PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

CERITA WAYANG DAPAT DIPAKAI

SEBAGAI BAHAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

Oleh: Djoko Rahardjo*)

 

Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2011 mengambil sub tema “Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti” adalah sesuatu yang harus diperhatikan oleh seluruh rakyat Indonesia . Khususnya, bagi pelaksanaan pendidikan budi pekerti.

Dahulu, sekitar  tahun 1970, anak didik pada sekolah dasar (SD) sangat bangga bila “dapat membantu” membawakan tas atau sepeda angin/sepeda pancal milik Bapak atau Ibu Gurunya. Bahkan anak didik saling berebut untuk mendapatkannya. Hal tersebut adalah cerminan “budi pekerti” atau akhlak siswa terhadap gurunya. Bagaimana sikap anak didik di era sekarang?

Memang…, Bapak/Ibu Guru di era sekarang sudah banyak yang mengendarai sepeda motor bahkan mobil tetapi bukan berarti kebanggaan/rasa hormat kepada seorang guru akan hilang begitu saja. Suatu ketika…, kita mendengar seorang siswa atau mahasiswa berbicara dengan menggunakan kata “aku” bukan kata “saya” kepada guru/dosennya. Nampaknya, “urusan” etika atau sopan santun tidak lagi menjadi ukuran keberhasilan pendidikan di era sekarang, yang penting secara akademis siswa/mahasiswa memperoleh nilai akhir: NUN atau IPK yang tinggi.

Berkaitan dengan pendidikan budi pekerti, para leluhur Bangsa Indonesia telah memiliki “sarana” berupa wayang purwa yang telah memiliki pakem tetap. Artinya, setiap dalang atau orang yang akan menggelar/menceritakan kepada orang lain/anak didik tidak perlu merasa takut keliru. Banyak lakon/kisah dalam wayang purwa mengandung muatan pendidikan budi pekerti/pendidikan akhlak yang dapat diberikan kepada anak didik Bangsa Indonesia.

Sebagai contoh pada lakon/episode “Rama Tundung” pada serial Ramayana terdapat pendidikan akhlak atau pendidikan budi pekerti yang dapat diambil dari sikap Raden Barata seperti pada kisah di bawah ini.

Prabu Dasarata, Raja di Negara Ayodya memiliki tiga isteri yakni (1) Dewi Kausalya, (2) Dewi Kaikayi, dan (3) Dewi Suwitra.  Dewi Kausalya memiliki anak yang bernama Raden Ramawijaya. Dewi Kaikayi memiliki anak yang bernama Raden Barata. Sedangkan Dewi Suwitra memiliki dua anak yakni Raden Laksmana dan Raden Satrugna.

Sebagai raja yang bijaksana, Prabu Dasarata memiliki keinginan untuk menjadikan anak sulungnya (Raden Ramawijaya) menjadi raja di Ayodya menggantikan dirinya. Tetapi mendapat “penolakan keras” dari Dewi Kaikayi. Sebab Dewi Kaikayi menginginkan Raden Barata, putranya menjadi Raja Ayodya.  Alasan Dewi Kaikayi kepada Prabu Dasarata adalah bahwa dahulu sebelum dipersunting sebagai isterinya, permintaannya adalah kelak bila dia mempunyai anak “harus menjadi raja/ratu” di Kerajaan Ayodya, dan hal itu “disetujui “ oleh Prabu Dasarata.

Dewi Kaikayi  akhirnya “mengambil alih” perintah raja untuk memerintahkan Raden Ramawijaya, Dewi Shinta (Isteri Ramawijaya), dan Raden Laksmana pergi bertapa ke Hutan Dandaka selama empat belas tahun. Disinilah awal tragedi itu dimulai. Mendengar perintah tersebut, Prabu Dasarata mengalami depresi mental yang berat, tidak begitu lama beliau meninggal dunia.

Kerajaan Ayodya mengalami kekosongan kepemimpinan maka Dewi Kaikayi meminta kepada putranya, Raden Barata agar menjadi raja. Bagaimana sikap Raden Barata? Ternyata Raden Barata tidak langsung menerima permintaan ibunya. Dia meminta waktu untuk menemui Raden Ramawijaya di Hutan Dandaka.

Raden Barata datang ke Hutan Dandaka dengan menangis tersedu-sedu sambil memeluk erat-erat tubuh Raden Ramawijaya, kakaknya yang sekaligus pewaris tahta kerajaan. Sambil terbata-bata dia menceritakan penyebab kematian ayahandanya dan keberatan dirinya untuk melaksanakan perintah ibunya.

Raden Ramawijaya memberi nasihat agar Raden Barata melaksanakan permintaan Ibundanya tetapi hal itu ditolak oleh Raden Barata. Alasannya, yang berhak menjadi raja menurut hukum kerajaan adalah Raden Ramawijaya. Tetapi sebagai seorang anak yang berbakti kepada Ibundanya harus melaksanakan perintah tersebut. Keduanya menjadi bimbang hatinya.

Cukup lama Raden Ramawijaya dan Raden Barata berfikir untuk mencari jalan keluarnya. Akhirnya…, Raden Barata bersedia dengan mengajukan syarat seperti berikut. Pertama, yang berhak menjadi raja adalah Raden Ramawijaya. Kedua, dirinya “hanyalah mewakili” Raden Ramawijaya selama empat belas tahun dalam pengasingannya. Ketiga, dia tidak akan menduduki “singgasana/kursi” raja, hanya menempati kursi pangeran/adik raja. Keempat, sebagai simbol kehadiran rajanya, dia meminta terompah (alas kaki) Raden Ramawijaya ditempatkan di atas singgasana raja.

Pelajaran yang dapat dipetik dari lakon/episode “Rama Tundung” pada serial Ramayana adalah (1) Raden Barata telah melaksanakan dengan baik perintah Dewi Kaikayi, Ibundanya. Artinya, dia telah memiliki budi pekerti yang baik/berakhlak  kepada Ibundanya, dan (2) Raden Barata telah melaksanakan hukum tatanegara dengan baik, yakni memposisikan dirinya hanya sebagai “pelaksana harian” bukan sebagai raja. Artinya, dia telah berbuat baik/berbudi pekerti yang baik/berakhlak kepada kakaknya yang sekaligus rajanya.

*) Staf Subbag Sarana Pendidikan BAAKPSI UM

Post Author: humas admin

1 thought on “PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

    Anonymous

    (20 April 2024 - 14:34)

    Kok jadi Raden sih wkwkwkwk

Leave a Reply

Your email address will not be published.