Profesor yang Tak Pantas Menjadi Teladan

PROFESOR YANG TAK PANTAS MENJADI TELADAN

(Dari Sudut Pandang Kebudayaan Jawa)

Oleh: Djoko Rahardjo*)

 

Sejarah berdirinya Negara Republik Indonesia telah mencatat  berbagai peristiwa yang telah diperankan oleh para tokoh intelektual di masa lalu. Masa perjuangan merebut kemerdekaan, Orde Lama dan Orde Reformasi. Setiap zaman memiliki cita-cita perjuangan  yang berbeda. Bung Karno dan Bung Hatta beberapa kali keluar-masuk penjara pemerintah kolonial Belanda disebabkan oleh cita-citanya untuk “memperjuangkan Indonesia Merdeka”. Hamka pernah beberapa kali mencicipi pengapnya ruang sel penjara di masa Orde Lama disebabkan oleh “perbedaan pandangan politiknya” terhadap pandangan politik Bung Karno. Di Zaman Reformasi sekarang ini ada “profesor” dimasukkan ke penjara. Apa penyebabnya? Kita masih ingat dengan dua orang profesor yaitu (1) mantan Menteri Riset dan Teknologi RI dan (2) mantan Menteri Agama RI. Mereka berdua masuk penjara disebabkan melakukan korupsi! Pantaskah mereka menjadi teladan yang baik?

Pada tulisan ini “tidak akan” membahas dua orang profesor  tersebut tetapi kita akan mengkaji budi pekerti para intelektual dari sudut pandang Kebudayaan Jawa.

SUDUT PANDANG KEBUDAYAAN JAWA

Dalam Kebudayaan Jawa,  khususnya kisah Wayang Mahabarata telah banyak “teladan  baik” maupun “teladan buruk” yang telah dipertontonkan oleh ketiga  tokoh intelektual: maharesi/mahaguru/guru besar/profesor seperti (1) Mahaguru Abiyoso, (2) Mahaguru Bismo dan (3) Mahaguru Dorna. Dalam kisah Mahabarata diceritakan bahwa Abiyoso adalah mahaguru/profesor yang memiliki “kwalitas nomor satu”. Mengapa demikian? Kalau begitu ada profesor kwalitas nomor dua dan kwalitas nomor tiga. Berarti ada singkatan “Prof Kw 1, Prof Kw 2, dan Prof Kw 3”.  Memang secara eksplisit tidak ada pengklasifikasian seperti itu tetapi penulis “menangkap” ada pesan moral dari tingkah laku yang diperankan oleh ketiga  mahaguru tersebut.

Mahaguru Abiyoso

Kearifan intelektual yang dimiliki oleh Mahaguru Abiyoso bersumber dari (1) kematangan intelektual, (2) kematangan  emosional, (3) kematangan sosial, dan (4) kematangan spiritual. Kearifan intelektual  ini dinampakkan  pada “lelaku” ketika beliau mentrasfer ilmunya kepada para mahasiswanya. Beliau selalu memadukan antara “ilmu dunia” dan “ilmu akhirat”.

Mahaguru Abiyoso memiliki tiga orang putra yakni (1) Raden Destarata, menurunkan 100 orang putra/putri yang terkenal dengan nama “Kurawa”, (2) Raden Pandu Dewanata, menurunkan 5 orang putra yang terkenal dengan nama “Pandawa”, dan (3) Raden Yomo Widuro (tidak memiliki keturunan). Setelah ketiga putranya menginjak usia dewasa maka “tahta kerajaan” Hastinapura oleh Mahaguru Abiyoso diserahkan kepada putra keduanya, yaitu Raden Pandu  Dewanata. Sebab putra pertamanya, Raden Destarata tidak memenuhi syarat untuk menjadi raja karena “matanya buta”. Mahaguru Abiyoso  memilih “back to campus” atau kembali ke Pertapaan Saptorenggo. Cita-citanya/jalan hidupnya adalah sebagai seorang “ilmuwan sejati”. Pada episode Rabine Raden Abiyoso (Pernikahan Raden Abiyoso) diceritakan bahwa beliau bersedia menikah hanya untuk menurunkan raja Hastinapura.

Pandangan beliau terhadap kehidupan, di jagat ini, tidaklah mungkin seorang gurubesar dapat berlaku adil dan berfikir objektif bila “masih memegang kekuasaan”. Oleh sebab itu, beliau memilih “lengser keprabon madep pandhito ratu”. Artinya, beliau tidak mau menyampuri urusan yang bersifat non akademik. Di kemudian hari semua mahasiswanya (anak dan cucunya) selalu datang ke kampusnya/pertapaannya di Saptorenggo untuk mempelajari ilmu maupun meminta nasihatnya.

