Islam Nusantara?

Seminar Nasional Islam Nusantara: “Meneguhkan Moderatisme dan Mengikis Ekstremisme dalam Kehidupan Bergama” diselenggrakan oleh Pusat Pengembangan Kehidupan Beragama (P2KB), Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran (LP3), Universitas Negeri Malang (UM) pada hari Sabtu, 13 Februari 2016; Waktu: pukul 07.30—17.00 wib; Tempat: Aula Utama Gedung A3 UM, lantai II; Narasumber I: Prof. Dr. Haryono, M.Pd, Wakil Rektor I Universitas Negeri Malang (UM); Narasumber II, K.H. Miftahul Achyar ; Narasumber III, K.H. Muhammad Najih Maimoen.

Opening Ceremony
1. Pembukaan
2. Tilawatil Qur’an
3. Menyanyikan lagu Indonesia Raya
4. Laporan dan Sambutan
5. Penutup.

Laporan Ketua LP3 UM
Dr. H. Sulton, M.Pd dalam laporannya menyampaikan bahwa tema seminar nasional: “Meneguhkan Moderatisme dan Mengikis Ekstremisme dalam Kehidupan Beragama” adalah menarik. Mengapa menarik? Karena popularitas dan nuansa dari tema tersebut telah digulirkan sebagai tema kunci dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) Ke-33 di Jombang Jawa Timur pada awal Agustus 2015. Meskipun lahir dari NU, namun telah menjelma menjadi isue nasional yang diperbincangkan secara luas. Istilah Islam Nusantara menjadi polemik, terjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan seminar nasional dan bathsul masail ini diharapkan ada titik temu dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan beragama di negara kita.

Dalam kesempatan itu beliau melaporkan bahwa kegiatan seminar nasional dan bathsul masail diikituti oleh peserta 333 orang dengan rincian: 1) pendaftar online dan offline = 195 orang, 2) Pengurus NU Wilayah Jawa Timur = 28 orang, 3) Pengurus NU Cabang se-Jatim = 90 orang, dan 4) sepuluh pondok pesantren di Jatim yang terpilih = 20 orang. Adapun jumlah makalah seminar nasional yang disajikan adalah 34 judul.

Sambutan Rektor UM
Prof. Dr. Ach. Rofi’uddin, M.Pd dalam sambutannya mengatakan: Apa yang membentuk radikalisme ini? Terkait dengan pertanyaan tersebut, beberapa saat yang lalu beliau menghadiri pertemuan para rektor dan ketua Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dengan Menteri Bappenas, Sofyan Djalil. Inti paparan dari Menteri Bappenas , ternyata terorisme dan radikalisme adalah produk dari keluarga , dari sekolah dan dari masyarakat.

Mengapa bisa begitu? Bukankah keluarga dan sekolah menginginkan agar anak-anak menjadi orang yang baik? Dalam keluarga anak dibuly, anak selalu ditakut-takuti dan seterusnya, yang ujungnya menumpuk menjadi sebuah masalah bagi anak. Ditambah sekolah juga memberi kontribusi. Di sekolah anak tidak dihargai dan seterusnya. Anak menjadi stres, dan akhirnya melahirkan berbagai bentuk tindak kekerasan.

ISLAM_NUSANTARA

 

Pemaparan Materi oleh Narasumber I

Prof. Dr. Haryono, M.Pd dalam makalahnya yang berjudul “Memahami Islam Nusantara dalam Konteks Keindonesiaan (Sosial-Historis)” mengulas beberapa hal seperti berikut.

Realitas Nusantara
• Realitas geografis yang ada di Nusantara cukup beragam
• Kondisi Flora dan Satwa di Indonesia sangat beragam
• Manusia yang tumbuh dan berkembang di Indonesia cukup beragam
• Agama dan kebudayaan yang berkembang di Indonesia tidak tunggal

Masuknya Islam ke Nusantara
• Waktu: masuk, abad ke 7 atau 13? Sebagai suatu rentang waktu, cukup kompleks.
• Aktor: Orang dari Timur Tengah, Gujarat atau orang Indonesia sendiri?
• Geografis: Wilayah mana yang pertama kali mengenal dan wilayah mana yang lebih intensif?
• Masuknya Islam di Nusantara tidak merata dan terjadi dalam waktu yang bersamaan.

Cara Pandang
• Islam menyatu dengan kebudayaan Arab —-> Centrum -Peri-peri
• Islam berbeda dengan kebudayaan Arab —-> Subyek -Subyek
• Islam berinteraksi dengan pelbagai budaya lokal?
• Islam terkait dengan kekuasaan politik?
• Islam lebih terkait dengan kebudayaan?
• Terjadi perebutan hegemoni tentang masa lalu yang potensial terjadinya penggunaan dan penyalahgunaan sejarah.
• Sejarah Islam sebagai aktualisasi “historical resentment” dan “historical revenge” atau “integrating factor” dan “common destiny”.

