Menanti Bunda Kembali

Menanti Bunda Kembali

Cerpen Karkono Supadi Putra

Kulihat ada mendung di mata istriku. Aku tahu apa yang kini ada di benaknya. Pasti sedang memikirkan putra semata wayang kami: Ryan. Kudekati dia yang tengah mengepak pakaian ke dalam koper.

“Sudah, Bunda tidak perlu sedih! Ryan akan baik-baik saja,” kataku seraya membantu melipat-lipat pakaian yang tergeletak di ranjang.

“Bunda merasa tidak tega saja, Yah. Ryan masih terlalu kecil untuk memahami apa yang akan dia alami ini.”

Aku bisa memahami apa yang dipikirkan istriku. Ryan masih berusia delapan tahun, pasti akan merasa sedih ditinggal bundanya pergi berhaji. Pada awalnya istriku ragu untuk pergi ke tanah suci tahun ini seorang diri, tetapi aku yang meyakinkannya. Ini panggilan Illahi, tak ada alasan untuk menunda lagi.

“Ayah akan selalu menjaganya dengan baik, Bunda,” jawabku mencoba meredam kekhawatiran istriku.

“Iya, Bunda yakin ayah akan menjaga Ryan dengan baik. Namun, kadang perasaan ragu itu selalu membayangi hati Bunda. Ayah kan tidak bisa setiap saat menjaganya. Itu saja yang ada di pikiran Bunda.”

Kali ini mendung di matanya berubah menjadi gerimis. Melihat ini, hatiku pun terusik. Apakah keputusan istriku untuk berhaji tahun ini salah? Yang dikatakan istriku barusan benar, pekerjaanku sebagai dokter memang begitu menyita waktu. Selesai dari rumah sakit, aku juga harus praktik di klinik, kadang sampai malam jika pasien sedang ramai. Ryan biasanya selalu bersama istriku yang memang bekerja di rumah, sebagai ibu rumah tangga. Jika istriku nanti pergi dalam waktu yang cukup lama, Ryan paling hanya bersama pembantu. Aku tidak bisa menemaninya setiap saat.

“Kita pasrahkan saja sama Allah, Bunda. Niat bunda pergi berhaji adalah sebuah niat yang mulia, memenuhi panggilan-Nya. Lagi pula, kan Ada Mbak Nur yang akan menjaga Ryan jika Ayah sedang pergi.”

Kurengkuh tubuh istriku. Dia menumpahkan tangisnya yang sedari tadi coba dia tahan. Aku pun menjadi terharu.

***

“Mas Ryan baik-baik di rumah, ya! Tidak boleh nakal, harus nurut kata Ayah dan Mbak Nur. Oh iya, nanti kalau Bunda pulang, Bunda akan belikan Mas Ryan kopiah dari Mekkah.”

Aku tak bisa menyaksikan peristiwa ini. Air mata istriku selalu meleleh, membelah kedua pipinya. Sementara bening mata Ryan hanya terlihat berkaca. Aku sungguh kagum dengan buah hatiku ini. Aku tahu, betapa sedih hatinya hendak ditinggal pergi bundanya. Tapi, rupanya nasihatku selama ini cukup meresap dalam ingatannya. Tidak perlu bersedih, Bunda pasti akan kembali pada kita. Begitu kataku selalu pada Ryan.

Ryan mengangguk-anggukan kepalanya. Istriku seketika mendekapnya erat. Tangisnya kian keras.

“Bunda jangan nangis! Kata Ayah, Bunda pergi ke rumah Allah. Ryan belum boleh ikut karena Ryan masih kecil,” ucap Ryan polos. Ada yang bergemuruh dalam hatiku. Anakku yang masih kecil itu seolah begitu cerdas dan paham akan hal-hal yang aku ajarkan padanya selama ini. Istriku melepas pelukannya, kini Ia mencoba tersenyum sambil tetap memandang wajah teduh Ryan.

“Mas Ryan memang pintar, Bunda sayang sama Mas Ryan.”