Mahaguru Bismo

Kerarifan  intelektual yang dimiliki oleh Mahaguru Bismo memang “tidak  semantap” Mahaguru Abiyoso, ketika  mentransfer ilmu kepada para mahasiswanya “selalu diliputi” oleh kebimbangan. Hal ini disebabkan oleh posisi beliau di Kerajaan Hastinapura “terbelenggu” oleh kekuasaan raja, Prabu Suyudono (Kurawa). Di sini ada pertarungan kepentingan. Di satu sisi sebagai seorang professor/mahaguru, beliau harus bersikap rasional dan obyektif tetapi di sisi lain beliau sebagai seorang penasihat raja harus mengabdi kepada rajanya. Raja yang sering berbuat kedzaliman kepada para mahasiswa Prof, Bismo (Pandawa).

Pandangan hidupnya adalah yang penting dapat mengabdi pada Negara Hastinapura. Meskipun diperintah oleh  seorang raja yang jahat. Pada lakon “Bismo Gugur”, Raja Hastinapura, Prabu Suyudono pernah mengatakan bahwa Mahaguru Bismo adalah “seorang yang munafik”. Secara “lahiriyah” beliau berada di fihak “Kurawa” tetapi secara “batiniyah” beliau memihak “Pandawa”. Jauh sebelum perang Baratayudha dimulai, ketika masih remaja, Raden Bismo (Raden Dewa Brata) pernah membuat suatu kesalahan yang menyebabkan “kematian” Dewi Amba. Pada lakon Bismo gugur inilah, Mahaguru Bismo meninggal dunia di tangan Srikandi sebagai titisan Dewi Amba.

Mahaguru Dorna

Hampir tidak ada kearifan pada diri Mahaguru/Profesor Dorna. Dia adalah seorang profesor/mahaguru yang “tak pantas menjadi teladan”. Sebab, yang bersangkutan memiliki budi pekerti/akhlak yang tidak terpuji. Cita-cita Profesor Dorna adalah “memburu jabatan” di Negara Hastinapura. Setelah jabatan tertinggi itu diraihnya maka dengan membabibuta menumpuk harta yang sebanyak-banyaknya.  Tidak peduli, apakah harta yang didapat itu dari cara yang tidak benar.

Pandangan hidupnya adalah bersedia mengabdi kepada raja atau pangeran yang dapat memberikan kedudukan dan harta yang sebanyak-banyaknya. Ilmunya “dijual” untuk memuaskan nafsunya. Perjalanan hidupnya penuh dengan tipu daya. Pernah suatu ketika, para mahasiswanya (Kurawa dan Pandawa) diajak menyerang Prabu Durpada di Kerajaan Pancala. Raja dan pasukan Kerajaan Pancala ditaklukkan oleh Pasukan Profesor Dorna. Raja Pancala harus menebus kekalahannya dengan menyerahkan separuh dari wilayah kerajaan dan separuh hartanya kepada Profesor Dorna.

Dalam lakon “Dewa Ruci’, Profesor Dorna pernah “menipu” mahasiswanya (Bimo/Werkudoro) untuk mencari “Tirto Pawitro Mahening” atau air kehidupan di tengah lautan yang ganas. Sesungguhnya “lelaku” ini dilakukan untuk menggapai kesempurnaan hidup. Artinya, hal ini dapat dilakukan bila seseorang sudah sampai pada ajalnya.  Apa tujuan Profesor Durno yang sebenarnya? Tujuannya hanya mencari ganjaran harta! Sebab, Prabu Suyodono menginginkan kematian Werkudoro. Pada kisah yang lain Profesor Dorna memperoleh keturunan tidak melalui perkawinan/pernikahan yang syah. Aswotomo lahir dari “perselingkuhan” Prof. Durno dengan wanita binal.

Sungguh tragis kematian Prof. Durno pada lakon Dorna Gugur, kepalanya dipenggal oleh Raden Destro Jumeno (Putra Prabu Durpada) pada perang Bharatayuda di palagan “Tegal Kurusetro”. Kematian tersebut sebagai balasan dari penghinaan yang pernah dilakukan oleh Prof. Dorna kepada Prabu Durpada.

Bila dicermati secara  seksama, dari paparan di atas terdapat tiga tingkatan atau  tiga  kwalitas “kemahaguruan”, yaitu  tingkat : (1) Mahaguru Abiyoso , (2) Mahaguru Bismo dan (3) Mahaguru Dorna.

 

*) Staf Subbag Sarana Pendidikan BAAKPSI UM

 

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.