IDEOLOGI DAN PEROKOK

Di web ini, saya pernah menulis KISAH UNIK TENTANG MEROKOK. Tulisan tersebut sebagai bentuk kecintaan saya kepada sahabat-sahabat saya, para perokok berat, agar mereka sehat dengan tidak merokok. Walau saya sadar, betapa sulitnya “mengubah ideologi” perokok. Sebagai salah satu bukti kecintaan itu, berikut ini 5 (lima) kisah nyata hasil interaksi saya dengan mereka. Ideologi mereka unik, logikanya unik, gayanya unik: meminjam istilah yang digunakan oleh yunior saya, Dr. Kusubakti Andajani, semakin lama perokok itu semakin pintar: pinter mangsuli (pintar membuat jawaban, pinter ngelesi, kata orang Malang). Sekali lagi, ini adalah bentuk kecintaan saya kepada mereka, sedikit pun tidak bermaksud melecehkan, apalagi membenci mereka.
(1) Salah seorang jamaah haji KBIH UM pada suatu musim haji adalah Prof. Imam Suyitno. Beliau termasuk beraliran suni (nyusu geni ‘api’), ahli hisap (ahli menghisap rokok), anggota dewan suro (dewan peN-+susu rokok). Saat mengantar keberangkatan haji beliau, saya sudah pesan supaya usai (pulang) haji nanti berhenti merokok. Jawab beliau, insya-Allah Mas. Ketika tiba di Asrama Haji Sukolilo, saya dan Pak Prof. Imam Asrori menjemput jamaah, termasuk beliau. Saat bertemu di pintu keluar “gudang” asrama haji, sayalah yang pertama menjumpai beliau dan beliau berkata, “Mas wektu mulih haji, aku leren ngrokok, lho Mas” (‘saat kepulangan haji, saya berhenti merokok Mas). Bagus, batin saya. Tapi tetap curiga, omongan ini hanya akal-akalan saja. Saat saya berkunjung ke rumahnya 5 hari kemudian, saya jumpai beliau merokok. Saya tanya, “Lho jarene mulih haji, leren ngrokok, Dik?”  (Katanya, pulang haji berhenti merokok Dik). “Lho, iya Mas. Waktu mulih haji aku kan leren ngrokok.” (‘ waktu perjalanan pulang haji berhenti merokok’). “Sekarang kan di rumah, nggak (perjalanan) pulang haji lagi kan. Jadi ya, merokok lagi”, imbuhnya. Ketahuan kalau akal-akalan kan?
(2) Salah seorang dosen perokok berat, Bapak MM, meninggal dunia. Pembawa acara menyilakan saya untuk memberi sambutan atas nama keluarga dan lembaga. Saat saya berjalan menuju tempat memberi sambutan, saya melewati kerumunan sahabat Bapak MM yang sama-sama perokok berat. Mereka tahu kalau saya gencar “berkampanye” hidup sehat dengan tidak merokok. Salah seorang di antara mereka berkomentar begini, “Andai Pak MM saat ini masih (bisa dan mau) merokok, tentu Beliau tidak meninggal dunia”.
(3) Semasa hidupnya, Bapak MM aktif menulis buku. Sejak saat menjamurnya fb, beliau aktif meng-up date satusnya di fb. Salah satu “temannya” adalah seorang putrinya. Putri beliau juga aktif berkampanye hidup sehat tanpa rokok, terutama kepada ayahanda tercinta. Menurut cerita beliau, putrinya sering berdebat tentang bahaya merokok. Di antaranya mendebatkan peringatan yang tercantum dalam bungkus rokok: MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER …. dst. Mungkin karena jengkel, putrinya menulis di fb tersebut, ayah berideologi MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER …, tapi MEROKOK BELI TIDAK MENYEBABKAN KANKER …. Uhhhh, dasar ndableg.
(4) Pada hari Ahad di tahun 2010, saya hadir di acara qiratil Quran di rumah Pak Taat S, Kabag TU LPM, di Perumahan Tegalgondo. Peserta acara itu adalah sahabat-sahabat pegawai dan dosen UM. Pemandu acara adalah al-Hafidz Bapak Asrukin dan al-Hafidz Bapak M. Syafa’at. Saat itu sedang gencar-gencarnya pemberitaan fatwa haram merokok. Pada saat itu, ustadz Asrukin yang perokok berat sedang flu dan batuk. Beliau berkomentar, “Tidak usah difatwakan haramnya merokok kalau perokok sakit apalagi mati pasti berhenti merokok”. Saya timpali, “Bagi saya sebenarnya kalau asap rokok itu ditelan atau tidak usah dihembuskan ke luar mulut, merokok  tidak perlu diharamkan. Kan tidak mengganggu orang lain.” Ustad Asrukin dengan ilmu mantiqnya yang canggih menyangkal, “Ya kalau begitu, bermobil juga haram. Agar tidak haram, ujung knalpot mobil Bapak harus dimasukkan ke kabin mobil, jangan dibiarkan ke luar. Biar Bapak nikmati sendiri, agar orang lain tidak menghirup CO2 yang berbahaya itu ….”
(5) Di SLTA tahun 1977—1980, saya memiliki sahabat 160 siswa (dalam 4 kelas paralel). Siswa-siswa itu, termasuk saya tentunya,  99%  adalah “bertradisi” Nahdlatul Ulama (NU) dalam beribadah khas dan dalam berbudaya Islami. Sebaliknya, guru-gurunya 99% “bertradisi” Muhammadiyah. Mereka sangat gencar mengajarkan dan mendidikkan ke-Muhammadiyah-an kepada para siswanya. Dalam kenyataan, sampai lulus, bahkan sampai sekarang 99% juga sahabat-sahabat saya itu tetap NU. Di awal tahun 2011 lalu, para pengurus OSIS-nya bertemu di Lumajang di rumah Ketua Tanfidzi PC NU Lumajang yang sedang dijabat oleh mantan Ketua Umum OSIS sekolah saya.  Di antaranya, mereka bercerita, Si A mendirikan Ponpes di kota P. Si B jadi Ketua PW NU di Provinsi Q. Adik kelas kita yang culun yang dulu Ketua Pramuka jadi politisi PKB dan sekarang pimpinan BPK. “Di samping jadi dosen, Mas Dawud punya pondok pesantren NU di mana dan atau jadi pengurus NU daerah mana?”, tanya salah seorang sahabat. Belum sempat saya jawab, sahabat saya yang Ketua NU Lumajang menimpali, “Mas Dawud tidak memenuhi syarat untuk kedua posisi itu karena dua alasan. Pertama, tidak merokok. Kedua, kalau diundang atau mengundang rapat tepat waktu.”

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.