Tangis istriku kian menjadi, dia erat memeluk Ryan. Aku tak mau melihat adegan ini lebih lama lagi. Bisa-bisa aku ikut menangis. Dalam hati, aku tenang saja melepas istriku seorang diri. Namun, jika mau jujur aku juga tidak tega memisahkan Ryan dan Bundanya, meski hanya untuk sementara waktu.

Lima tahun lalu aku sudah berhaji seorang diri, saat Ryan masih berusia tiga tahun. Saat itu istriku belum bisa ikut karena Ryan masih terlalu kecil. Dan keberangkatan istriku tahun ini pergi haji bukan tiba-tiba. Sudah kami rencanakan sejak lama. Bahkan sebenarnya tahun kemarin hendak berangkat, tapi istriku selalu merasa tidak tega dengan Ryan. Kali ini dia merasa mantap, meski lagi-lagi perasaan tidak tega meninggalkan Ryan selalu membayangi. Di samping itu, banyak teman-temannya yang lain yang sudah jauh-jauh hari mendaftarkan diri tetapi belum dapat berangkat karena kuota penuh. Ini kesempatan emas.

***

Suasana rumah kurasakan memang menjadi sepi. Ryan kulihat seperti kehilangan keceriaannya. Namun, aku selalu bisa menangkap ketakutannya untuk mengeskpersikan kesedihannya di depanku. Seolah dia begitu paham bahwa aku tidak mau melihat dia bersedih.

Ryan anakku, engkau begitu dewasa dari usiamu kini.

Malam ini, sudah sepuluh malam istriku meninggalkan rumah ini. Selama ini Ryan jarang menanyakan kapan Bunda pulang, karena sudah aku beri tahu bahwa Bunda pergi berpuluh-puluh hari. Namun malam ini, sedari tadi kulihat dia sulit sekali tidur.

“Mas Ryan susah tidur ya? Kenapa? Kangen dengan Bunda?” tanyaku seraya memandanginya yang tergolek di atas ranjang. Dia menatapku lekat.

“Kenapa? Mas Ryan takut jika Ayah marah?”

Kubelai dahinya lembut. Kubenahi selimut tebalnya yang melorot. Dia seperti tak mau lepas memandangku. Anakku, tanpa kamu katakan pun, aku bisa tahu apa yang ada dalam benakmu, kamu tentu sangat rindu dengan Bunda. Tiba-tiba Ryan terisak. Jemari kecilnya Ia katupkan ke muka. Aku tahu ia berusaha menahan tangis, tapi rupanya perkataanku tadi menyentuh hatinya. Perasaan lembut istriku memang diwarisinya. Aku bangunkan Ia, aku dekap erat.

“Sabar ya Mas! Ayah juga rindu sama Bunda. Kita doakan saja Bunda selamat dan bisa kembali ke rumah kita.”

Ryan merangkul leherku dengan erat. Lantas aku kepikiran untuk menghubungi istriku. Buru-buru aku mengambil HP yang ada di atas meja sisi ranjang.

Untuk beberapa jeda berikutnya, kutemukan sinar kegembiraan saat Ryan berbicara dengan Bundanya, meski hanya lewat HP. Aku merasa lega.

***

Buru-buru aku berkemas. Aku harus segera pulang ke rumah. Barusan Mbak Nur menelpon, mengabarkan bahwa Ryan muntah-muntah, badannya panas.

Tidak sampai setengah jam aku tiba di rumah.

Aku langsung menuju ke kamar. Perasaanku tidak karuan. Kutemukan Ryan terbaring di atas ranjang. Kusentuh dahinya: sangat panas. Buru-buru kubuka peralatan medis yang ada di dalam tas yang aku bawa dari rumah sakit. Aku memeriksanya. Aku mencoba menenangkan diriku sendiri, tapi kondisi anakku sudah sedemikian parah.

“Mas Ryan, ini Ayah.”

Mata Ryan terpejam, tetapi mulutnya seperti komat-kamit menyebut sesuatu.

