sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)”, kata Paimun.

Salah satu dari kaum nasionalis berkata: “Aku heran…., kok ada panitia do’a bersama. Murah lagi iurannya. Besar iurannya antara seribu sampai sepuluh ribu rupiah. Jika dibandingkan dengan tiket pertandingan sepakbola Arema—kelas VVP untuk big match—harganya Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Bagaimana mungkin tiket masuk surga hanya seratus ribu rupiah. Itu saja masih dikorupsi sembilan puluh ribu rupiah sehingga menjadi sepuluh ribu rupiah!”

Masih dari tempat duduk kaum nasionalis ada yang berkata: “Seingat saya—setiap ada warga Muslim yang meninggal dunia—Pak Modin selalu memberikan pesan dan nasihat bagi umat. Bahwa semua orang yang sudah meninggal dunia maka semua amalannya akan terputus. Kecuali ada tiga perkara yang menyertai jenazah di dalam kuburnya: Pertama, putra-putri yang sholeh/solihah dan berdoa untuk jenazah orangtuanya. Kedua, amal jariyah yang telah diberikan pada semasa hidup oleh yang bersangkutan (jenazah). Ketiga, mengamalkan ilmu yang baik dan bermanfaat bagi umat—yang telah dilakukan oleh yang bersangkutan pada semasa hidupnya”.

“Mana mungkin Paimo bisa dimasukkan ke dalam kategori anak yang sholeh! Tidak pernah melaksanakan perintah agama. Semua larangan agama dilanggarnya. Tidak mau bekerja. Pekerjaannya hanya berjudi, mabuk, menipu, mencuri dan berzina!” Kata Cakil.

Telinga Paimo berubah memerah! Matanya nanar! Mulutnya menganga! Giginya gemertak! Badannya gemetar!

Bersambung…

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.