Dampak
• Islam sebagai perusak tatanan yang sudah ada,
• Islam memusuhi kebudayaan yang sudah ada.
• Islam merawat dan merevitalisasi kehidupan di Nusantara.
• Islam sebagai faktor integrasi masyarakat Nusantara.
• Islam sebagai sarana liberasi dan humanisasi.
• Islam menjadi energi rejuvinasi peradaban Nusantara.

Tiga Pandangan Sejarah
• Rentang sejarah Islam menjadi suatu “keterputusan” dengan masa lalu Nusantara (C. Snouck Hurgronje)
• Islam mampu menjaga “kelangsungan dan keberlangsungan” kebudayaan yang beragam di Nusantara (Schrieke)
• Realitas historis dan sosiologis Islam sarat dengan “perubahan” dan “keberlangsungan (Harry J. Benda).

Islam Tumbuh Bersama Budaya
• Islam masuk bersama aktivitas budaya, terutama perdagangan.
• Terjadi interaksi dengan masyarakat dan kebudayaan setempat.
• Islam lebih dipahami sebagai suatu nilai, ajaran yang subtantif.
• Merajut keragaman budaya yang sudah ada dalam bingkai keislaman yang melenturkan aspek etnisitas.
• Lebih menonjolkan aspek kebersamaan dan toleransi.

Merajut Keberagaman
• Pandangan radikal yang memposisikan satu dimensi kehidupan gagal melihat, memahami dan mengatasi keberagaman —> “dendam dan kemarahan”
• Dalam keberagaman muncul kekuatan dan pandangan yang menekankan pada dimensi “substansial” dibanding “formalitas yang bersifat lateral”
• Menonjolnya pemikiran dan komunitas pendukung yang menekankan pada “keseimbangan” (al-tawazun), keadilan (al-ta’adul) dan toleransi (al-tasamuh) —> “ramah dan mendamaikan”
• “Islam Wasathiyyah” kongruen dengan Pancasila dan Keindonesiaan.

Pemaparan Materi oleh Narasumber III
K.H. Muhammad Najih Maimoen dalam makalahnya yang berjudul “Masukan untuk Gagasan Islam Nusantara”, pada bagian penutup makalah, beliau memberikan masukan seperti berikut.

Penggunaan istilah Islam Nusantara sebenarnya telah mengurangi bahkan merusak universalitas Islam. Pada dasarnya jika Islam dimaknai dengan hal partikular, maka justru akan mereduksi makna Islam itu sendiri, sehingga istilah dan konsep Islam Nusantara menjadi sangat problematis. Problem akidah misalnya. Jika Islam Nusantara itu berkompromi dengan budaya lokal yang terindikasi syirik maka Islam Nusantara telah melanggar akidah. Karena dalam masalah akidah tidak ada ijtihad. Konsep Islam Nusantara ini merupakan salah satu agenda penyebaran paham Pluralisme.

Islam Nusantara sebenarnya gambaran Islam yang tidak perlu dipermasalahkan. Islam tahlilan, yasinan, ziarah kubur, tawassul, muludan dan lain sebagainya, inilah Islam Nusantara. Sebuah tatanan yang sudah baku dan mengakar di tengah-tengah umat. Sebuah syari’at dan ajaran Islam yang dibawa oleh
para Walisongo untuk meng-Islamkan Nusantara. Masalahnya, kalau tiba-tiba istilah tersebut sekarang dimunculkan lagi, diobok-diobok dan digembar-gemborkan oleh beberapa tokoh dan orang-orang yang mempunyai rekam sepak terjang yang menyimpang dari syari’at dan mempunyai raport merah dalam berakidah, ini perlu dicurigai dan diwaspadai. Kalau mereka mengatakan bahwa Islam Nusantara hadir untuk melestarikan dan menjaga budaya dan tradisi nahdliyin, sebagaimana yang dipahami dan dipublikasikan kepada para kiai dan tokoh masyarakat, itu merupakan pengelabuhan dan sebuah kebohongan besar. Namun bukan hanya itu, Islam Nusantara sebenarnya “wajah baru” dari proyek Liberalisasi Islam di Indonesia.

Jika yang mengawal Islam Nusantara adalah para ulama pesantren yang istiqamah mengajar kitab salaf, membela, memperjuangkan ajaran dan membentengi akidahnya, maka kita dapat husnudhan. Konsep Islam Nusantara ala ulama salaf dapat mempertahankan estafet ajaran Islam yang benar dan lurus serta dakwah Islam yang tegas namun tetap santun dan merakyat sesuai warisan ulama-ulama Nusantara pendahulu. Namun untuk konteks zaman sekarang, pejuang-pejuang syari’at seperti di atas sudah jarang alias langka, karena para kiai sudah banyak yang sepuh sementara generasi mudanya semakin luntur ghirah islamiyahnya. Akan tetapi, jika Islam Nusantara ini diusung dan didakwahkan oleh tokoh-tokoh nyleneh yang sering menggembar-gemborkan ide Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme seperti yang terjadi sekarang ini, maka hal ini akan menjadi pintu gerbang potensial untuk merusak tatanan aqidah dan syari’at Islam di negara Indonesia tercinta ini. Wallahu A’lam.

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.