“Sepulang sekolah tadi Mas Ryan bilang kalau kepalanya pusing Pak. Lalu saya suruh tidur, saya suruh makan tidak mau. Tiba-tiba dia muntah-muntah Pak,” suara Mbak Nur terdengar gemetar.

“Ryan harus segera diinfus Mbak. Dia kekurangan cairan.”

“Lalu?”

“Kita bawa ke rumah sakit saja, biar ada perawat yang membantu. Tolong siapkan baju-baju Ryan, Mbak!”

“Baik, Pak.”

Perasaanku semakin tak menentu. Aku menjadi ingat istriku. Ryan pasti terlalu memikirkan bundanya. Aku tidak bisa tenang untuk menangani Ryan sendirian, makanya aku putuskan untuk membawanya ke rumah sakit.

Saat kubopong tubuhnya ke dalam mobil. Lirih kudengar dia menyebut Bunda berulang kali.

Illahi…selamatkan anakku. Hanya Engkaulah penolong kami.

Aku, Mbak Nur, dan Ryan seketika meluncur meninggalkan rumah, menuju rumah sakit tempat aku biasa kerja. Jarak antara rumah sakit dengan rumahku memang tidak begitu jauh, tapi entah mengapa saat ini aku merasa begitu lama, tidak sampai-sampai.

“Pak…badan Mas Ryan panas sekali, cepat Pak!” suara Mbak Nur yang duduk di kursi belakang sambil menjaga Ryan yang terbaring justru semakin membuatku gundah. Aku menyetir di depan. Tenang, berhadapan dengan kondisi seperti ini aku tidak boleh panik.

“Iya Mbak, tenang aja, sebentar lagi sampai.”

Pas di lampu merah, kulihat Ryan kembali muntah-muntah. Ya Allah, selamatkan Ryan. Aku bingung, apakah aku harus menghubungi istriku? Mungkin kondisi Ryan akan sedikit tertolong saat dia bisa mendengar suara bundanya. Tapi, apakah ini tidak akan menggelisahkan istriku di sana jika tahu kalau Ryan sakit? Lampu merah perlahan berubah menjadi kuning, lalu hijau. Gegas aku kembali memacu laju mobil. Namun, dalam hitungan jeda tak begitu lama, sebuah mobil dari arah berlawanan aku lihat sedang mendahului kendaraan lain dengan kecepatan tinggi. Aku terperanjat. Dalam pandangan mataku, mobil itu seperti hendak menabrak mobilku yang melaju dengan kencang, dan…aku tak bisa lagi menghindar.

…Cieeeet..Braakkk…..

Semua mendadak menjadi gelap.

***

“Ayah..lihat… kopiah ini bagus sekali! Bunda belikan dua untuk kita, ayah yang hitam, Mas Ryan yang warna putih.”

Ryan berlari kecil ke arahku yang terbaring di atas ranjang putih. Sejak kecelakaan tiga minggu yang lalu, kondisiku belum sepenuhnya pulih, masih ada sedikit luka di kaki yang terasa sakit jika dipakai berjalan.

“Mas Ryan, jika kaki ayah sudah sembuh, nanti kopiahnya dipakai pergi ke masjid sama ayah ya..” suara renyah istriku yang duduk di dekatku. Meski kakiku masih sakit, tetapi semua tidak pernah aku rasa karena semua terkalahkan dengan rasa behagia saat melihat keceriaan Ryan bisa bercengkerama kembali dengan bundanya. Dalam kecelakaan itu, Ryan dan Mbak Nur hanya luka ringan, semua bisa segera tertangani karena lokasi kecelakaan tidak begitu jauh dengan rumah sakit yang saat itu aku tuju.

“Iya Bunda…nanti, kalau Mas Ryan sudah besar, Mas Ryan yang gantikan beli oleh-oleh dari Mekkah, buat Ayah dan Bunda…”

Subhanallah… Ryan, semoga cita-cita muliamu itu kelak dapat terlaksana, Nak.

***

Karkono Supadi Putra, Dosen di Jurusan Sastra Indonesia

Universitas Negeri Malang.

Cerpen ini pernah dimuat di Malang Post.

Post Author: humas admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.